Saya memasuki pintu resto, dan dunia pun berganti. Dari luar yang tampak bersahaja, begitu masuk, nuansa oriental menyergap hangat.
Di dalam, kami disambut dengan dekorasi bernuansa merah, emas, dan simbol-simbol Tionghoa yang menegaskan akar budaya sang pendiri. Sebuah backdrop megah bertuliskan "Asem Asem Koh Liem -- Sejak 1978" berdiri gagah.
Di tengahnya, foto Koh Liem terpampang dalam lingkaran motif klasik. Lampion merah bergelantungan, bunga kertas berwarna merah muda menghiasi sudut, menciptakan spot foto yang instagramable tanpa kehilangan kesan tradisi.
Namun, yang paling menarik perhatian adalah dinding penuh foto tokoh terkenal. Saya berjalan pelan mendekatinya. Ada wajah-wajah yang tak asing: Puan Maharani, Erick Thohir, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Reza Rahadian, Ade Rai, hingga Philip Mantofa.
Dan tentu saja tidak ketinggalan maha guru wisata kuliner, Bondan Winarno. Beberapa artis muda pun tertangkap dalam bingkai senyum di hadapan tulisan "WR. Asem-Asem Koh Liem".
Satu hal yang terlintas di kepala: jika para selebritas, pejabat, dan influencer pernah mampir ke sini, berarti rasa yang mereka cari memang bukan sembarangan.
Kami duduk di meja panjang, suasana resto memang agak sepi karena sudah bukan waktu makan siang. Saya membuka menu dan pada halaman pertama ada paparan singkat Biografi Koh Liem yang menyimpan kisah nan layak dikenang.
Saya membaca pelan, seperti menelusuri lorong waktu. Tahun 1978, Piek Swie Liem memulai usaha ini dari tenda kaki lima di Jalan Karanganyar. Sederhana, bermodalkan keyakinan bahwa rasa adalah kunci.
Dan benar saja, citarasa yang unik dan berbeda membuat warung kecil ini kian dikenal. Dari kalangan lokal, lalu meluas ke penjuru negeri, bahkan mancanegara. Kini, nama Asem-Asem Koh Liem bukan hanya menu, tapi identitas kuliner Semarang.
Saya tersenyum membayangkan perjalanan panjang itu. Betapa sebuah rasa bisa menjadi warisan, bukan sekadar bisnis. Ada dedikasi, ada cinta yang diracik bersama bumbu-bumbu.