Terdapat dua patung karakter kartun miniatur di atas kotak berwarna putih di sisi kiri pintu, kemungkinan untuk menarik perhatian anak-anak atau untuk kegiatan pendidikan.
Kedua jendela besar dengan kusen warna merah dan teralis cantik pola geometris kotak kotak dengan warna kuning emas. Suasana sakral kian kental dengan banyak ornamen bergambar Yesus atau orang suci lainnya.
Di depan beranda juga ada sebuah prasasti yang menyatakan bahwa bangunan ini sudah berstatus cagar budaya. Dua papan informasi juga ada menerangkan kilasan sejarah dan langgam arsitektur gereja ini.
Saya sempat duduk sebentar di jalannya dan melihat dua maria yang digunakan sebagian jamaah untuk berdoa di jalan gereja.
Beberapa tahun lalu, saya ingat pernah mampir dan masuk ke dalam gereja melalui pintu samping namun karena kali ini pintu tertutup dan kami tidak punya banyak waktu koteka trip tidak masuk dan memutuskan meninggalkan tempat ini sambil sejenak melihat anak- anak yang sedang bermain di halaman sekolah Katolik Ricci , SD hingga SMA di sebelahnya. Nama Ricci konon diambil dari nama Mateo Ricci, seorang imam Sarikat Yesus asal Italia yang pertama kali berdakwah hingga ke Tiongkok.
Perjalanan dilanjutkan menuju bangunan terakhir di jalan Kemenangang III. Kali ini ke kelenteng Toa Se Bio dan menyebabkan jalan ini dinamakan Toa Se Bio Straat pada zaman Belanda. Nuansa merah khas Tionghoa kembali menyeruak. Maklum jalan -jalan kali ini memang ke China Town Glodok.
Sebuah pintu gerbang dengan atap ekor walet berhias sepasang naga yang saling beradu ekor di atasnya menyambut dengan ramah.
Di gerbang ini juga tergantung dua lampion merah, khas dekorasi kelenteng yang melambangkan terang, keberuntungan, serta suasana sakral. Ada aksara Hanzi Fu yang berarti Kebahagian pada lampion yang menyala dengan terang itu.
Selain dijaga sepasang singa shishi, pintu gerbang ini juga memilih ornamen merah emas dengan motif awan, bunga, dan geometri Tionghoa yang memberi kesan megah sekaligus akrab.
Di gerbang ini juga ada hiasan merah putih yang melambangkan kelenteng juga ikut merayakan hari kemerdekaan di bulan Agustus ini.
Tampak orang-orang yang akan masuk: seorang perempuan (mbak Palupi) dengan ransel biru, seorang bapak mendorong kursi roda, dan seseorang mengenakan pakaian merah-hitam berdiri di sisi kanan gerbang (Astro)
Di sisi kiri ada telepon umum zaman baheula yang mungkin sudah tidak berfungsi lagi.
Kami masuk dan membaca papan informasi di dinding dekat gerbang.
Di sebelah kiri jadwal rutin kelenteng Toa se Bio dan di bawahnya kegiatan Vihara Dharma Jaya. Tampaknya ini adalah dua tempat ibadah yang berbagi gedung, yaitu Tao dan Buddha.
Papan satu lagi menjelaskan sejarah singkat dan arti nama Tia Se Bio. Yang secara harfiah adalah Kelenteng Duta Besar.
Menurut sejarahnya vihara ini pernah dibakar pada 1740, saat Geger Pecinan di Batavia, tetapi kemudian komunitas Tionghoa membangunnya kembali.
Menariknya, dua prasasti kuno (1751 dan 1752) yang masih tersimpan di vihara menjadi bukti nyata bahwa meski sempat dihancurkan, semangat komunitas Tionghoa tidak padam. Mereka berusaha mendirikan kembali rumah ibadah sebagai tempat berteduh secara spiritual, sekaligus simbol keberlanjutan identitas budaya.
Nama Toasebio sendiri---"Kelenteng Duta Besar"---seakan jadi penanda abadi bahwa vihara ini bukan sekadar tempat sembahyang, melainkan monumen hidup dari sejarah luka dan daya tahan sebuah komunitas.
Di dalamnya terdapat 19 altar untuk berbagai dewa-dewi, menandakan bahwa vihara ini juga berkembang menjadi pusat spiritual dan sosial.
Kami masuk ke halaman . Atap kelenteng bersusun dua dengan hiasan sepasang naga dan mutiara. Ada nama Toa Se Bio dan dulian dalam aksara Cina.
Deretan lampion merah menggantung, memberikan nuansa khas arsitektur Tionghoa.
Di bagian belakangnya menjulang gedung besar bercat merah dengan tulisan jelas di puncak: "Vihara Dharma Jaya Toasebio." Gedung ini tampak seperti bagian modern dari kompleks, mungkin berfungsi untuk ruang serbaguna, administrasi, atau asrama pengurus.