"Let all the souls here rest in peace for we shall not repeat the evil."
Pernahkah kita membayangkan jejak kaki kita menyusuri tanah yang pernah hancur lebur oleh bom atom? Saya pernah, dan itu jadi pengalaman yang tak terlupakan.
Pada tahun 2016, saya melangkah di kota Hiroshima, menyusuri jalanan yang kini dipenuhi kehidupan, tapi sarat dengan kenangan kelam. Reruntuhan yang dulu porak-poranda berubah menjadi taman yang damai, tempat ribuan jiwa yang pernah hilang diingat dan dihormati.
Saya ingat dengan jelas, berdiri di depan Memorial Cenotaph di Hiroshima Peace Memorial Park, saya membaca sebuah prasasti yang dalam dan menggetarkan:
"Let all the souls here rest in peace for we shall not repeat the evil."
Kalimat itu bukan sekadar doa, tapi undangan untuk bertanya: Siapakah "we" itu? Apakah hanya mereka yang dulu menjadi korban bom atom? Atau kita semua, yang hidup sekarang ini?
Perjalanan saya berlanjut ke Nagasaki, tepat pada Agustus tahun lalu, bertepatan dengan peringatan 79 tahun jatuhnya bom atom di kota itu. Suasana sangat sakral. Di Nagasaki Peace Park, patung perdamaian karya Seibo Kitamura berdiri kokoh, menggambarkan sosok pria dengan tangan kanan terangkat --- simbol peringatan akan ancaman nuklir --- dan tangan kiri terbuka, lambang harapan dan kedamaian abadi.
Monumen-monumen dari berbagai negara di sekitar taman menyampaikan pesan universal: persahabatan dan perdamaian adalah kunci untuk menghindari tragedi serupa.
Ada satu hal sederhana yang membuat pengalaman saya semakin berkesan: naik trem di kedua kota ini. Trem yang berkeliling kota Hiroshima dan Nagasaki tidak seperti subway yang sibuk dan penuh sesak. Mereka asyik, nyaman, dan santai, seolah mengajak pelancong untuk menikmati setiap detik perjalanan sambil merenungi sejarah yang berat tapi penuh makna.
Renungan "We" dan Dunia yang Terus Bergolak
Pesan prasasti itu terus terngiang di kepala saya. Di dunia yang terus berubah, konflik terus ada. Dari Israel dan Hamas, Korea Utara, Iran, hingga negara-negara pemilik senjata nuklir, ancaman perang nuklir masih membayangi.
Tidak terkecuali Indonesia, yang pernah merasakan berbagai konflik internal, mulai dari Papua hingga Sampit dan Poso, serta kerusuhan yang menyisakan luka mendalam. Seringkali, kita terjebak dalam mentalitas yang memecah belah: "mereka" dan "kita." Ketidakpahaman akan arti "we" yang sesungguhnya membuat kita lebih mudah menunjuk "mereka" sebagai pihak yang salah, tanpa menyadari bahwa kita semua bagian dari umat manusia yang sama.
Jika kita mau memahami pesan dari Hiroshima dan Nagasaki, kita diajak untuk melampaui batas-batas sempit itu, membuka hati dan pikiran untuk menjadi "we" yang inklusif, yang merangkul perbedaan dan mencari solusi bersama.
Membaca Kita dan Mereka: Menjadi "We" yang Lebih Besar
Dalam perenungan ini, saya juga teringat buku Kita dan Mereka karya Agustinus Wibowo. Buku ini membuka perspektif tentang bagaimana kita sering membatasi diri dengan membangun tembok "kita versus mereka."
Agustinus mengajak kita untuk melebur batas-batas itu, menjadikan perbedaan sebagai jembatan, bukan tembok pemisah.
Jika pesan prasasti di Hiroshima dan Nagasaki adalah panggilan untuk perdamaian, maka buku ini adalah jawaban bagaimana kita bisa memperluas arti "we." Menjadi bukan hanya "mereka yang dibom" dan "mereka yang membom," tapi seluruh umat manusia yang berdiri bersama.
Monumen Perdamaian di Indonesia: Ambon, Sampit, dan Poso
Indonesia sendiri memiliki beberapa monumen penting sebagai simbol perdamaian dan rekonsiliasi. Di Ambon, terdapat Gong Perdamaian Dunia yang menjadi tanda berakhirnya konflik sektarian dan harapan akan kedamaian abadi.
Di Sampit, Tugu Perdamaian Bundaran Balanga berdiri megah mengenang rekonsiliasi antara suku Dayak dan Madura pasca-konflik etnis. Monumen ini mengingatkan kita bahwa perdamaian adalah hasil dari usaha bersama yang harus terus dipupuk.
Di Sulawesi Tengah, meskipun terletak di Palu, Tugu Perdamaian Nosarara Nosabatutu juga memiliki makna penting terkait konflik di Poso, mengajak kita untuk mengingat dan menjaga harmoni dalam keberagaman.
Pelajaran dari Jepang dan Tantangan Indonesia dalam Menghadapi Sejarah
Satu pelajaran penting dari Jepang adalah keberanian mereka membangun monumen dan taman peringatan yang secara terbuka mengingat masa kelam perang dan penjajahan. Mereka mengakui sejarah secara utuh, menjadi fondasi bagi perdamaian dan rekonsiliasi.
Sebaliknya, di Indonesia, kita masih sering menghindar dan malu menghadapi sejarah kelam. Hingga kini belum ada monumen nasional resmi yang mengingat secara menyeluruh tragedi pembantaian PKI 1965 maupun tragedi Mei 1998 --- peristiwa yang juga meninggalkan luka mendalam.
Alasan sosial-politik yang kompleks, termasuk sensitivitas etnis dan politik, mungkin menjadi kendala. Namun, tanpa pengakuan dan pembelajaran resmi melalui monumen, risiko lupa dan terulangnya sejarah kelam itu semakin besar.
Penutup: Menjadi "We" yang Bertanggung Jawab
Pesan di prasasti Hiroshima mengingatkan kita bahwa perdamaian bukan hanya tugas mereka yang pernah mengalami perang, tapi tugas kita semua. Menjadi "we" yang sejati berarti membuka ruang untuk memahami, merangkul perbedaan, dan belajar dari sejarah.
Indonesia, dengan segala kompleksitasnya, memiliki tantangan besar untuk berani mengakui masa lalu, membangun monumen dan ruang peringatan, serta menumbuhkan semangat rekonsiliasi yang tulus. Hanya dengan begitu, kita bisa memastikan tragedi kelam tidak kembali menghantui generasi mendatang.
Mari kita jadikan peringatan bom atom ini bukan sekadar mengenang, tapi sebagai panggilan bagi kita semua untuk menjadi "we" yang lebih besar---yang hidup berdampingan dalam damai dan harmoni.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI