Tidak terasa, langkah-langkah kecil membawa kami ke Praca Lus de Camoes, alun-alun kecil yang sibuk. Trem-trem kuning menderu pelan. Anak-anak berlarian mengejar merpati. Di bawah patung penyair besar Portugal itu, hidup terasa biasa. Tapi justru di sanalah segala perubahan menemukan makna: saat kehidupan kembali menjadi keseharian yang tak diawasi. Kami duduk di bangku batu. Seorang musisi jalanan memetik gitar.
Melodi fado merayap pelan di antara lalu-lalang trem. Nuno duduk di sisi kami dan berkata:
"Anyelir merah yang diselipkan di laras senapan, itu bukan kebetulan. Anyelir adalah bunga murah, dijual oleh para perempuan di pasar. Saat revolusi meletus, mereka berikan bunga itu kepada tentara. Senapan berubah menjadi vas. Dan itulah yang dikenang."
Portugal kini adalah negara demokratis. Tapi tidak semua luka sembuh sepenuhnya. Kolonialisme yang pernah dijalankan, terutama di Angola, Mozambik, dan juga di Timor Timur. Sambil menikmati sepotong Portuguese Egg Tart, saya bertanya tentang Timor Leste. Nuno menatap jauh.
"Ketika revolusi terjadi, kami melepas banyak jajahan. Tapi Timor... ditinggalkan begitu saja."
Aku menoleh, diam. "Indonesia masuk setelah itu. Mungkin karena kekosongan kekuasaan. Mungkin karena kami terlalu lelah menata ulang negeri ini," lanjutnya. Ada getir di nada suaranya. Tapi tak ada tuduhan, hanya penyesalan historis.
Dia berkata, "Xanana Gusmo pernah berkata: 'Kami tidak membenci. Kami hanya ingin didengar.'"
Kata-kata itu menggema seperti doa yang belum selesai. Sejarah tak selalu adil. Tapi pengakuan bisa menjadi awal dari pemulihan. Saya tersenyum tipis. Timor Leste kini merdeka, tapi tak bisa dipungkiri bahwa luka kolonialisme tetap berdetak dalam sejarah.
Matahari mulai meninggi malu-malu di balik bukit Alfama. Saya menatap Lisboa yang bersinar redup, kota yang menyimpan kisah revolusi paling damai dalam sejarah dunia. Ada keheningan yang akrak. Seperti doa yang dipanjatkan tanpa suara.