Mohon tunggu...
Taufik Alamsyah
Taufik Alamsyah Mohon Tunggu... Seorang tenaga pengajar

Mengajar adalah belajar

Selanjutnya

Tutup

Seni

Met Gala: Mengapa India di Atas Indonesia?

7 Mei 2025   20:23 Diperbarui: 7 Mei 2025   20:39 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.hindustantimes.com/

Setiap awal Mei, sebuah candi kontemporer bernama Metropolitan Museum of Art disulap menjadi panggung surgawi tempat para dewa fashion turun ke bumi. Di sanalah Met Gala digelar, bukan sekadar pesta, tapi perjamuan simbolik di mana kekuasaan, selera, dan sejarah berpadu dalam potret-posting yang akan abadi di lini masa dunia. Tapi seperti biasa, kita hanya bisa memandang dari jauh, dari layar 6 inci yang penuh iri dan tanda tanya: mengapa artis-artis India terus berdansa di karpet merah, sementara Indonesia seperti tidak pernah diundang?

Met Gala lahir pada tahun 1948, bukan dari perut industri mode yang mewah, tapi dari semangat filantropi Eleanor Lambert, seorang pionir fashion Amerika. Awalnya sederhana: malam penggalangan dana untuk Costume Institute di Museum Seni Metropolitan. Namun sejak Anna Wintour mengambil alih pada 1995, Gala ini menjelma menjadi upacara keagamaan dunia mode. Karpet merahnya lebih sakral dari altar, undangannya lebih eksklusif dari visa diplomatik, dan pakaiannya lebih bising dari pidato politik.

Namun siapa yang diundang ke altar itu? Tidak semua selebritas bersinar di sana. Bahkan bintang Hollywood pun bisa tak mendapat tempat jika tidak relevan dalam lanskap budaya pop global. Di sinilah pertanyaan kita bermuara: mengapa tak ada figur Indonesia yang pernah melenggang di Met Gala? Apakah gaun kita terlalu sederhana? Apakah budaya kita terlalu senyap?

Dari sekian kegelisahan, ada satu jawaban yang datang dari alumni SMAN 34 Jakarta Angkatan 2022, Mediana Krisdiawan--- seorang yang menggeluti bidang akademik fashion. Katanya, "Menurutku Indonesia itu belum punya koneksi and relasi global terutama fashion. Anna Wintour sangat mempertimbangkan hal itu. Dalam memilih tamu, ia hanya mengundang mereka yang dalam setahun itu sangat berpengaruh di dunia creative industry."

Dan memang benar. Met Gala bukan ajang apresiasi, melainkan seleksi alam berdasarkan pengaruh budaya global. Maka wajar jika India bisa mengirim lebih dari sepuluh artis. Mereka tidak datang dari kekosongan, tapi dari sebuah ekosistem budaya yang agresif dan sistematis. India punya Bollywood, sebuah industri yang bukan hanya menyaingi Hollywood dari segi volume, tapi juga dari jangkauan diaspora. Setiap film India bukan sekadar tontonan, tapi komoditas ekspor budaya.

Bahkan jauh sebelum mereka menapakkan kaki di karpet merah Met Gala, para selebriti India telah hadir di panggung internasional lainnya: di Cannes, di Venice, di pekan mode Paris, di kampanye Dior, Chanel, dan Gucci. Priyanka Chopra, misalnya, bukan hanya aktris. Ia adalah duta global untuk berbagai merek internasional, aktivis, dan figur media. Shah Rukh Khan bukan hanya aktor, tapi simbol budaya India yang dikenal dari Mesir hingga Kanada dari kutub selaran sampai kutub utara. Kiara Advani, Natasha Poonawalla, dan Diljit Dosanjh diundang ke Met Gala 2025 karena masing-masing membawa pengaruh signifikan dalam industri kreatif dan mode global, serta berhasil merepresentasikan budaya mereka dengan cara yang resonan dan relevan dengan tema tahun ini, "Superfine: Tailoring Black Style."

Dan tentu, mereka tidak datang sendiri. India juga memiliki desainer yang telah lama masuk ke rumah mode global---Sabyasachi Mukherjee, Anita Dongre, Rahul Mishra, hingga Manish Arora yang pernah menjadi direktur kreatif rumah mode Prancis, Paco Rabanne. Dalam dunia mode, jaringan adalah segalanya. Satu undangan bukan hanya untuk satu figur, tapi untuk seluruh jaringan yang menopangnya. Maka ketika India mengirim satu artis, yang datang bersama mereka adalah seluruh mesin budaya.

Sementara kita? Kita memang punya keindahan, tetapi masih terperangkap dalam pagar lokal. Industri fashion kita tumbuh, tetapi terlalu sibuk menjadi selebritas dalam negeri. Para artis kita lebih sering muncul dalam sinetron, bukan festival film internasional. Desainer kita sering membuat karya indah, tetapi jarang punya showroom di Milan atau Paris. Kita bangga dengan batik, tapi membiarkannya menjadi simbol statis, bukan narasi yang dinamis.

Lebih parah lagi, negara kita tidak punya strategi kebudayaan. Kita tidak pernah sungguh-sungguh menjadikan fashion sebagai kekuatan lunak (soft power). Diplomasi kita masih berkutat di meja bilateral dan pidato kebudayaan, sementara dunia bergerak lewat visual dan viralitas. Tidak ada lembaga yang mendorong desainer Indonesia untuk magang di rumah mode dunia. Tidak ada dana negara untuk membawa seniman atau model muda ke ajang internasional. Kita hanya mengandalkan kebetulan dan keberuntungan, bukan ekosistem.

Mediana menambahkan, "Artis Indonesia tuh, meski punya bakat dan gaya unik, belum banyak yang memiliki afiliansi global dengan fashion brand kelas dunia. Mereka masih lebih fokus di pasar lokal dan regional, belum terlalu banyak yang menembus pasar internasional secara agresif atau konsisten."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun