Kami tiba di Gunung Padang sekitar pukul 3 sore, disambut oleh Pak Nanang, salah satu ketua dan suhu para pemandu di sana, menurut Mbak Ira.
Pak Nanang, pria berusia sekitar 50 tahun dan asli warga setempat, mengajak kami ke rumahnya untuk makan siang sebelum mendaki situs megalitik terbesar di Asia Tenggara ini.
Makanan yang disajikan di rumah Pak Nanang sederhana namun sangat lezat: nasi lalapan, ayam goreng, telur dadar, sambal, timun, ikan teri, tahu, tempe, dan tentu saja teh hangat dan pisang. Sambil menikmati hidangan, Pak Nanang mulai menceritakan sedikit sejarah Gunung Padang.
Setelah menunaikan salat, kami bersiap untuk mendaki.
Di kaki gunung, terdapat mata air yang konon mirip air zam-zam namanya air Kahuripan. Bagi yang ingin bermeditasi, disarankan untuk menyucikan diri di sini dan melepas alas kaki. Air ini juga bisa dibawa pulang.
Gunung Padang memiliki dua jalur pendakian:@ yaitu di sebelah kiri dengan jarak 175 meter, lebih terjal dengan 378 anak tangga.
Senentata tangga di sebelah kanan: dengan 725 anak tangga, lebih landai namun lebih jauh yaitu sekitar 300 meter .
Kami memilih jalur kiri dan mulai naik hingga tiba di Teras 1.
Eksplorasi Lima Teras Gunung Padang
Teras 1
Sampai di teras pertama kami duduk dan disarankan melonjorkan kaki untuk menghilangkan rasa lelah sehabis mendaki. Sambil duduk membentuk setengah lingkaran, acara kunjungan ke Gunung Padang dibuka dengan resmi oleh mbak Ira.
Lalu pak Nanang menceritakan kembali sejarah singkat Gunung Padang, dari sejak zaman Pajajaran, hingga ditemukan sewaktu zaman Belanda dan terlahir pada tahun 1914 sesuai laporan N.J Krioom.
Baru pada tahun 1979, salah seorang penduduk yang kebetulan berkebun menemukan batu-batuan dan akhirnya melaporkan ke dinas purbakala. Kebetulan yang melaporkan ini adalah Pak Suma dan merupakan kakek pak Nanang sendiri.
Baru kemudian arkeolog dari Universitas Indonesia melakukan penelitian lebih lanjut tentang Gunung Padang dan sayang terhenti ketika Gunung Galunggung meletus pada 1982.
Baru pada tahun 2010 an penelitian dilanjutkan sehingga ada anggapan bahwa struktur punden berundak ini lebih tua dari piramida di Mesir. Dan situs ini mulai terkenal sebagai tujuan wisata ketika dinyatakan sebagai cagar budaya pada 2014.
Nanun sebelumnya Gunung Padang juga sudah sering dikunjungi oleh orang yang ingin ziarah atau meditasi.
Di teras satu ini terdapat dua menhir yang mirip sebagai pintu gerbang. Setelah masuk ke dalamnya ada tempat berbentuk segi lima tempat bermeditasi. Pak Nanang sebelumnya juga menjelaskan bahwa hampir semua batuan andesit yang berbentuk menhir menilik penampang berbentuk segi lima atau pentagon walau ada juga sebagian berbentuk prisma.
Angka lima ini ada hubungannya dengan rukun Islam dan juga Pancasila. Wah menarik sekali penjelasannya.
Kami kemudian melakukan ritual dipimpin oleh pak Nanang dengan memenjamkan tangan dan duduk bersila. Terasa sangat sejuk angin yang bertiup serta suara alam nan merdu ketika sejenak bermeditasi di tempat ini. Ada semacam energi yang sudah dijelaskan mengalir ke dalam tubuh dan menyegarkan jiwa.
Masih di teras satu ini terdapat semacam ruang persegi tempat Batu Gamelan dan Batu Kacapi, yang dapat mengeluarkan bunyi khas ketika diketuk. Fenomena ini disebabkan oleh sifat akustik batuan andesit di situs ini.
"Pada batu ini ada lekukan yang bentuknya mirip huruf Alif, " tambah pak Nanang sambil menjelaskan bahwa sudah begitu bentuknya ketika pertama kali ditemukan oleh kakek beliau.
Pak Nanang menggunakan tangan dan mengetuk pada Batu Gamelan. Nada yang keluar terdengar seperti "da-mi-na-ti-la-da", mengingatkan pada tangga nada Sunda. Saya pun penasaran dan minta mencoba mengetuk batu ini, dan memang terdengar nada yang berbeda-beda tergantung pada titik pukulannya.
Sementara batu kecapi walau diketuk menimbulkan nada yang sama di seluruh bagiannya. Nah pada ritual meditasi yang sesungguhnya, iringan batu gamelan dan kecapi akan menemani orang orang yang datang dan pasti membuat suasana sakral yang berkesan. Apalagi acara ini dilakukan di tengah malam yang sunyi.
Di teras satu ini terdapat tumpukan batu yang membentuk bukit dinamakan bukit masigid. Uniknya puncaknya nanti terletak di teras kedua.
Teras 2
Kami kemudian naik menuju ke teras kedua. Di sini terdapat mahkota dunia yang berisikan puncak bukit masigid tad. Untuk masuk ke sini kami harus membuka alas kaki dan di sini dapat melihat pemandangan dan hamparan teras perayaan serta gunung dan bukit yang ada di sekitar Gunung Padang.
Pak Nanang juga menerangkan beberapa batu tempat yang paling afdol untuk bersemedi. Saya dan Nindya Serta beberapa peserta lain secara bergantian mencoba. Walau hanya sejenak memberikan sensasi yang luar biasa.
Di sini juga ada sepasang pohon besar yang berdampingan. Yang pertama bernama Ki Kemenyan yang melambangkan lelaki serta yang kedua Pohon Hamirung yang melambangkan perempuan.
Dan di depan Bukit Mahkota Dunia ini terdapat sebuah batu bernama Batu Lumbung, yang melambangkan simbol kemakmuran dan kesejahteraan.
Perjalanan dilanjut ke teras ketiga dan disini terdapat Batu Kursi yang diduga sebagai tempat berkumpulnya para pemimpin dan digunakan dalam upacara adat atau rapat kerajaan. Pak Nanang sempat memperagakan duduk di batu ini. Tampak gagah dan berwibawa mirip seorang raja dengan setelan hitam hitam dan ikat kepalanya.
Masih di teras ketiga, juga terdapat batu kujang.
"Dinamakan demikian karena ada ukiran kujang," jelas pak Nanang sambil menjelaskan bahwa kujang adalah senjata khas orang Sunda seperti layaknya keris bagi orang Jawa sambil menunjuk bordiran kujang yang ada di ikat kepala yang dipakainya. Kata 'kujang' itu sendiri sebenarnya berasal dari kata 'ku ujang' yang bermakna kamu pegang, jalankan, telusuri apa makna di Gunung Padang
Di sisi sebelah timur teras, ada lagi Batu Tapak Maung, yang memiliki cekungan menyerupai jejak harimau. Namun menurut pak Nanang maung di sini adalah singkatan manusia unggul dan pada tapak itu ada sembilan lekukan yang melambangkan lima hari dan empat tonjolan pada telapak tangan manusia.
Pak Nanang berkisah bahwa tempat ini dulu digunakan oleh prabu Siliwangi untuk duduk sambil memandang mentari terbit di ufuk timur. Di sini juga ada lekukan untuk kedua kaki serta tongkat sang prabu.
Waktu semakin sore, kami melanjutkan naik ke teras keempat.
Di sini terdapat Batu Kanuragan, tempat para leluhur menguji kekuatan spiritual seseorang. Batu ini juga disebut batu gendong dan konon barang siapa yang mampu mengangkatnya maka keinginannya akan terkabul.
Akhirnya kami menjunjung ke teras tertinggi yaitu teras kelima.
Teras ini merupakan teras yang paling sakral. Dan disini pula ada batu singgasana yang selain tempat duduk juga bisa digunakan untuk telentang sambil memandang langit malam yang sangat jernih.Di sini juga terdapat batu Pendaringan atau altar.
Lokasi ini merupakan tempat peristirahatan atau berhening setelah melalui teras pertama hingga kelima. Konon, tempat ini sebagai pusat bersemedi para leluhur.
"Menurut cerita turun temurun dari nenek moyang, teras kelima ini merupakan tempat bersemedi Sunan Ambu dan Sunan Rama (Adam dan Hawa), yang lokasi tepatnya terletak di tengah teras kelima. Dan masih ada satu lagi yaitu prabu yang merupakan putra atau anak dari Rama (ayah) dan ibu (ambu).
Empat Unsur Alam di Gunung Padang
Pak Nanang menjelaskan bahwa Gunung Padang memiliki keseimbangan empat unsur utama dalam kehidupan yaitu :
Tanah -- Struktur situs yang tersusun dari batuan andesit melambangkan kekokohan bumi.
Air -- Mata air di kaki gunung yang dianggap suci dan memiliki energi penyucian.
Angin -- Hembusan angin di puncak yang sering membawa ketenangan bagi mereka yang bermeditasi.
Api -- Diyakini hadir dalam energi spiritual yang mengalir di tempat ini, serta dalam upacara pembakaran dupa.
Sambil memperagakan tidurnya di batu singgasana, Pak Nanang menyebutkan bahwa penginapan di homestay rumahnya tersedia bagi mereka yang ingin merasakan suasana malam di Gunung Padang. Waktu terbaik untuk menginap adalah bulan Juni, Juli, dan Agustus, saat langit cerah.
Saat malam tiba, pengunjung bisa kembali naik ke Teras 5, duduk atau tiduran sambil menikmati langit penuh bintang. Rasi bintang seperti Sagitarius bisa terlihat dengan sangat jelas.
Pak Nanang juga bercerita bahwa ia pernah melihat benda mirip UFO di dekat pohon yang aksisnya berwarna kekuningan. Ia mengatakan benda itu melayang tanpa suara sebelum akhirnya menghilang.
Sebelum turun, kami mengambil air dari mata air di kaki gunung, sambil berdoa dan membakar dupa sebagai tanda penghormatan.
Gunung Padang bukan sekadar situs megalitik, tetapi juga tempat yang penuh dengan energi dan sejarah yang masih terus diteliti.
Sekitar pukul 5,45 sore, kami mengucapkan selamat tinggal dan Terimakasih kepada pak Nanang dan Gunung Padang dengan harapan dapat kembali lagi kesini .
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI