Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen , penulis buku “1001 Masjid di 5 Benua” dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Bertaut Rindu, Luka yang a bertemu Luka

5 Agustus 2025   17:52 Diperbarui: 5 Agustus 2025   17:52 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster film : dokpri 

Bertaut Rindu: Luka yang Bertemu Luka, dan Cinta yang Tumbuh di Antaranya

Magnus percaya, sejak kecil, bahwa hidup bukan tentang menjadi dirinya sendiri---melainkan tentang menjadi apa yang diinginkan orangtuanya. Ia adalah anak tunggal dari keluarga mapan. Ibunya ingin ia menjadi pengusaha. Ayahnya ingin ia menjadi "lebih baik dari dirinya." Tapi tak satu pun dari mereka pernah benar-benar bertanya: "Apa yang kamu inginkan?"
Di sisi lain kota, Jovanka percaya bahwa bahagia adalah cerita yang hanya terjadi pada orang lain. Ia melihat ibunya menangis hampir setiap malam setelah perceraian. Ia belajar tersenyum agar ibunya tidak runtuh. Ia belajar menjadi "baik-baik saja" di hadapan dunia. Tapi siapa peduli, ketika semua hanya menatap dari permukaan?
Dua jiwa ini bertemu di sebuah kelas seni. Bukan pertemuan yang heboh. Tidak ada buku jatuh dan tangan yang bersentuhan. Tidak ada drama murahan. Yang ada hanya dua pasang mata yang saling membaca luka di balik diam.

Bandung: Kota yang Basah oleh Rindu
Film Bertaut Rindu, disutradarai oleh Rako Prijanto, memindahkan kita ke Bandung yang tak sekadar menjadi latar, tetapi menjadi tokoh itu sendiri. Kota ini digambarkan dengan kabut pagi, jalan-jalan basah selepas hujan, dan ruang-ruang yang sepi tapi penuh gema. Ada ITB dengan lorong seninya yang sunyi. Ada taman tempat Jovanka dan Magnus duduk diam, tidak saling bicara, tapi paham.
Di sinilah, film ini mengajak kita menyelami dunia remaja bukan dari lensa "anak-anak zaman sekarang," melainkan sebagai manusia utuh yang rentan, berpikir keras, dan haus diakui. Magnus tidak sedang memberontak. Ia sedang mencari hak untuk memilih. Jovanka tidak sedang galau. Ia sedang belajar bertahan tanpa kehilangan dirinya sendiri.

Magnus: Sunyi yang Tak Ingin Lagi Diam
Magnus (diperankan dengan halus oleh Ari Irham) adalah potret klasik remaja dari keluarga baik-baik yang perlahan hancur di dalam. Ia diterima di jurusan seni rupa ITB---impian yang lahir dari cinta pada warna, bentuk, dan kesunyian kanvas. Tapi bagi ayahnya, seni hanyalah hobi. Bukan masa depan. Masa depan ada di Oxford, di balik jas abu-abu dan spreadsheet bisnis.
Magnus nyaris menyerah. Hingga Jovanka datang seperti matahari jam tujuh pagi. Tidak terlalu terang. Tapi cukup untuk membuat ia ingin bangun.

Jovanka: Luka yang Belajar Menyembuhkan Diri
Jovanka (Adhisty Zara, dalam salah satu peran terbaiknya sejauh ini) adalah gadis yang pindah dari Jakarta ke Bandung setelah orangtuanya bercerai. Ia tinggal bersama ibunya yang keras tapi rapuh. Ia murid baru, dan seperti semua murid baru, ia tahu bagaimana cara menyembunyikan kegugupan di balik senyum ramah.
Yang menarik dari karakter Jovanka adalah kemampuannya untuk tidak menjadi korban. Ia tahu hidup tidak adil. Tapi ia tidak ingin terus-menerus kalah. Ia tidak menunggu pahlawan. Bahkan saat jatuh cinta, ia tidak "diselamatkan" oleh Magnus. Sebaliknya, dia yang menarik Magnus keluar dari sarangnya.

Mereka Tidak Saling Menyembuhkan. Tapi Saling Mendengarkan.
Salah satu kekuatan film ini adalah tidak menjebak kisah cinta remaja dalam trope penyelamatan satu sama lain. Magnus tidak memperbaiki Jovanka. Jovanka juga tidak menyembuhkan Magnus. Tapi mereka saling menjadi ruang dengar. Dan sering kali, itu yang lebih penting.
Ada satu adegan yang sangat membekas: Magnus dan Jovanka duduk di tangga galeri, setelah gagal presentasi tugas seni. Jovanka hanya berkata, "Kalau kamu memang enggak mau ke Oxford, kamu harus bisa bilang." Magnus diam. Jovanka melanjutkan, "Kadang kita enggak bisa menang. Tapi kita enggak harus terus kalah."
Kalimat itu sederhana. Tapi seperti semua dialog terbaik dalam hidup, ia datang dari pengalaman, bukan teori.

Visual dan Ritme: Senyap yang Penuh Arti
Secara visual, Bertaut Rindu adalah film yang tahu kapan harus diam. Kamera tidak tergesa-gesa. Pencahayaan lembut, nyaris melankolis. Banyak adegan diambil dalam satu take panjang---membiarkan emosi mekar pelan. Tidak ada scoring yang mendominasi. Musik hadir hanya ketika dibutuhkan, seperti tisu yang ditawarkan tanpa diminta.
Film ini bukan untuk penonton yang haus plot twist. Ini bukan film tentang "apa yang terjadi selanjutnya." Tapi tentang "mengapa perasaan ini muncul." Ia seperti puisi. Tidak untuk dipahami, tapi dirasakan.

Orang Tua yang Tak Mendengar, dan Anak-Anak yang Terluka
Tema besar film ini adalah komunikasi yang gagal dalam keluarga. Magnus punya orang tua yang sibuk memaksakan masa depan tanpa mendengar masa kini anaknya. Jovanka punya ayah dan ibu yang menuntut perhatian dari sang anak yng sudha terluka akibat perceraian mereka. 

Di situlah letak tragedi: banyak orang tua tidak menyadari bahwa anak adalah pribadi yang berhak menentukan pilihan sendiri .


Cinta Tidak Menyelesaikan Masalah. Tapi Membuat Masalah Lebih Ringan.
Ada kecenderungan dalam film remaja untuk menjadikan cinta sebagai solusi semua hal. Bertaut Rindu menghindar dari perangkap itu. Magnus tetap harus menghadapi ayahnya. Jovanka tetap harus berjuang di rumah. Tapi dengan saling menyayangi, mereka punya satu hal yang sebelumnya tidak ada: keberanian.
Mereka bukan pasangan yang selalu mesra. Ada konflik. Ada salah paham. Tapi mereka belajar untuk tidak pergi. Untuk tetap tinggal, walau sulit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun