Babak II: Supersemar, Surat yang Membungkam
Tapi mari kita putar waktu ke masa yang lebih jauh, ke Maret 1966. Saat itu, presiden Indonesia masih bernama Ir. Soekarno, dan negeri ini sedang berdarah-darah pasca peristiwa G30S 1965.
Soekarno berada di bawah tekanan hebat: mahasiswa berdemo, militer mulai tak patuh, dan negara nyaris lumpuh. Dalam kondisi seperti itu, pada 11 Maret 1966, ia menandatangani surat yang dikenal sebagai Supersemar---Surat Perintah Sebelas Maret.
Surat itu ditujukan kepada Letjen Soeharto. Isinya, seperti versi resmi yang dipublikasikan saat Orde Baru:
"Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk menjamin keamanan dan ketertiban serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi, dan menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan pimpinan presiden."
Namun versi lain mengatakan bahwa isi surat telah dimanipulasi. Bahkan tiga jenderal yang hadir saat penandatanganan---Mayjen Basuki Rachmat, Brigjen M. Yusuf, dan Brigjen Amir Machmud---diduga memberi tekanan psikologis kepada Soekarno.
Lebih mengejutkan lagi, naskah asli Supersemar tidak pernah ditemukan. Yang ada hanyalah salinan-salinan yang
Dengan dasar surat ini, Soeharto membubarkan PKI, menangkap tokoh-tokoh loyalis Bung Karno, dan akhirnya mengambil alih kekuasaan secara de facto.
Babak III: Ketika Sejarah Tak Punya Naskah Asli
Di sinilah ironi sejarah terasa getir. Jokowi diserang karena tak menunjukkan ijazah asli, padahal UGM sudah mengonfirmasi datanya. Tapi Soeharto naik menjadi presiden selama 32 tahun tanpa ada satu orang pun bisa melihat Supersemar yang asli.
Mengapa masyarakat diam saja soal Supersemar?