Karena zaman itu adalah era otoritarian. Siapa pun yang mempertanyakan dasar kekuasaan bisa dicap subversif, lalu hilang dari peredaran. Soeharto dengan cermat membungkam suara-suara kritis.
Sementara era Jokowi adalah era demokrasi, di mana semua orang bisa bersuara, termasuk untuk menyerang hal-hal yang paling pribadi dari pemimpin negara---bahkan ijazah.
Babak IV: Menimbang Adil, Bukan Membela
Dalam suasana demokrasi yang gaduh, kita kadang kehilangan daya untuk melihat adil. Kita terbiasa membela atau menghujat, tanpa mempertimbangkan konteks.
Padahal, baik Jokowi maupun Soeharto adalah manusia biasa, bukan mitos.
*Jokowi adalah presiden pilihan rakyat, dua kali memenangkan pemilu dengan suara mayoritas. Ia bukan tokoh militer, bukan keturunan bangsawan, dan karier politiknya dibangun dari bawah.
*Soeharto adalah jenderal cerdas, ahli strategi, yang membangun stabilitas dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang, tapi juga menciptakan sistem represif dan menekan oposisi.
Mereka berdua berdiri di atas dokumen yang diributkan. Tapi sejarah bukan soal kertas, melainkan soal kepercayaan publik. Kita bisa mempertanyakan dokumen itu, tapi jangan kehilangan keberanian untuk mempertanyakan diri sendiri: Apakah kita berlaku adil dalam menilai pemimpin?
Epilog: Kertas, Kekuasaan, dan Kita
Supersemar mengubah sejarah tanpa pernah benar-benar diperlihatkan. Ijazah Jokowi menjadi polemik meski datanya lengkap. Keduanya mengajarkan hal yang sama: sejarah dan politik adalah soal persepsi, bukan hanya soal dokumen.
Bagi generasi Z dan sesudahnya yang besar di tengah algoritma media sosial, penting untuk belajar dari dua cerita ini.
Belajarlah membaca sejarah dengan hati terbuka. Jangan cepat memihak karena emosi, tapi telusurilah jejak dengan nalar dan nurani.
Seperti kata Bung Karno: