Mohon tunggu...
Tateng Gunadi
Tateng Gunadi Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Pecinta buku, suka menulis, dan senang fotografi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Terima Kasih Paduka yang Mulia Kaisar Chow Wen Whang!

11 September 2021   15:59 Diperbarui: 14 September 2021   22:49 503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by Jcomb from freepix.com

TERIMA KASIH PADUKA YANG MULIA KAISAR CHOW WEN WHANG!

Akhirnya mereka memutuskan untuk berteduh di bawah sebuah pohon rindang.

Tek Nau Lang yang berpostur paling tinggi mula-mula menjatuhkan badannya di rerumputan. Diikuti Cou En Lei pria paling tampan secara spontan. Kemudian tubuh tambun Yui Li Gan mengikutinya dengan posisi duduk berdekatan. Tidak mau berdiri sendirian, Tan Chen Buk yang bertubuh kurus membungkuk lalu duduk juga perlahan-lahan.

Mendadak mereka terdiam. Dalam hati masing-masing membuncah rasa geram. Juga perasaan tak keruan, hancur remuk redam. Padahal pahit getir kehidupan sudah biasa, mereka telah banyak makan asam garam.

Bagaimana tidak demikian.

Beberapa waktu lalu mereka masih berada di propinsi Jochuan, tepatnya masih wilayah kota Nanjian, sehabis menunaikan kewajiban. Keluar dari kafe teh Bak Te Haian yang artinya kira-kira "Sajian Teh (dari) Sang Perawan", setelah puas oleh hiburan nyanyian dari gadis-gadis muda belia nan cantik rupawan. Kemudian beriringan mencari jalan pulang melalui jalan kecil tepi hutan. Tiba-tiba terpancar cahaya menyilaukan! Dalam sekejap tubuh-tubuh masuk meluruh di pintu sebuah lorong waktu di hadapan.

Baru saja, keempat orang di zaman Dinasti Chow itu jatuh terjerembab di negeri asing. Di tepi jalan beraspal yang cukup lebar dan di seberang terlihat memanjang dinding. Sesekali di jalan tampak benda-benda aneh lalu-lalang bergerak cepat terdengar bising. Jelas ini bukan berada di negeri sendiri, simpul pikiran masing-masing setelah melihat dengan cermat sekeliling.

"Di mana kita sekarang, Yui Li Gan?" tanya Tek Nau Lang memecah keheningan.

Segera Yui Li Gan bersedekap, kedua matanya terpejam, tubuhnya tak bergerak. Semuanya berharap jawaban, cemas menunggu dengan jantung bersicepat berdetak.

"Maaf Ketua Yang Mulia, kemampuanku belum kembali." Akhirnya Yui Li Gan berujar datar.

Semua menghela napas panjang. Kemampuan linuwih Yui Li Gan, tak sembarang orang memilikinya, paling diandalkan sekarang. Roh dari tubuhnya bisa keluar dan bisa berada di suatu tempat yang dia mau, melihat makhluk halus, tahu kejadian masa lalu, dan berkunjung ke masa depan alias bisa menerawang.

"Apa pikiran kita terganggu?" Tek Nau Lang yang dipanggil Ketua bertanya lagi, seolah bergumam, "Apa Paduka Yang Mulia Kaisar Chow Wen Whang tahu kita hilang?"

Mendengar nama kaisar disebut, Yui Li Gan segera berdiri, "Saya perlu menyendiri, Ketua Yang Mulia, saya akan berusaha meminta tolong padanya." Lalu bergegas pergi, jaraknya sepelemparan batu dari situ.

"Saya rasa tidak," sahut Cou En Lei tenang. "Terakhir kita berempat minum teh di kafe teh Bak Te Haian. Masing-masing kita menyamar. Ketua Yang Mulia sebagai saudagar. Saya sebagai penyair. Tan Chen Buk sebagai ahli bela diri. Yui Li Gan sebagai pendeta Budha. Pekerjaan kita seperti yang dititahkan Paduka Yang Mulia Kaisar Chow Wen Chang adalah dengan diam-diam mengingat lirik nyanyian rakyat yang dinyanyikan gadis-gadis di kafe itu. Di seluruh negeri, dari kafe teh satu ke kafe teh lainnya. Semua kita catatkan, tafsirkan, dan laporkan. Nyanyian rakyat merupakan isi hati rakyat tentang kebijakan kaisar. Dengan itu kita tahu kebijakan kaisar yang mendapat dukungan dan pujian. Juga kebijakan kaisar yang keliru atau membuat tidak nyaman. Jadi, kaisar memperbaiki kebijakannya. Dengan begitu selalu ada perbaikan dari waktu ke waktu. Karena itu, di negeri kita tak ada lagi kebijakan yang membuat rakyat menderita, baik karena tidak sengaja maupun apalagi karena sengaja. Lebih daripada itu kehidupan rakyat semakin baik, sejahtera, aman, dan tenteram. Menangkap suara hati rakyat dari nyanyian rakyat, itulah pekerjaan kita."

"Ai, benar saja. Pikiranmu tak terganggu seperti Yui Li Gan!" seru Tek Nau Lang dengan nada gembira. "Lihat, Cou En Lei. Dari tadi aku memperhatikan tulisan di sepanjang dinding seberang jalan itu. Sebagai ahli bahasa, tanda, dan lambang kenamaan seantero negeri, apa pendapatmu?"

"Ah, Ketua Yang Mulia ini kura-kura dalam perahu. Pura-pura tidak tahu." Seloroh Cou En Lei.

Setelah sejenak memperhatikan tulisan besar di dinding seberang jalan, lirih Cou En Lei berkata, "Saya membacanya sebagai Dewa, tolonglah kami lapar! Ini kata-kata yang sederhana, jadi aku masih bisa mengerti artinya. Aku tidak ingat bahasa apa ini, tapi aku pernah mempelajarinya sedikit."

Setelah berpikir sejenak, Cou En Lei melanjutkan, "Begini. Agaknya sebagian masyarakat di daerah ini kekurangan pangan. Entah apa penyebabnya, bencana alam, wabah penyakit, serangan hama pada tanaman pangan utama, atau sebab lain. Kata-kata ditulis untuk dibaca sebagai suara. Dengan menulis itu mereka mencoba berkomunikasi dengan siapapun di luar wilayah mereka. Satu harapan saja: ada yang mendengarkan. Artinya ada yang memberikan pertolongan atas keadaan mereka. Rupanya, begitulah cara mereka berkomunikasi di sini. Oh, ini bentuk komunikasi yang mudah dimengerti, Ketua Yang Mulia, lebih sederhana daripada nyanyian gadis-gadis di kafe teh Bak Te Haian!"

"Oh, alangkah ringan pekerjaan kita kalau seperti ini!" seru Tan Chen Buk yang sedari tadi menahan diri untuk tidak bicara. "Kita tinggal tanya apa yang terjadi, tahu keadaan mereka dan apa yang diperlukan, lalu melaporkan pada Kaisar. Sejurus kemudian bantuan pangan akan datang. Selesailah tugas kita. Benar-benar urusan yang mudah."

Sekonyong-konyong Yui Li Gan datang tergopoh-gopoh lalu berteriak keras, "Kemampuanku telah kembali! Kemampuanku telah kembali! Kemampuanku telah kembali, woi!"

"Baiklah, baiklah, baiklah, Yui Li Gan." Tek Nau Lang berusaha menenangkan, "Jangan terlalu keras. Orang-orang di sini akan mendengar teriakmu lalu mereka menghampir. Tidak, aku tak mau itu terjadi. Nah, nah, nah, apa yang telah bisa kamu terawang?"

"Saya telah terhubung dengan Kaisar, dan segera Kaisar meminta pertolongan Wu Liang Chi yang amat mahir soal lorong waktu dan semacam itu. Tak lama lagi, kita akan bisa kembali. Kira-kira selama menebang lima pohon bambu. Oh, oh, oh, terima kasih Paduka Yang Mulia Kaisar Chow Wen Chang!" seru Yui Li Gan dengan riang.

"Kedengarannya berita yang menyenangkan," Tek Nau Lang merasa senang.

"Aku percaya apa yang kamu katakan, Yui Li Gan. Omong-omong bagaimana terawangmu soal tulisan di dinding seberang jalan itu?" goda Tan Chen Buk.

Yui Li Gan menerima tantangan Tan Chen Buk. Ia segera bersedekap, kedua mata dipejamkan, lalu terdiam bagai pertapa.

"Saya tahu kalian membicarakan tulisan di dinding itu tadi, aku mendengar percakapan dengan jelas. Itu yang telah terjadi. Yang akan terjadi adalah tiga hari dari sekarang tulisan itu akan hilang. Maksudku, akan ada orang yang menghap...." Yui Li Gan belum selesai bicara.

"Menghapus katamu, Yui Li Gan? Wah, itu seperti orang sedang bicara lalu mulutnya ditutup serat-serat pohon Pho Csia, tidak boleh bicara?" Cou En Lei tercengang.

"Meskipun begitu, orang-orang akan mengingat kata-kata itu. Sekalipun dindingnya dihancurkan jadi butiran-butiran debu. Karena kata-kata itu tertulis dalam isi kepala orang-orang. Bisakah kamu menghapus ingatan di kepala orang-orang, kawanku Cou En Lei?" tanya Yui Li Gan.

Belum sempat Cou En Lei menjawab, terbitlah cahaya terang benderang. Cahaya itu dari lorong waktu, menarik mereka seperti magnet menghisap benda-benda dari besi sekarang. Mereka meluruh untuk selanjutnya menghilang! ***

Bogor, 10 September 2021

Catatan:  

Peneliti folklor Betty Wang menuturkan bahwa Kaisar Chow Wen Whang dari dinasti Chow, juga Kaisar Yui dari dinasti Hsia, mempunyai staf khusus untuk mengumpulkan nyanyian rakyat di warung-warung teh di kerajaannya. Kaisar mengetahui pendapat rakyat terhadap kebijaksanaan pemerintahannya dari isi nyanyian itu. Namun, tradisi kaisar yang bijaksana dari Tiongkok Kuno ini tidak dilanjutkan oleh kaisar-kaisar selanjutnya sehingga timbul revolusi tahun 1911 yang mengubah kerajaan menjadi republik (Danandjaya, 2002:19).

Cerpen lainnya, "Jalan Tak Beraspal" pada tautan https://www.kompasiana.com/tatenggunadi4377/604bfcd98ede481d20672ba7/jalan-tak-beraspal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun