Mohon tunggu...
Nusantara
Nusantara Mohon Tunggu... Wiraswasta - INFORMASI

PEMUDA

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Anotasi Hukum Putusan Hakim Atas Kasus Pelecehan Seksual Mahasiswi Fakultas Kedokteran UHO Kendari

22 Februari 2021   00:56 Diperbarui: 22 Februari 2021   01:25 963
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saran

Dalam hal terjadinya suatu tindak pidana dimasyarakat orang yang paling merasakan akibat dari tindak pidana tersebut sesungguhnya adalah korban. Bukan saja mengalami penderitaan fisik, tetapi juga secara non fisik baik mental maupun kerugian ekonomi. Untuk itu sejatinya posisi korban harus benar-benar terwakilkan dalam proses penegakan hukumnya. Namun demikian, pengaturan hukum pidana kita masih sangat memarginalkan posisi korban dalam sistem peradilan pidana. Hal ini dapat dilihat dari pengaturan hukum yang lebih banyak mengatur tentang hak-hak tersangka dari pada mengenai hak-hak korban. Terlihat dari ratusan pasal yang tertuang didalam KUHAP kita hanya ada 4 pasal yang mengatur tentang korban, yakni hanya ditemukan dalam Pasal 98 sampai dengan Pasal 101 KUHAP. Hal ini disebabkan sistem peradilan pidana kita masih berorientasi terhadap pelaku atau yang dikenal dengan konsep retributive justice.

Perlu untuk diketahui bahwa arah perkembangan hukum pidana saat ini telah mengalami pergeseran paradigma yakni dari paradigma klasik ke paradigma modern. Tujuan pemidanaan bukan lagi menitik beratkan pada pembalasan semata-mata sebagaimana yang dianut didalam aliran klasik dalam hukum pidana yang dikenal dengan keadilan retributif melainkan paradigma hukum pidana saat ini telah berorientasi pada keadilan korektif, keadilan rehabilitatif, dan keadilan restoratif. Keadilan korektif lebih menekankan pada kesalahan pelaku yang harus dikoreksi. Keadilan rehabilitatif lebih dalam rangka memperbaiki pelaku agar tidak lagi mengulangi perbuatannya dimasa mendatang. Dan keadilan restoratif lebih menitik beratkan pada pemulihan korban kejahatan.

Paradigma hukum yang menitikberatkan semata-mata hanya kepada pembalasan dalam arti mengutamakan pidana penjara memiliki akibat yang cukup krusial terhadap Lembaga Pemasyarakatkan kita saat ini. Melansir data smslap.ditjenpas.go.id bahwa dari 33 Provinsi yang memliki Lapas, kiranya hanya ada 4 provinsi yang tidak mengalami over capacity yakni Yogyakarta, Gorontalo, Maluku Utara dan Nusa Tenggara Timur sedangkan daerah lainnya mengalami over capacity dengan nilai rata-rata mencapai 93%. Hal ini diakibatkan dari sistem peradilan pidana kita yang mengutamakan pidana penjara dibanding bentuk pidana lainnya. Untuk itu, lahirnya Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang hampir disahkan beberapa tahun yang lalu adalah solusi terbaik dalam hal menjawab mekanisme pemidanaan kita. Oleh karena RUU KUHP telah disesuaikan dengan paradigma hukum pidana modern dimana tujuan pemidanaan bukan saja terhadap penjara semata.

Dalam menjawab tantang pemidanaan oleh hakim yang dirasa kurang memberikan rasa keadilan didalam masyarakat, hal ini disebabkan karena tidak adanya pengaturan baku mengenai pedoman pemidanaan didalam sistem peradilan pidana kita saat ini. Olenya itu, mengenai ukuran berat-ringannya sanksi pidana yang akan diberikan kepada terdakwa tergantung pada kebebasan hakim dalam memutuskan. Namun demikian, sesungguhnya keluhan masyarakat tersebut sebenarnya telah diakomodir didalam RUU KUHP yang diatur dalam Bab III tentang Pemidanaan, Pidana dan Tindakan, terkhusus untuk pedoman pemidanaan secara eksplisit diatur didalam Pasal 53 sampai dengan Pasal 56. Didalam pasal-pasal tersebut pun diatur mengenai hal apa saja yang perlu dipertimbangan oleh hakim sebelum memberikan sanksi pidana kepada Terdakwa. Tulisan ini sedikit menjawab bahwa tidak semua isi RUU KUHP itu buruk meski memang ada beberapa catatan penting.

Terkait dengan ketentuan hukum atas kasus-kasus pelecehan seksual sesungguhnya didalam Rancangan Undang-Undang Pengapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) sudah sangat rinci mengatur ketentuan hukum tersebut dan dianggap dapat melindungi kelompok-kelompok yang selama ini termarjinalkan didalam sistem peradilan pidana kita. Terlepas dari pro kontra pembahasannya di DPR. Namun sejatinya maksud dilahirkannya RUU PKS adalah untuk melindungi kepentingan hukum korban pelecehan seksual. Untuk itu RUU PKS seharusnya sudah harus disahkan menjadi undang-undang.


Terakhir, dalam tataran teoritik dalam studi ilmu tentang korban (victimology) menurut von Hentig korban memiliki peranan dalam menimbulkan tindak pidana salah satunya adalah kerugian akibat tindak pidana itu sebenarnya tidak terjadi apabila tidak ada provokasi dari korban (Waluyo, 2011:19 lihat juga Yulia, 2013:81). Apa yang dikemukakan oleh von Hentig sedikit ditambahkan oleh Stephen Schafer dalam membagi pertanggungjawaban korban dengan menggunakan istilah biologically weak victim bahwa suatu tindak pidana terjadi karena adanya keadaan fisik korban seperti wanita, anak-anak dan orang tua (Doerner dan Steven P.Lab, 2012:6).

Apa yang dikemukakan oleh von Hentig dan Schafer di atas Penulis dapat memberikan contoh seorang wanita yang keluar tengah malam sendirian melewati tempat yang sepi, juga seorang wanita yang menggunakan busana yang tidak etis dimana penggunaan busana tersebut memantik lawan jenis untuk berbuat sesuatu. Wanita keluar malam sendirian dan penggunaan busana tidak etis itu yang menurut von Hentig berupa provokasi dari korban. Sedangkan menurut Shcafer oleh karena memang wanita memiliki kondisi yang fisik yang lemah sehingga berpotensi menjadi korban tindak pidana.

Dari kasus ini kita mesti banyak belajar, khususnya bagi para wanita untuk lebih tetap berhati-hati dan mengutamakan perlindungan diri. Oleh karena pepatah mengatakan "karena nila setitik rusak susu sebelanga" yah seperti gambaran seorang wanita. So always take care of yourself wherever and whenever!

Waullahu a'alam bishawab

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun