Mohon tunggu...
HMJ Tadris Matematika UINMLG
HMJ Tadris Matematika UINMLG Mohon Tunggu... Guru - HMJ Tadris Matematika UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

https://tadrismatematika-uinmalang.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

TM-NEC | Pulang

31 Oktober 2020   10:00 Diperbarui: 1 November 2020   09:27 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku meletakkan kembali cangkirku. Entah sejak kapan malam dengan pembicaraan seperti ini tanpa sadar menjadi kegiatan rutin untuk kita bertiga. Dan terkadang aku sediri merindukan momen ini. Aku membenarkan posisi dudukku,

"Malam itu, saat Mas Rizky bilang kesepian aku jadi memikirkan banyak hal. Aku baru sadar, kalau aku sudah lama merasakan hal yang sama. Sama seperti Mas Rizky, merasa punya sesuatu yang ingin dibagi tapi nggak ada seorangpun yang mau tahu, peduli, atau bahkan mendengarkan dengan baik. Nggak sedikit juga yang bilang 'Ya sudah, Thal. Gitu aja kok dibawa pusing' apalagi semenjak Bapak dan ibuk berpisah, untuk berbagi apapun dengan mereka jelas bukan opsi menarik buatku. Saat itulah aku mulai memendam semua sedirian dengan dalih agar aku sendiri lebih dewasa."

Aku menelan ludahku kasar, "Sampai suatu hari aku merasa sangat buruk. Pikiranku mendadak rumit yang aku sendiri nggak nemu titik tengahnya, rasanya didalam diriku sendiri banyak sekali yang bergelut sampai terasa terlalu bising buatku, dadaku semakin lama terasa semakin menyesakkan seperti ada yang memaksa untuk memelukku erat, dan bahkan nafasku sendiri nggak beraturan. Supaya aku nggak dikira aneh atau berlebihan yang kulakukan saat itu cuma menangis sambil menahan dengan entah baimana caranya agar suara tangisku nggak terdengar. Cukup aku yang tahu kalau saat itu aku terluka." 

Aku yang merasa air mataku akan keluar buru-buru meneguk kopiku, mengalihkan semuanya. Aku bisa merasakan Abang mengusap-usap punggungku lembut sebelum akhirnya ikut bicara,

"Pada dasarnya kita semua merasakan hal yang sama. Iya, karena kita berasal dari tempat yang sama. Kita bergerak, bersuara, tumbuh, jatuh, dan melewati itu semua bersama-sama. Saat mulai terasa menyesakkan Abang selalu melarikan diri dari semua perkara itu. Sampai Abang tahu sejauh apapun Abang kabur, perasaan itu selalu berdiri tepat dibelakang Abang. Putus asa? iya, bahkan menyerah menjadi opsi paling menarik saat itu. 

Tapi bukan itu yang Abang mau. Akhirnya satu-satunya cara menurut Abang cuma memeluk semua perasaan itu, meredam semua ego dan belajar tentang apa yang ingin mereka sampaikan kepada Abang. Mereka ingin kita belajar apa dari mereka? dan itu menjadi evaluasi yang membuat Abang setidaknya selalu berfikir apa hari ini aku sudah lebih baik dari kemarin?" 

"Kenapa perasaan-perasaan itu menjerat kita yang memilih bermandiri ya? dengan amin dan teguh yang justru dia paksakan sendiri. Padahal Kita semua juga melakukan hal-hal gila itu bukan untuk menjaga semua agar tetap sama. Tapi agar setidaknya diri kita tetap menyala." gumam Mas Rizky masih dengan asap rokok yang keluar dari mulutnya.

 Aku menatap kedua kakakku lembut. Ya Tuhan aku beruntung sekali memiliki orang-orang seperti mereka di dekatku. Malam itu lagi-lagi kita biarkan hati kita bicara entah itu dengan tangis atau tawa. Kita yang sempat berjalan sendiri-sendiri dan hampir kehilangan diri, terjebak didalam perasaan yang entah dengan siapa lagi bisa dibagi, dan hanya bisa menatap tumpukan rindu yang semakin menjadi akhirnya bisa kembali duduk disini bersama-sama, ditemani secangkir kopi yang mulai mendingin. Kita pulang, untuk sekedar mencatat hidup dan harganya.

            ***

Pagi-pagi buta aku dan Bapak mengantarkan Abang dan Mas Rizky ke stasiun kota. Lagi-lagi aku benci dengan stasiun karena dia hanya bisa membuatku melepaskan. Abang memeriksa lagi jam ditangannya, "Oh sudah waktunya masuk. Aku pergi duluan ya, Pak." ia mencium lembut tangan bapak sebelum memelukku.  Aku cuma bisa terdiam sambil menatap punggungnya yang kian menjauh. Ya Tuhan aku titipkan semua doa dan harapku untuknya tepat saat dia memelukku erat. Aku beralih menatap Mas Rizky yang entah sejak kapan dia juga menatapku sambil tersenyum kecil.

"Kenapa Mas?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun