Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Tresnomu Suwung, Uripmu Agung"

7 April 2019   18:10 Diperbarui: 7 April 2019   18:14 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karena mencintai seseorang itu sangat mudah, yang sulit hanyalah ditinggal oleh orang yang kita cintai. Ditinggal, bukan meninggalkan.

Pada zaman sekarang cinta dianggap hanya sebagai mainan, alat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. cinta sering dipakai hanya karena dia takut sendirian. Melangkahkan kaki di gelapnya dunia ini. Dengannya, dunia seolah berubah menjadi terang dan indah. Sekarang banyak orang jualan cinta dengan murah, padahal dia sangatlah berpengaruh terhadap kehidupan pribadinya. Jikalau ia telah memakai cinta sekali dan ditinggal oleh orang yang mempercayai cinta. Masa depannya akan selalu berisiko.

Ya, walaupun ini terdengar seperti sebuah jenaka. Cinta bisa dicari lagi. Kalau emang sudah tidak berjodoh mau gimana lagi. Alasan utama orang memakai rasanya karena ia terpikat. Terpikat oleh sesuatu entah itu rupanya, kepribadiannya, atau yang zaman sekarang paling laris, hartanya, yang bisa menjamin semua kebutuhannya. 

Hidup mereka, cinta mereka, tergadai sudah karena sesuatu yang sangat tidak masuk akal. Tapi memang begitulah sekarang keadaannya, para setan pun mungkin sangat berjasa terhadap andil itu. Atau justru sebaliknya, karena kejeniusannya memaknai cinta, setan terpaksa banyak yang menganggur.

Sungguh elok ciptaanNya, manusia, ya kita. Alasan kita disini adalah untuk memberikan anugerah terhadap dunia ini. Dengan apa? Tentu dengan rahman dan rahim yang diberikanNya. Sedikit percikan cahaya itu pasti tertanam ke dalam setiap insan yang terdapat di dunia ini.

"Manusia adalah keindahan, manusia itu cinta."

Kenapa dia menciptakan manusia untuk membawa anugerah kalau pada akhirnya apa yang terjadi di dunia sekarang ini sangatlah bertolak belakang. Bumi yang menjadi tempat tinggal kita dirusak oleh keegoisan manusia. Tapi tenang saja, Tuhan telah merencanakan itu semua. Tuhan itu Maha Canggih, Yang Tidak Pernah Salah Dalam Memperhitungkan Sesuatu. Itu Mutlak, absolut. Bumi seperti ini memang bagian dari rencanaNya.

Akan tetapi bisakah kita menarik suatu garis apa yang menyebabkan semua gejolak yang terjadi di bumi ini, dari masalah rumah tangga sampai perpolitikan dunia? Semua yang mempermasalahkan sesuatu itu karena keegoisan mereka dan tidak adanya cinta terhadap orang lain. Bagaimana kita bisa merasa ihsan sama Tuhan jika kepada sesama pun kita tidak bisa menafsirkan pandangan orang lain. Kita tidak toleran, merasa paling benar dan akhirnya keserakahan kita akan dunia melululantahkan segalanya.

Hanya saja, manusia telah diberi kebebasan untuk memilih putih atau hitam, benar atau salah, bahagia atau sedih. Kita lihat batu, gunung, tumbuhan, hewan, mereka hanya bisa bergerak menurut qodratullah, kecuali hewan yang sedikit memiki nafsu dan insting. Kita manusia, terkadang malah memposisikan diri kita sebagai materi, seperti batu yang keras. Kita belum mampu seperti tumbuhan yang hidup dan tumbuh mengikuti cahaya.

Semalan, tema ruang belajar itu sedikit nyambung dengan cinta. Tentang srawung suwung. Ya, srawung sendri hanya bisa terjadi ketika kita memiliki kehendak untuk menyapa. Dan menyapa itu tentang rasa yang mungkin juga berangkat dari perhatian hati kita. Perhatian itu muncul tak lain karena cinta, bukan?

Lihatlah segala perbedaan yang terjadi sekarang ini, apalagi pada masa pemilihan pemimpin ini. Sebaik apapun analisis mereka tentang jagoan masing-masing itu hanyalah prasangka. Perbedaan yang menyeruak adalah akibat dari kurangnya srawung antara pihak yang saling ngotot atas sangkaan kebenarannya. Misal saja mereka kebetulan memilih A, namun ternyata saudara sesrawungannya memiliki pilihan lain. Yang terjadi kemungkinan hanya terdapat 2 pilihan, pertama tetap kukuh dengan pilihannya dan meninggalkan sesrawungan, atau yang kedua lebih mengutamakan sesrawungan.

Mungkin, terlalu panjang kalau mesti membahas itu, silahkan dimaknai sendiri. Itu baru terhadap perbedaan antarmanusia tentang keinginan menyapa satu sama lain. Antar manusia saja sudah kolot, bagaimana caranya ia sanggup srawung terhadap hewan, tumbuhan, bahkan batu? Mereka mungkin bisa srawung jika itu lebih menguntungkannya.

Bahkan sebelum keluar srawung pun sebenernya ada yang mesti kita ajak srawung juga, yaitu apa yang ada di dalam diri kita. Sebelum srawung keluar, sering-seringlah srawung kedalam. Disapa. Digemateni. Karena srawung keluar itu sendiri adalah ejawantah dari seberapa sering kita sering menyapa atau srawung ke dalam diri kita. Absurd kan? Memang! Jadi jangan sampai salah mencintai diri sendiri. Diri yang mana? Jangan kaget jika nanti cinta itu akan nampak suwung kalau kamu mencarinya.

"Tresnamu suwung, uripmu agung" tutur seorang begawan. Bukan sukses, apalagi makmur! Suwung itu tidak akan tercapai jika sendiri pun masih sering dihindari. Bukannkah segala yang menopang ke-eksistensian bumi ini pun adalah semesta yang penuh dengan kesuwungan/kehampaan? Karena satu konsekuensi mencintai dalam kehidupan adalah siap untuk ditinggalkan. Hanya rindu yang akan menjadi bekal menuju keabadian. Sekarang tinggal bagaimana cinta kita mampu memahami fadhillah tiap-tiap insan ciptaanNya untuk dapat selalu kita srawungi. Wallahu 'alam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun