Setiap pagi, langkah-langkah kecil berpadu dengan derap roda besi. Di stasiun Tenjo, anak-anak berseragam rapi menanti dengan mata berbinar. Ada yang menggenggam buku, ada yang menggantung harapan di punggungnya. Gerbong-gerbong KRL menjadi saksi bisu tentang mimpi-mimpi yang melaju menuju cakrawala ilmu.
Mereka rela bangun di pagi buta, saat langit masih enggan beranjak dari gelapnya. Mata mereka masih mengantuk, tapi semangatnya tak pernah pudar. Ada yang menempuh perjalanan lebih dari satu jam, ada yang harus berdesakan di gerbong yang penuh sesak, berjuang mencari celah di antara penumpang yang berlomba dengan waktu. Mereka datang dari pelosok, berjalan kaki atau menaiki ojek sebelum mencapai stasiun. Jarak yang mereka tempuh bukan sekadar puluhan kilometer, tapi juga jalan berliku menuju impian. Pulang sekolah, matahari sudah condong ke barat, bahkan gelap telah turun saat mereka tiba di rumah. Tapi, tak ada yang mereka sesali.
Aku berdiri di antara mereka, menjadi bagian dari arus manusia yang bergegas mengejar waktu. Mereka---anak-anak SD yang masih mengeja dunia, remaja SMP yang mulai meraba-raba makna, siswa SMA yang menggantungkan cita-cita di langit ibu kota---merekalah para pejuang yang tak bersenjata, kecuali semangat yang tak pernah sirna.
Di sudut gerbong, seorang anak membuka buku, membiarkan aksara menari di matanya. Di sisi lain, sekelompok remaja berdiskusi, barangkali tentang ujian, barangkali tentang kehidupan. KRL bukan sekadar alat transportasi, tapi ruang pembelajaran tanpa dinding, tempat mereka merajut angan, menganyam cita, dan menulis takdirnya sendiri.
Mereka datang dari jauh, menembus batas wilayah, menghadapi pagi yang masih berembun. Ada yang menumpuh perjalanan lebih dari satu jam, ada yang harus berdesakan, tapi tak ada yang surut jiwa dan nuraninya. Setiap getaran rel yang beradu mengantarkan mereka lebih dekat kepada impian, kepada harapan yang mereka titipkan pada masa depan yang belum terjamah.
Mereka bukan hanya berjuang untuk lulus sekolah, tapi juga untuk mengubah nasib. Pendidikan adalah tiket yang mereka genggam erat, harapan untuk memperbarui ekonomi keluarga, untuk menebus keterbatasan yang diwariskan oleh keadaan. Di setiap perjalanan lebih dari 50 kilometer ini, ada doa orang tua yang mengiringi, ada janji yang mereka tanamkan dalam hati: bahwa suatu hari, hidup mereka akan lebih baik, bahwa suatu saat, mereka akan membalas pengorbanan yang telah diberikan.
Namun, di tengah semangat ini, masih ada pertanyaan yang menggantung di udara: adakah yang melihat perjuangan mereka? Adakah yang mendengar derap langkah mereka yang tak kenal lelah? Pendidikan seharusnya merangkul mereka, memberi ruang, memberi kepastian bahwa usaha mereka takkan sia-sia. Negeri ini seharusnya hadir bagi mereka yang mengorbankan kenyamanan demi sebuah pelita di kepala.
Masih ada ketimpangan yang nyata. Tidak semua anak di negeri ini memiliki akses pendidikan yang layak. Tidak semua desa memiliki sekolah yang memadai, tidak semua keluarga mampu menyekolahkan anak-anak mereka di tempat terbaik. Ketidakmerataan ini nyata, menganga, memaksa ribuan anak untuk bertaruh dengan waktu, dengan tenaga, dengan asa yang kadang hampir pudar.
Di tiap pemberhentian, aku melihat mereka turun satu per satu, melangkah dengan keyakinan, membawa harapan yang menggantung di ransel-ransel mereka. Aku berdoa dalam hati, semoga jalan mereka selalu terbuka, semoga ilmu yang mereka kejar tak sekadar jadi aksara yang berlalu, tapi menjadi cahaya yang menyinari perjalanan panjang mereka.
Dan aku, yang menjadi saksi sunyi di antara gerbong-gerbong ini, hanya bisa menuliskan harapan: semoga setiap perjalanan ini menjadi perjalanan menuju masa depan yang lebih baik. Semoga negeri ini mengerti bahwa di dalam KRL yang melaju di antara stasiun, ada ribuan impian yang sedang bertumbuh. Semoga suatu saat, pendidikan benar-benar menjadi hak yang mudah dijangkau oleh semua, bukan hanya oleh mereka yang mampu, tetapi oleh mereka yang bersedia berjuang.