Di negeri ini, hal-hal yang tampaknya sepele bisa menjelma polemik besar. Selembar ijazah atau surat perintah bisa menjadi dasar penyangga kekuasaan, atau sebaliknya---batu sandungan sejarah yang terus diperdebatkan.
Dua presiden Indonesia, dua zaman berbeda, dua jenis dokumen, tapi satu pertanyaan yang sama: benarkah mereka berkuasa secara sah?
Babak I: Sebuah Ijazah dan Riuh Demokrasi
Pada masa ketika segala sesuatu bisa diverifikasi melalui internet, media sosial, dan jejak digital, siapa sangka bahwa selembar ijazah kuliah justru menjadi bahan gugatan terhadap Presiden Joko Widodo?
Adalah Bambang Tri Mulyono, seorang penulis buku kontroversial, yang menggugat keabsahan ijazah Jokowi ke Mahkamah Konstitusi. Ia menyebut bahwa Presiden tak pernah menunjukkan ijazah asli secara terbuka.
Namun pihak kampus tak tinggal diam. Dalam konferensi pers pada 12 Oktober 2022, Rektor UGM Prof. Ova Emilia menyatakan dengan tegas:
"Joko Widodo adalah mahasiswa kami di Fakultas Kehutanan dan lulus tahun 1985. Data akademiknya lengkap, mulai dari daftar hadir, nilai kuliah, hingga skripsi."
Sementara itu, dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan gugatan itu tidak berdasar hukum dan menolaknya seluruhnya.
Namun polemik tak serta-merta surut. Sebab sebagian masyarakat---terutama yang telah menjadi oposan politik---menganggap bahwa tanpa menunjukkan ijazah secara fisik ke publik, maka presiden layak diragukan. Mereka mengutip adagium populer: "Caesar's wife must be above suspicion"---istri Kaisar Romawi harus bebas dari kecurigaan, apalagi sang Kaisar sendiri.
Yang unik, sebagian besar yang menggugat bukan mempertanyakan kualitas kebijakan Jokowi, tapi berfokus pada dokumen administratif. Seakan keabsahan politik bisa diruntuhkan hanya dengan keraguan atas selembar kertas.