Meniti lorong waktu yang renta,
Langkah bertemu cahaya senja.
Candra Naya masih setia,
Menanti siapa yang tak lupa.
Siang itu saya tiba di stasiun Kota dari Bekasi dan kemudian melanjutkan anjangsana menuju Novotel Gajah Mada dengan Trans Jakarta. Saya naik jalur 1A jurusan Balai Kota dan ternyata hanya satu halte sampai di Glodok. Di lobi hotel sebagian rombongan Koteka Trip 7 sudah menunggu.
Namun yang menarik adalah perjalanan antara stasiun kota sampai ke Glodok melewati jalan utama Pintu Besar Selatan yang saat ini lagi sibuk dengan galian untuk membangun MRT fase 2.
Di antara hiruk pikuk kendaraan berdirilah bangunan-bangunan tua di kiri-kanan jalan dari Kota menuju Pancoran Glodok. Sebagian besar berbentuk rumah toko dengan tiga atau empat lantai yang terlihat terbengkalai, berlumut, tak berjendela, bahkan sebagian menyatu dengan akar pohon yang tumbuh liar.
Bagi yang baru pertama kali melintas, mungkin tak terlalu memperhatikan. Tapi bagi yang tahu sejarah, jalan ini adalah sumbu luka, jalur yang dulu menjadi zona merah saat kerusuhan Mei 1998.
Toko-toko dijarah, rumah dibakar, dan trauma ditinggalkan tanpa pengakuan. Maka, tak heran kalau banyak bangunan dibiarkan kosong bertahun-tahun, seperti tubuh tanpa roh. Hingga kini lebih dari 27 tahun kemudian.
Kenapa bangunan di jalan ini tanpa jendela? Jawabannya bukan soal gaya arsitektur. Bukan pula soal efisiensi bangunan. Tapi soal rasa takut, kehilangan, dan amnesia kolektif.
Bangunan-bangunan itu dulunya punya jendela. Tapi saat kerusuhan datang, jendela adalah titik rapuh pertama---dihancurkan, dibakar, atau dibobol. Setelah itu, banyak pemiliknya yang pergi---entah pindah kota, entah pindah negara, entah menghilang dalam diam. Dan bangunannya? Dibiarkan begitu saja. Jendela-jendela yang dulu menghadirkan cahaya, kini ditutup, disemen, atau hilang bersama usia.
Di Balik Bangunan yang Diam: Sebuah Pertanyaan Moral
Kita bisa membangun mall setinggi langit, apartemen dengan infinity pool, dan stasiun MRT canggih. Tapi di jalur utama Pancoran--Kota, kita tetap melintasi bangunan-bangunan bisu, tak tersentuh waktu, tak disentuh niat. Seolah kita sepakat membiarkannya tetap begitu, agar kita tak perlu menjelaskan pada generasi muda: "Kenapa bangunan ini gelap, sepi, dan dibiarkan hancur pelan-pelan?"