Mohon tunggu...
Taufik Alamsyah
Taufik Alamsyah Mohon Tunggu... Seorang tenaga pengajar

Mengajar adalah belajar

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kabinet Indonesia Pada Awal Kemerdekaan

1 September 2025   21:30 Diperbarui: 1 September 2025   21:30 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bayangkan sebuah negara yang baru saja lahir. Umurnya belum genap sehari, tapi ia sudah harus menyiapkan segala macam perlengkapan hidup: rumah, pakaian, hingga cara makan. Begitulah Indonesia setelah proklamasi 17 Agustus 1945. Merdeka, ya---tapi masih rapuh, masih mencari bentuk, dan yang terpenting: harus segera menunjukkan pada dunia bahwa ia bukan sekadar mimpi yang ditulis di atas kertas.

Untuk itulah dibentuklah kabinet. Kabinet ibarat otak sekaligus jantung pemerintahan: di sanalah keputusan diambil, arah bangsa ditentukan, dan masa depan dititipkan. Namun, jalan yang ditempuh tidak pernah mulus. Setiap kabinet harus berdiri di atas badai: di luar ada Belanda yang ingin kembali berkuasa, di dalam ada tarik-menarik kepentingan partai dan ideologi.

Maka jangan heran bila kabinet pada masa awal kemerdekaan berganti-ganti, seolah pintu rumah pemerintahan belum sempat ditutup rapat, sudah ada tamu baru yang masuk. Tapi di balik pergantian itu tersimpan cerita: cerita perjuangan, eksperimen politik, dan upaya bertahan hidup sebuah republik muda.

Kabinet adalah susunan menteri-menteri yang dipimpin oleh seorang perdana menteri atau presiden, yang bertugas membantu menjalankan roda pemerintahan. Kalau negara diibaratkan kapal besar, maka presiden atau perdana menteri adalah kapten, sedangkan kabinet adalah para awak yang menggerakkan layar, mengatur arah kompas, dan memastikan kapal tidak karam.

Mengapa kabinet harus ada?
Karena sebuah negara tidak bisa dijalankan oleh satu orang saja. Presiden bisa punya visi besar, tapi tanpa menteri yang mengurus pendidikan, keuangan, pertahanan, kesehatan, dan bidang lainnya, visi itu akan macet di tengah jalan. Kabinet adalah pembagi tugas agar pemerintahan berjalan lancar, ibarat tim kerja yang masing-masing punya peran penting.

Di masa awal proklamasi, kabinet bukan sekadar alat kerja, melainkan simbol: dunia harus melihat bahwa Indonesia punya pemerintahan yang teratur, bukan sekadar negara proklamasi tanpa isi. Namun, jalan kabinet tidak pernah mulus. Belanda datang membawa tentara, partai-partai dalam negeri saling tarik-menarik, dan rakyat masih sibuk mempertahankan kemerdekaan dengan bambu runcing.

Maka, kabinet pun sering berganti. Bukan karena bangsa ini suka bongkar-pasang, tapi karena setiap saat harus menyesuaikan strategi agar Republik tetap tegak berdiri.

Kabinet-Kabinet Indonesia Pasca Kemerdekaan dan Alasan Pergantiannya;

Kabinet Presidensial Pertama (19 Agustus -- 14 November 1945)

Dibentuk setelah proklamasi, sistemnya presidensial: presiden memegang kendali penuh.

Alasan diganti: Banyak pihak (terutama Sekutu) meragukan apakah Indonesia demokratis. KNIP mendesak sistem parlementer agar kabinet bertanggung jawab ke parlemen, bukan semata presiden. Maka kabinet ini berubah jadi parlementer.

Kabinet Sutan Sjahrir I (14 November 1945 -- 12 Maret 1946)

Kabinet parlementer pertama, dipimpin tokoh muda Sutan Sjahrir. Ia dianggap pandai berdiplomasi di mata internasional.

Alasan diganti: Banyak tekanan dari kelompok oposisi dalam negeri, khususnya mereka yang tidak sepakat dengan pendekatan diplomasi Sjahrir terhadap Belanda. Dukungan politik di KNIP melemah, sehingga kabinet jatuh.

Kabinet Sutan Sjahrir II (12 Maret -- 2 Oktober 1946)

Dibentuk kembali karena Sjahrir masih dipercaya sebagian besar kelompok politik.

Alasan diganti: Terjadi penculikan Sjahrir oleh kelompok oposisi yang tidak setuju dengan arah politiknya. Walau berhasil selamat, posisinya semakin goyah.

Kabinet Sutan Sjahrir III (2 Oktober 1946 -- 27 Juni 1947)

Mencapai kesepakatan dalam Perjanjian Linggarjati (25 Maret 1947). Perjanjian ini mengakui de facto wilayah Indonesia hanya Jawa, Sumatra, dan Madura.

Alasan diganti: Linggarjati dianggap terlalu menguntungkan Belanda. Dukungan politik pada Sjahrir hilang, partai-partai menarik diri.

Kabinet Amir Sjarifuddin I (3 Juli 1947 -- 11 November 1947)

Amir berasal dari kalangan kiri, memimpin kabinet menghadapi Agresi Militer Belanda I (21 Juli 1947).

Alasan diganti: Tidak mampu menahan agresi, banyak pihak kecewa dengan kepemimpinannya.

Kabinet Amir Sjarifuddin II (11 November 1947 -- 29 Januari 1948)

Amir mencoba memperbaiki keadaan, tapi justru menandatangani Perjanjian Renville (17 Januari 1948) yang makin mempersempit wilayah Republik.

Alasan diganti: Renville dianggap terlalu merugikan Indonesia, dukungan politik langsung rontok. Amir dipaksa mundur.

Kabinet Mohammad Hatta I (29 Januari 1948 -- 19 Desember 1948)

Kabinet ini berusaha menata kekuatan militer, termasuk kebijakan rasionalisasi tentara (mengurangi jumlah laskar dan menyatukan ke TNI).

Alasan diganti: Pada masa ini terjadi perpecahan internal, termasuk pemberontakan PKI Madiun 1948. Ditambah Agresi Militer II (19 Desember 1948) membuat pemerintahan pusat lumpuh di Yogyakarta.

Kabinet Darurat Sjafruddin Prawiranegara (19 Desember 1948 -- 13 Juli 1949)

Dibentuk di Bukittinggi setelah Yogyakarta jatuh, untuk menyelamatkan eksistensi Republik.

Alasan diganti: Setelah Soekarno-Hatta dibebaskan dan pemerintahan RI kembali berjalan, kabinet darurat bubar dengan sendirinya.

Kabinet Hatta II (4 Agustus -- 20 Desember 1949)

Kabinet terakhir menjelang pengakuan kedaulatan. Fokus utamanya adalah mengawal Konferensi Meja Bundar (KMB).

Alasan diganti: Setelah KMB selesai dan Belanda mengakui kedaulatan, sistem berubah menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS). Maka kabinet Hatta II berakhir karena struktur negara pun berubah.

Pergantian kabinet pada masa awal kemerdekaan bukan semata karena ambisi pribadi, tapi lebih karena kondisi darurat: tekanan Belanda, tarik-menarik antarpartai, perbedaan ideologi, dan kebutuhan diplomasi internasional. Indonesia masih mencari bentuk pemerintahan yang paling cocok untuk bertahan hidup di tengah gempuran dari luar dan dalam.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun