Bagian 2: Jejak di Tanah Tingkir
Pagi di pedukuhan Tingkir selalu datang dengan tenang. Kabut menurun pelan dari pucuk bukit, mengelus daun pisang yang basah embun, dan ayam jantan menyahut di kejauhan seperti menandai datangnya hari. Di bawah sinar surya yang baru terbit, seorang anak muda tampak sedang memanggul kendi dari sumur. Wajahnya teduh, rambutnya digelung seadanya, matanya menatap lurus ke tanah yang ia pijak. Dialah Mas Karebet---yang sekarang orang mulai memanggil Jaka Tingkir. Nama itu bukan sekadar sebutan, melainkan pertanda tempat ia menghabiskan masa remaja: di rumah Nyai Ageng Tingkir, seorang perempuan sepuh bijaksana yang menjadi pelindungnya setelah masa gelap merenggut orang tuanya.
Hari-harinya di Tingkir bukan hanya diisi dengan kerjaan rumah atau bermain di sawah. Nyai Ageng mendidiknya dengan ketelatenan seorang ibu yang paham bahwa anak ini bukan anak sembarangan. Ada aura besar yang menyelubungi dirinya, sesuatu yang membuat orang-orang sepuh berbisik, "Bocah iki kelak dadi wong gedhe..."---bocah ini kelak jadi orang besar. Namun, Mas Karbt sendiri tidak pernah menyombongkan diri. Ia justru memanggul semua tugas dengan ringan hati: mengisi kendi, menyapu halaman, menumbuk padi, bahkan menggembala ternak kalau diperlukan.
Tetapi hidup di pedukuhan Tingkir bukan sekadar tentang sawah dan lumbung padi. Nyai Ageng selalu menekankan satu hal: ilmu dan laku harus berjalan beriring. "Ndhuk, ojo mung pinter ngelmu kanuragan. Wong sing mung ngandel otot, gampang kalah karo sing nduwe akal lan ati." Ndhuk---begitulah Nyai Ageng memanggilnya, panggilan sayang seperti untuk anak sendiri. Ia ingin menegaskan bahwa kedekatan mereka bukan sekadar karena nasib, tapi karena ikatan jiwa.
Mas Karebet hanya menunduk setiap kali mendengar petuah itu. Dalam dadanya, ia memendam banyak tanya. Kenapa ayahnya harus mati dengan cara hina? Kenapa ibunya harus ikut pergi, meninggalkannya di usia yang belum genap baligh? Kadang, saat malam turun dan jangkrik mulai bernyanyi, ia duduk sendirian di bawah pohon randu, menatap bintang yang berkedip. Ia ingin marah, ingin menuntut, tapi suara Nyai Ageng selalu menggema: "Ojo gawe neraka ing atimu, Ndhuk. Sing kelangan ojo dadi dudu. Sing dendam ora bakal nemu tentrem." Jangan buat neraka di hatimu. Yang kehilangan jangan sampai jadi gila. Yang dendam tak akan pernah tenang.
Hari-hari pun bergulir. Mas Karebet tumbuh menjadi pemuda gagah. Tubuhnya tegap, bahunya bidang, sorot matanya tajam tapi ramah. Ia belajar banyak hal di Tingkir: mulai dari tata krama, seni tembang, gendhing gamelan, sampai ngelmu kanuragan---ilmu bela diri yang digembleng lewat latihan fisik dan laku spiritual. Setiap subuh, ia sudah berada di tepian kali, mandi dengan air sedingin duri, lalu berendam sambil membaca doa-doa yang diajarkan gurunya. Setelah itu, ia melatih pernapasan, menahan napas di bawah air, melatih konsentrasi agar pikirannya tenang seperti permukaan telaga.
Pernah suatu kali, seorang pemuda lain dari desa tetangga mencoba menguji kesaktiannya. Dengan sikap congkak, ia menantang Jaka Tingkir adu ketangkasan. Mas Karebet tidak marah, hanya tersenyum. "Kalau kau ingin membuktikan, ayo ke kali. Tapi bukan untuk bertarung. Untuk mandi dan menyepi." Pemuda itu bingung, tapi mengikuti. Sampai di kali, Mas Karebet justru duduk bersila di atas batu besar, memejamkan mata. "Kalau kau sanggup diam tanpa bicara satu jam saja, aku akui kau unggul." Tantangan itu membuat pemuda tadi menyerah sebelum waktunya. Dari situ, kabar pun tersebar: Jaka Tingkir bukan hanya sakti, tapi juga halus budi.
Namun, di balik segala ketekunan dan petuah bijak, ia tetap manusia. Ada gelora di dadanya. Ada luka yang belum sembuh. Kadang, dalam malam yang sunyi, ia merapal doa sambil menahan gejolak: "Ya Allah, beri aku jalan untuk menebus aib keluargaku. Tapi jangan biarkan aku jadi hamba yang buta oleh amarah." Doa itu mengalir bersama desir angin malam, seakan dijawab oleh semesta dengan tanda-tanda yang hanya dia pahami.
Salah satu tanda itu datang lewat mimpi. Malam itu, setelah seharian bekerja membersihkan lumbung padi, ia tertidur lelap. Dalam mimpinya, ia melihat seorang lelaki tua berjubah putih, wajahnya bercahaya, memegang tongkat kayu. Lelaki itu berkata: "Karebet... lakumu isih dawa. Yen pengin dadi pepadhang, kudu liwat pepeteng."---Langkahmu masih panjang. Kalau ingin jadi cahaya, harus melewati gelap. Saat terbangun, keringatnya bercucuran, tapi hatinya mantap. Ia tahu, takdir sedang menyiapkan jalan.
Hari berikutnya, Nyai Ageng memanggilnya. "Ndhuk, wis wayahe kowe lunga saka kene. Aku wis krasa. Gusti wis nyepakake dalan kanggo kowe." Mas Karebet menatapnya, ragu. "Lunga? Lunga menyang ngendi, Nyai?" Suaranya serak, seperti anak kecil yang takut kehilangan lagi. Nyai Ageng tersenyum lembut, matanya berkaca-kaca. "Kowe kudu sowan marang wong gedhe. Ngabdi marang raja sing adil. Nang Demak. Ing kana, takdirmu nunggu."
Demak. Nama itu bergetar di telinga Mas Karbt. Kerajaan besar yang dulu mengeksekusi ayahnya. Kerajaan yang sekarang dipimpin oleh Sultan Trenggana, penguasa kuat yang disegani di seluruh Jawa. Pergi ke sana bukan sekadar perjalanan fisik, tapi juga perjalanan batin. Ia harus melawan rasa getir, membuang dendam, dan mengabdi kepada kekuasaan yang pernah melukai keluarganya.
"Nyai... opo kowe yakin?" tanyanya lirih. Nyai Ageng mengangguk pelan. "Iki dudu dalanku, iki dalanmu. Yen kowe wani, kowe bakal nemu makna sabar lan bijaksana. Yen mung pengin balas dendam, kowe bakal tiba sadurunge tekan puncak."
Sejak saat itu, Mas Karebet mulai bersiap. Ia berlatih lebih keras, bukan hanya tenaga, tapi juga batin. Ia menjalani puasa, tapa brata, dan laku prihatin---tidur di atas tikar pandan, makan hanya sejumput nasi dan air putih. Ia mengasah dirinya seperti besi ditempa api, sampai akhirnya tiba hari ia harus melangkah pergi.
Sebelum berangkat, Nyai Ageng memeluknya erat. "Eling, Ndhuk. Urip iki mung sawang-sinawang. Ojo gumunan, ojo kagetan, ojo dumeh. Yen wis tekan puncak, ojo lali karo dhasar." Mas Karebet mencium tangan perempuan sepuh itu, merasakan hangat yang menetes ke hatinya. Ia berjanji dalam hati: tak akan pernah melupakan tanah Tingkir, tempat ia belajar arti sabar dan makna hidup.
Lalu, dengan langkah mantap, pemuda itu melangkah ke arah barat, menuju Demak. Jalan masih panjang, kabut masih tebal, tapi di dadanya sudah berkobar satu tekad: menjadi cahaya, meski harus melewati gelap.
Bersambung