Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen , penulis buku “1001 Masjid di 5 Benua” dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Mengenal Batik Tiga Negeri di Batik Lumintu, Lasem

14 Juli 2025   12:40 Diperbarui: 14 Juli 2025   12:40 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Pagi itu, rombongan Wisata Kreatif Jakarta baru saja meninggalkan dapur tempe beraroma kayu bakar di Omah Tempe Mbah Masrifah. Kami menyusuri gang kecil di kawasan Sumbergirang, Lasem. Langkah kami melewati rumah-rumah tua yang berdiri dengan keanggunan senyap. Di ujung gang, kami tiba di sebuah rumah kuno dengan pintu hijau dan halaman yang teduh oleh pepohonan. Di sinilah Batik Lumintu berada.

Y Thiam Keng : foto Tasya 
Y Thiam Keng : foto Tasya 

Di depan pintu, saya sempat melihat papan nama bertuliskan Y. Thiam Keng. Saya menduga nama itu milik pemilik rumah pada masa lalu.

Halaman tengah rumah itu berlantai tegel klasik, memperlihatkan bangunan utama dengan teras yang dijadikan showroom batik. Arsitekturnya khas Tionghoa Hindia, dengan tiang-tiang kayu hijau toska. Warna ini memang banyak dijumpai pada rumah-rumah tua di Lasem.

Gigi balang di Batik Lumintu : dokpri 
Gigi balang di Batik Lumintu : dokpri 

Yang menarik perhatian saya adalah lisplang atau tepian atap rumah yang berbentuk gigi balang---mirip dengan rumah Betawi yang pernah saya lihat di Condet dan Situ Babakan. Bentuknya segitiga dengan bulatan kecil di atasnya, terbuat dari kayu dan dicat toska-putih. Konon, bentuk segitiga itu melambangkan gunung---simbol kejujuran, keteguhan, dan keberanian, seperti sifat belalang yang gigih.

Kami disambut oleh Mbak Ekawatiningsih---atau Mbak Eka---pemilik Batik Lumintu sekaligus pewaris rumah tua ini. Rumah itu, menurutnya, telah berusia lebih dari dua abad. Ketika saya bertanya tentang huruf "Y" di papan nama depan rumah, ia menjelaskan bahwa itu bukan Yo atau Yap, melainkan dibaca "Ie", nama keluarga dari pihak ibu dan leluhur. Saya jadi teringat komik Kho Ping Ho yang pernah saya baca berjudul Ang Ie Nio Cu. Pada nama ini Ie bermakna Baju. Namun tentu saja, kemiripan ucapan  belum tentu bermakna sama. Pada bahasa Tionghoa makna suatu kata harus dilihat dari aksara nya.

Bangau dan rusa : dokpri 
Bangau dan rusa : dokpri 

Di bagian kuda-kuda rumah, saya menemukan detail ukiran kiri dan kanan yang masih utuh. Di sisi kiri tergambar gajah dan kura-kura; di kanan, burung bangau dan rusa. Gajah yang kuat berdampingan dengan kura-kura yang panjang umur melambangkan harapan akan kehidupan yang stabil dan sehat. Sementara rusa dan bangau adalah simbol keberkahan, rezeki, ketenangan, dan umur panjang. Keseluruhan hiasan itu terasa seperti doa yang dibingkai dalam ukiran.

Gajah dan kura-kura: dokpri 
Gajah dan kura-kura: dokpri 

Rumah ini bukan sekadar tempat tinggal atau showroom. Ia adalah ruang hidup, ruang kerja, dan ruang warisan---tempat motif-motif kuno Lasem perlahan dihidupkan kembali.

Mbak Eka, Mbak Tasya dna suasan teras: dokpri 
Mbak Eka, Mbak Tasya dna suasan teras: dokpri 

Di tengah teras terdapat dua tiang jati besar yang menopang atap, dicat coklat dan dikelilingi perabotan tua seperti jam berdiri dan lampu gantung antik. Pintu utama berwarna coklat tua, dihiasi empat aksara Hanzi, dan diapit empat potret hitam-putih para leluhur pendiri rumah ini.

Sekilas Sejarah dan Warisan yang Panjang
Kami dipersilakan duduk di teras sambil menikmati air mineral. Mbak Eka mulai bercerita. Ia merupakan generasi keenam dari keluarga pembatik. Kakeknya adalah pembatik aktif yang membuat blanko merah untuk dikirim ke Solo dan bahkan memiliki hubungan keluarga dengan pengusaha batik di sana. Namun, setelah wafatnya sang kakek pada 1958, usaha dilanjutkan oleh paman hingga akhirnya vakum pada 1965.

Selama lima dekade, rumah itu sunyi dari suara kompor malam dan goresan canting. Baru pada 2015, Mbak Eka kembali ke Lasem setelah tiga dekade tinggal di Semarang karena ibunya sakit. Di kampung halaman inilah ia mulai membangkitkan kembali usaha batik keluarganya.
Tahun 2016, Batik Lumintu resmi dibuka kembali. Sebuah permulaan dari titik nol. Ia memulai kembali bersama tiga pembatik senior: Lasmirah, Parsini, dan Sukarmi. Ketiganya adalah pembatik 'alusan'. Lasmirah, terutama, dikenal akan kepiawaiannya membuat motif gunung ringgit tanpa pola---langsung dari ingatan dan ketekunan, seperti warisan yang tak bisa diajarkan sepenuhnya.

Dari Titik Nol hingga Jatuh Cinta Lagi
Pada awalnya, tak ada pembeli. Namun dukungan dari teman-teman masa kecilnya di SD Wijaya, seperti Santoso Hartono dari Pusaka Beruang dan Pomo dari Batik Mawar, menjadi penopang penting. Bahkan Didiet Maulana, sahabat lamanya yang kini desainer ternama, turut memberi masukan soal visual dan kualitas kain.

Sejak saat itu, Mbak Eka mulai fokus mengembangkan batik tiga negeri---batik klasik yang menggabungkan merah Lasem, biru Pekalongan, dan soga Solo. Ia mulai mencampurkan motif klasik seperti gunung ringgit, latohan (rumput laut khas Lasem), kricakan, dan sekar jagad. Motif-motif ini digarap dengan semangat agar unsur khas Lasem benar-benar terasa dalam selembar kain.


Produk dan Harga: Dari Premium hingga Terjangkau
Batik tulis memerlukan waktu pengerjaan panjang dan ketelitian tinggi. Semakin kompleks motif dan warnanya, semakin tinggi pula harga kainnya.
Namun, menyadari tidak semua orang bisa membeli kain jutaan rupiah, Batik Lumintu juga memproduksi scarf dua warna dan berbagai souvenir. Harga kain batik tiga negeri berkisar dari Rp1.750.000 hingga belasan juta. Saya sempat melihat kain batik tiga negeri dengan harga Rp17,5 juta---motif merak, bunga sakura, gunung ringgit, gringsing dengan latar dekat jagad dan warna soga. Kain itu tampak anggun dan mewah.
Kekayaan visual batik-batik itu tak hanya dari motif klasik, tetapi juga dari inspirasi visual arsitektur rumah: lukisan pintu, pola langit-langit, ukiran lemari. Semua itu seperti kamus visual yang diolah menjadi motif batik.

Lasem: Titik Temu Warisan dan Harapan
Apa yang dilakukan Mbak Eka dan para pembatik Lasem bukan semata kegiatan ekonomi. Mereka juga menjalankan pelestarian budaya sesuai amanat undang-undang.
Lasem memang unik: ia adalah titik temu budaya Tionghoa, Jawa, dan bahkan Eropa.
Menurut catatan, pada masa jaya nya di awal abad CX, Lasem pernah memiliki 120 pengusaha batik Tionghoa di desa-desa seperti Soditan, Karangturi, dan Gedongmulyo. Kini hanya segelintir yang tersisa. Rumah batik seperti Nyah Kiok, Kidang Mas, Pusaka Beruang, dan Lumintu menjadi simpul-simpul pelestarian yang hidup.
Pelestarian ini tidak bisa berjalan sendiri. Ia memerlukan dukungan dari akademisi, komunitas, pemerintah, media, dan pelaku usaha.

Interaksi, Belanja, dan Semangat Baru
Dalam kunjungan itu, para peserta---terutama ibu-ibu---banyak yang membeli kain batik sebagai kenang-kenangan. Saya sendiri membeli dua kain yang akan dijahit menjadi kemeja oleh Mbak Tasya, asisten Mbak Eka yang sigap melayani kami. Sebenarnya tersedia juga kemeja jadi, tapi ukurannya terlalu kecil untuk saya.

Mbak Tasya membantu saya memilih motif yang sesuai. Saya akhirnya memilih dua: satu kain bledak (latar putih) dengan motif burung dan bunga seruni; satu lagi kain merah-hitam bermotif burung hong dan bunga seruni. Keduanya khas Lasem dan harganya cukup terjangkau.

Para pembatik : dokpri 
Para pembatik : dokpri 

Di sisi teras, di bangunan samping rumah, tiga orang pembatik tengah sibuk bekerja dengan canting dan malam. Mereka duduk di dingklik kecil, dikelilingi kerupuk dalam plastik, botol air mineral, dan tabung gas pemanas malam. Ketika saya menyapa, mereka membalas dengan ramah dan menjelaskan bahwa mereka sedang mengerjakan tahapan berikut:
Ngelowong: membuat garis besar motif batik di atas kain menggunakan canting dan malam.

Ngiseni: mengisi bagian dalam motif dengan detail dan ornamen halus.

Nembok: menutup bagian-bagian tertentu dengan malam sebelum proses pewarnaan agar tetap berwarna asli.

"Yang daster hijau Mbah Timah, kaos kuning Mbah Wakini, dan kaos putih Bu Sum," jelas Mbak Tasya saat saya tanya siapa mereka.
Mbak Tasya sendiri bukan pegawai tetap. Ia biasa dipanggil bila ada tamu atau proses produksi tertentu, seperti memola---yakni menjiplak motif dari kertas ke kain---atau menyolet, yaitu mewarnai batik dengan kuas. Ia mengenal Mbak Eka sejak awal pandemi sekitar tahun 2020, saat menjahitkan kain batik. Sejak saat itu hubungan keduanya terjalin erat, seperti teman dekat bahkan saudara.

Menjaga Rumah, Menjaga Ingatan
Sebelum meninggalkan rumah itu, saya kembali menatap langit-langit. Di sana, kuda-kuda rumah masih kokoh menopang waktu. Di kiri: gajah dan kura-kura. Di kanan: bangau dan rusa. Mungkin itu bukan hanya ukiran, melainkan simbol daya tahan dan kebebasan.
Seperti batik itu sendiri---hidup bukan karena disimpan, tetapi karena dikerjakan, digunakan, dan dicintai.
Kami pun melangkah keluar dari rumah itu. Sebagian membawa selembar kain, sebagian membawa pesanan seperti saya. Tapi yang pasti, semua dari kami pulang dengan pengenalan baru akan Batik Lasem---warisan yang sarat makna dan akulturasi, yang kini hidup kembali melalui tangan-tangan sabar dan ruang yang dijaga dengan cinta.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun