Mohon tunggu...
Lestari Saadah
Lestari Saadah Mohon Tunggu... Freelancer - Menyesap Waktu

Hadapi realita dan teruslah berlari

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mendurjanakan Malim

15 Juni 2017   01:00 Diperbarui: 15 Juni 2017   01:14 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Entah bangsa ini bertelinga tebal dengan pitawat*

Atau bangsa ini berkalung congkak

Makan apa para rais* nagari ini

hingga kanun -- kanunnya* dibuat sekenyang perut mereka berikut dayang --dayang nya

hingga malim dituduh maling

hingga munafik dituduh berbudi baik

hingga umat pun dilumat

hingga agama tak lagi berharga

Sekian penggalan puisi diatas sebagai pintu gerbang selamat datang dari tulisan yang akan ditulis di menit-menit selanjutnya. Keprihatinan melanda tatkala berbagai media massa ujug -- ujug memberitakan beberapa ulama tersandung kasus pidana. Tuduhan sex chat dan money laundryng, dua tuduhan ini yang sempat dituduhkan kepada beberapa ulama yang sering nongol di TV sedangkan sisanya menjadi korban aksi pembubaran atas acara pengajian yang dilangsungkan. Sebut saja Ustadz Felix dan Ustadz Khalid Basalamah.

Petugas pembubaran tidak lain bapak-bapak berseragam serba cokelat yang sering nilangdi jalan. Setelah ditanyai ngakunya pasrah karena ini orderan. Belum puas bermain, gantian Pak Wito mengobok-obok ORMAS HTI yang disebut-sebut sebagai ormas yang tidak ber-SNI untuk kemudian dibubarkan, dihilangkan dari bumi pertiwi. Ancaman demi ancaman di lemparkan kepada segala merk Ormas yang terancam akan di tilang (baca = dibubarkan) jika belum ber-SNI (baca = Pancasilaisme).

Skenario manusia memang gampang ditebak. Segala sesuatu memang harus nunggu momen, mungkin itu prinsipnya Pak Wito dkk. Momen kalahnya Mas Bas pada akhirnya yang tertuding tidak jauh-jauh kalau bukan umat muslim beserta ormas yang mengeraskan suara agar umat muslim wajib menjalankan syariat agamanya tanpa kecuali. Terlepas dari nunggu momen ataupun tidak, dari kasus ini sejatinya bisa dilihat bagaimana konsistensi sistem ini dalam menjalankan pasal demi pasal aturan yang sudah dibuat sedemikian rupa. Tanpa adanya surat somasi, dialog apalagi, sekonyong -- konyong pemerintah ibarat main paksa mengeluarkan orang yang mengontrak rumah secara sah hitam diatas putih. Lalu gegara "orang yang mengontrak" tadi merugikan jualannya alias kepentingan golongan terpaksa harus ditindak hingga tanpa sadar tindakan terlalu terburu-buru itu telah keluar dari rel hukum yang hanya "ngebet" pokoknya musti dibubarkan.

Semenjak bergulirnya isu radikal-isme dan teror-isme yang disenandungkan pemerintah, hal -- hal yang berbau Islam menjadi alergi tak berkesudahan. Dibuktikan dengan berbagai pembubaran kajian,  Masyiroh / aksi tuntutan, hingga puncaknya adalah pembubaran ormas. Pengajian saja dibubarkan apalagi aksi tuntutan. Nah sejak saat itu pihak aparat dan kawan bermainnya seakan kebakaran jenggot hingga mas To dkk atas titah dari paduka presiden menyisir setiap sudut kampus, membuat semacam kuliah umum dengan bingkai kebhinnekaan namun Islamlah yang jadi korban. Menakut-nakuti setiap mahasiswa yang datang dengan himbauan jangan dekati kajian. 

Orang yang tiba-tiba begajulan eh terus tiba-tiba berubah gegara ikut kajian sontak membuat penampilannya pun ikut berubah, misal yang tadinya ga pake kerudung terus tiba-tiba pake kerudung panjang, hitam maafpake cadar lagi. Ini nih berarti dia sudah terindikasi menjadi Islam ektremis / garis keras. Begitulah kira-kira yang disampaikan kawan-kwan mas To yang bikin ngelus dada yang kebetulan penulis jumpai di kampus sendiri. Saat ditanya bagaimana solusi cemerlang dalam menghadapi hal demikian ehh temannya mas To ini diam gelagapan mungkin kurang makan. Hingga salah satu mahasiswa yang bertanya tadi memberikan hardikan " justru dengan bapak memberikan himbauan semacam itu bapak telah menstigmanegatifkan agama sendiri sekaligus menghancurkan agama sendiri. Ngeri dan ironis.

"Sesungguhnya akan datang kepada manusia tahun-tahun penuh tipu daya. Para pendusta dipercaya sedangkan orang jujur dianggap berdusta. Penghianat diberi amanah sedangkan orang yang amanat dituduh khianat. Dan pada saat itu, para Ruwaibidhah mulai angkat bicara. Ada yang bertanya, 'Siapa itu Ruwaibidhah?' Beliau menjawab, 'Orang dungu yang berbicara tentang urusan orang banyak (umat)." (HR. Ahmad, Syaikh Ahmad Syakir dalam ta'liqnya terhadap Musnad Ahmad menyatakan isnadnya hasan dan matannya shahih. Syaikh Al-Albani juga menshahihkannya dalam al-Shahihah no. 1887).

Agaknya dalil diatas perlahan tapi pasti mulai terapung muncul ke permukaan semakin nampak realitanya. Ketika Islam turun, diibaratkan dengan gelas yang penuh berisi air.  dengan air dengan satu gelas penuh berisi air. Namun kini, seiring berjalannya waktu... air tersebut mulai berkurang dan hanya menyisakan sebagian. Layaknya sekarang, Islam ditambah kurangkan sesuai selera di masing-masing negara. Bahkan kemunculan "Islam versi Nusantara" menjadi jawaban di tengah naiknya suhu konflik di Timteng kala itu.

Jawaban atas ketidakmauan kondisi Islam Timteng terjadi di Nusantara. Karenanya "Islam versi Nusantara" kurang lebihnya mengutarakan bahwa Islamnya Nusantara jelas berbeda dengan Islamnya di Timur Tengah sana. Kita Islam yang damai, sejuk, santai kaya di pantai. Tenang... segala sesuatu bisa ko dikompromikan. Semenjak opini tersebut bergulir, banyak sentilan-sentilan yang kurang lebih mengaminkan, seperti penggalan orasi masyhur-nya Eyang Mega kerap penulis dengar melalui radio " kalau mau jadi orang Islam jangan jadi orang arab... bla... bla.... Atau di kalangan kampus sendiri lah misalnya "kamu itu ga usah kearab-arab an pake gamis sama kerudung panjang segala. Panas, ribet liatnya. Kalo naik motor terus nyangkut siapa yang repot. Ga cocok dibuat jalan ke mall. Kalo mau ke pengajian baru cocok. Kaya ibu-ibu. Ga cocok sama kultur dan suhu di Indonesia. Pake kerudung yang biasa aja, yang penting cantik. Begitulah kira-kira cuitan -- cuitan beda pandangan terkait realisasi menutup aurat perempuan. Itu baru masalah aurat belum yang lain.  

Lalu masalah Qishas, hudud dan rajam bagaimana responnya, paling -- paling disuruh "sana pindah aja ke arab" atau "berdoa aja siapa tahu kos-kosan di suriah masih ada". Beralih ke politik Islam, oh ada ya. Salah satunya menolak pemimpin kafir. Sebetulnya Istilah kafir bukanlah isu SARA yang pantas diperdebatkan dan dihilangkan dari kamus Islam. Memang begitulah adanya julukan yang telah Alloh sematkan kepada orang-orang yang tidak mengimani-Nya. Saya yakin, disetiap kepercayaan pasti ada julukan-julukan bagi orang-orang diluar keyakinan tersebut. Agama Nasrani misalnya menjuluki umat lain sebagai "domba tersesat" begitu pula Islam, julukan yang Alloh berikan pada yang tidak mengimani-Nya ialah kafir. Sayangnya, memang tidak ada panggilan yang lebih halus lagi selain kafir.

Keengganan umat Islam untuk bicara dari hati ke hati terkait masalah politik Islam juga turut dipengaruhi dari apa-apa yang disampaikan ulama dalam rangka membangkitkan pemikiran umat. Selain materi kajian yang sudah tersetting, untuk tidak jauh dari masalah akhlak, sholat, puasa, zakat, haji, thaharoh dan itu digulirkan dimanapun berada, jumatan, lebaran, ramadhan dan lebaran haji. Imbasnya pemahaman ini akan berkumpul menjadi satu paket pemahaman bahwa Islam tak ubahnya seperti agama lain yang melulu mengurus aspek spiritual saja tak lebih. Jika yang dibahas itu-itu saja, syariat lain seperti berpolitik Islam, berekonomi islam, Qishash, hudud, rajam, pergaulan Islam dsb akan dikemanakan? Dibubarkan?. 

Teori tersebut bukan saja untuk bahan ujian melainkan untuk dijalankan. Harus kita pahami kemunculan endemik Islamophobia diakibatkan karena Islam tidak dipahami dengan benar. Jika Islam tidak dipahami dengan benar alias setengah-setengah alias syariatnya dicomot sesuka hati akan membuat ketakutan tak berdasar. Tepat seperti kondisi hari ini. Namun jika Islam dipahami dengan benar justru akan semakin menarik orang untuk mengetahui kebenarannya. Seperti kejadian WTC, setelah tragedi tersebut buku yang paling banyak dicari dan laris adalah al-quran. Tatkala agama ini ramai-ramai disudutkan ehpemerintah juga tak mau ketinggalan. Semboyan anti radikal-isme dihembuskan bagaikan memvoging nyamuk -- nyamuk radikalisme agar generasi muda tak tertular penyakit Islam garis keras.

Masih di Politik Islam, umatpun kadung* kaku dengan istilah politik itu kotor, keji, jijik, ga pro rakyat dan pada akhirnya memilih untuk bungkam. Masih penulis ingat ketika unggahan salah satu mahasiswa ** membuat mas Bas gerah karena isi videonya menolak pemimpin kafir. Semenjak itu ketika Pemilu IKD semakin dekat, semakin kencanglah gelora dakwah tadi. Hingga 212 tertoreh walau respon pemerintah tidak bersahabat. Tak mengapa, kita hanya ingin menunjukkan umat Islam masih ada. 

Ditengah -- tengah kondisi sistem rusak seperti ini, badai fitnah dan makian jadi santapan harian. Itulah mengapa ulama-ulama yang mengajak umat, atau ormas-ormas yang mengajak umat untuk jangan mengurangi porsi Islam yang segelas penuh tadi oleh pemerintah kemudian ditilang.Dianggap meresahkan, dituduh nilepuang, dituduh makar sampai mewacanakan pembubaran. Tidak lain agar umat semakin tidak percaya dengan ulamanya sendiri. Tokoh-tokoh liberalpun akan gembira tak karuan. Melihat umat Islam mati sempoyongan dan menyedihkan. Dibuat bingung dengan agamanya sendiri.

Menyerukan kebenaran di sistem hari ini luar biasa berat, disamping harus bertahan hidup dengan tuntutan ekonomi tak manusiawi umatpun seakan mencukupkan diri dengan yang dipunyai. Menggenggam Islam hari ini bagaikan menggenggam bara api, luar biasa panas, luar biasa berdarah-darah tapi jika dilepaskan sungguh pegangan apa lagi yang bisa digenggam sedangkan pegangan selainnya hanya melenakan. Kemudian apa yang musti dilakukan?.

 Apa lagi kalau bukan dakwah, menyerukan, menyampaikan kebenaran. Ibarat meletakkan garis lurus disamping garis yang bengkok. Sungguh masih banyak yang harus dibenahi, masih banyak yang harus ditambal. Sungguh umat sedang kacau balau baik hartanya, raganya maupun jiwanya. Sungguh masih banyak garis lurus yang harus diletakkan disamping garis yang bengkok. Sungguh siapa lagi yang wajib menyerukan kebenaran selain umat Islam sendiri. Semoga segenap umat Islam sekalian tak henti-hentinya bermuhasabah diri untuk tidak mudah terhasut, untuk tidak silau dengan tetesan-tetesan kenikamatan dunia dan untuk kembali kepada surat cinta-Nya Al-Quran dan Hadits. Sekian        

Keterangan :

Mendurjanakan   : menyifati jahat / mengkriminalkan.

Malim                  : alim, ulama, ustadz, kyai.

Rais                      : pemimpin

Kanun                  : undang - undang     

Kadung                : terlanjur  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun