Mohon tunggu...
Tateng Gunadi
Tateng Gunadi Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Pecinta buku, suka menulis, dan senang fotografi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jalan Tak Beraspal

13 Maret 2021   06:44 Diperbarui: 7 September 2021   21:32 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by Alohamalakhov from Pixabay

Kira-kira 300 meter dari kompleks perumahan real estate yang sedang dibangun itulah terletak rumah tempat indekos saya. Sebetulnya kurang tepat disebut rumah, sebab sama sekali tak mirip dengan rumah sebagaimana biasanya. Tempat indekos saya ibarat kardus bersusun tiga, berpintu masuk jeruji besi seperti pintu rumah tahanan. Pintu ini sering menjadi bahan olok-olok teman yang mengunjungi tempat indekos saya.

Di bawah, terasa gelap dan dingin. Di lantai pertama ini ada tiga kamar yang semuanya diisi oleh teman-teman dari seberang, sama-sama mahasiswa seperti saya. Ada jendela besar yang sengaja tak dipasang kaca di lantai dua. Di sinilah biasanya rendezvous kami. Kami duduk-duduk dan berkumpul untuk ngobrol, bercanda, bermusyawarah, atau menggodai anak-anak gadis SMA dan mahasiswi yang berlalu di depan tempat indekos kami ini. Di depan indekos kami memang ada sebuah jalan cukup lebar tak beraspal.

Bila kami duduk-duduk memandang dari jendela tanpa kaca itu ke arah pemandangan kompleks perumahan real estate yang sedang dibangun, kami kini merasakan suatu suasana yang lain. Setahun lalu, kompleks tersebut adalah pesawahan yang sangat menyejukkan mata terutama ketika pagi hari atau senja. Pada malam hari sayup terdengar bunyi serangga malam yang mengingatkan saya pada pesawahan milik ayah di kampung halaman.

Di ujung selatan sawah itu, bersebrangan dengan gardu listrik, terdapat gubuk-gubuk yang dihuni para 'laskar mandiri'. Mereka para pemulung yang setia menjalani profesinya. Pagi-pagi sekali sekitar lima sampai tujuh orang mendorong gerobaknya masing-masing melalui jalan di depan tempat indekos kami sambil bersenandung riang. Disusul kemudian dengan segerombolan para penjual jamu yang tinggal di dekat gubuk-gubuk para pemulung. Mbak-mbak penjual jamu, yang masih muda dan cantik-cantik itu, sering menjadi objek gurauan kami.

"Ada jamu kuat, Mbak?" tanya Eko, mahasiswa jurusan Geografi, ketika saya memesan segelas jamu.

"Ada tentu saja." jawab Si Mbak sambil senyum dikulum.

"Manjur nggak?" tanya Eko lagi.

"Ya manjur."

"Tak percaya. Harus ada bukti."

"Buktikan saja."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun