Dia kadang tersenyum membaca puisi ini, tapi tak jarang juga dia menahan air matanya. Membaca ini, dia merasa bahwa Carina yang dimaksud Jaka adalah untuk dirinya, bintang paling terang pada Rasi Canopus.
Begitulah rindu, datang tak pernah bertamu atau sekedar mengetuk pintu, dia menyelinap dalam gelap, terlihat dalam mata yang tertutup, dan terasa dalam mata yang terbuka. Entah mana yang lebih baik. Dia lantas berangan seandainya ada orang yang bisa mengatakan padanya bagaimana merencanakan sebuah perasaan, rindu? Berserah juga dia akhirnya,
"mendoakanmu adalah caraku merindumu dan memelukmu dari jauh, semoga Allah sampaikan padamu dalam tidurmu"
Begitu gumamnya di sela senyum yang kali ini tak tentu lagi maknanya karena tersapu kantuk.
Ini adalah tahun ketiga Kania di perantauannya di Ibu Kota tanpa pernah pulang ke kampung halamannya di sudut kecil Kota Bandung, di daerah utara yang menjadi perbatasan Kota dan Kabupaten Bandung. Tidak pernah pulang bukan karena tak ingin bertemu Jaka, namun memulihkan hatinya yang pada pertemuan terakhirnya dengan Jaka hanya berakhir tanpa kata.
EMPATÂ
Terlalu larut untuk dikatakan malam, teramat larut hingga detak jam di ruang tengahnya pun bisa didengarnya. Di ruang tengah di depan TV yang masih menyala, Jaka terbangun oleh suara pesan di telepon selulernya yang dia simpan di kamarnya, di dalam jaketnya. Ingatannya terlintas pada seseorang, ya selalu dia, bahkan sepagi ini.Â
Bergegas dia ambil telepon selulernya itu, berharap itu adalah pesan acak dari Kania yang mungkin sedang terjaga dalam tidurnya juga. Lalu, dibukanya pesan singkat itu yang ternyata sebuah pesan berisi penawaran paket internet dari operator.
Dia kemudian terduduk lesu, menonton acara di TV sambil mengingat-ingat apa yang bisa dilakukannya di waktu seperti ini. Tak lama, ada rindu yang menyelinap tentang dia, seolah Kania membisik pelan di telinganya bahwa dia ingin berjumpa.
Perlahan namun pasti, dia mengambil air wudu, lalu bertahajud. Selepas itu, dia ambil Al-Quran kecil kesayangannya, dibukanya pada bagian berpembatas pita kuning yang sudah mulai usang dan kotor oleh keringat tangannya. Suara yang awalnya pelan itu kian lantang seolah memecah pagi itu.Â
Perlahan, air matanya jatuh menetes pada lembaran kitab suci itu, tapi suaranya tetap lantang meski sedikit-sedikit tertahan oleh sesak yang dirasakannya. Suara yang kian parau dan sesak yang makin mendesak tak lantas menghentikannya melantunkan ayat-ayat yang baginya jadi seolah penawar rindu, yang baginya seolah tampak bisa menyampaikan pesan rindu baginya, ya selalu dia, Kania.