Motor-motor terparkir di halaman, memperlihatkan bahwa vihara ini bukan museum mati, melainkan tempat yang benar-benar hidup, dikunjungi warga setiap hari.
Di sebelah kanan pada level agak tinggi ada pagoda bertingkat tempat membakar uang kertas akhirat untuk leluhur. Masih tampak warna kehitaman pada bagian atas ruangan terbuka pada pagoda ini.
Juga ada prasasti peresmian oleh Menteri Agama pada 21 Juni 2022 atau Go gwee 23. Di sebelahnya ada prasasti yang menuturkan kronologi penting seharah perjalanan panjang vihara. Dari dekat, saya membaca garis besar isi prasasti tersebut:
1740: disebutkan bahwa kelenteng ini sudah berdiri jauh sebelum peristiwa pembantaian Tionghoa.
1751: papan tulisan di altar Kongco Cheng Goan Cheng Kun, tanda bukti eksistensi.
1752: Tiong Hoa Tjhiang Tjhi (perkumpulan Tionghoa di Batavia) membuat prasasti di depan altar utama.
Dan singkatnya sampai 1812: tercatat adanya kepengurusan vihara dengan ketua bernama Luitenant Tan Souw Tjiang. Hingga pada 1983 -- 1985: nama-nama pengurus yayasan dicatat, seperti Bun Tjhin Tjiang, Harijanto, Agus Tjandra, dan lain-lain, hingga Husan Buntar Swadjaja yang menjabat ketua yayasan pertama.
Di bagian bawah tertulis dengan tegas:
Ada pula hiasan ornamen singa penjaga (shishi ) di sisi kiri dan kanan bawah, simbol perlindungan spiritual.
Tidak terasa, sudah hampir 20 menit kami mampir di Toa Se Bio dan akhirnya Mbak Gana mengajak kami untuk menuju ke Perak Enam untuk cari makanan pengganjal perut.
Sebuah senja yang mengasyikkan di Toasebiostraat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI