Saya ingin memulai tulisan ini dengan dua rasa yang tak bisa dipisahkan: syukur dan bangga. Syukur karena Allah masih menitipkan semangat dakwah kepada kita. Dan bangga, karena dari sebuah sudut Sumatera Selatan, dari Muaraenim, lahir sebuah karya penting yang menandai geliat baru dalam menghidupkan masjid bukan hanya sebagai tempat sujud, tetapi sebagai pusat peradaban.
Adalah KH. Taufik Hidayat, S.Ag., M.I.Kom., saya sebut seorang pendidik, dai, dan komunikator Islam yang dalam sunyi dan kesabaran, menulis buku Menyemai Cahaya Kata.
Judulnya puitis, namun isinya sangat aplikatif dan strategis. Buku ini bukan sekadar panduan teknis ibadah, melainkan ikhtiar sistematis untuk menyelamatkan ruh masjid dari redupnya cahaya dakwah.
 Masjid : Dari Pusat Spiritualitas Menuju Pusat Peradaban
Kita tahu, dalam sejarah Islam, masjid bukan hanya tempat bersujud. Rasulullah SAW mendirikan Masjid Nabawi sebagai langkah pertama setelah hijrah ke Madinah. Masjid itu bukan sekadar tempat salat, tapi menjadi markas militer, pusat pendidikan, ruang konsultasi sosial-politik, bahkan menjadi tempat tinggal bagi para kaum miskin dan musafir, seperti para penghuni ashabul shuffah.
Dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim, kita tahu bahwa Rasulullah SAW biasa mempersilakan para sahabat belajar, berdiskusi, bahkan bermalam di masjid. Inilah model masjid yang menyatu dengan denyut hidup umat.
Seperti kata Sayyidina Ali bin Abi Thalib:Â "Masjid adalah rumah setiap orang bertakwa."
Al-Qur'an pun menegaskan fungsi masjid dalam QS. At-Taubah [9]: 18: "Sesungguhnya yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir..."
Memakmurkan masjid bukan hanya mengisi jadwal salat berjamaah, tetapi menghidupkan ruhnya: ilmu, adab, dan pelayanan umat.