Mohon tunggu...
Nusantara
Nusantara Mohon Tunggu... Wiraswasta - INFORMASI

PEMUDA

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Anotasi Hukum Putusan Hakim Atas Kasus Pelecehan Seksual Mahasiswi Fakultas Kedokteran UHO Kendari

22 Februari 2021   00:56 Diperbarui: 22 Februari 2021   01:25 963
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Muhammad Takdir Al Mubaraq, S. H

KELIMA, masih terkait dengan pernyataan JPU yang menuntut Terdakwa dengan tuntutan 7 bulan penjara karena alasan kekurangan bukti dan juga saksi. Jika demikian adanya karena kekurangan alat bukti maka seharusnya hakim yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara quo adalah putusan bebas (vrijspraak) dimana esensi putusan bebas terjadi karena terdakwa dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan oleh JPU (lihat Pasal 191 ayat 1 KUHAP). Merujuk penjelasan pasal a quo tidak terbukti secara sah dan meyakinkan adalah karena tidak memenuhi bewijs minimum dalam pembuktian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP. Namun demikian, putusan hakim malah sebaliknya memutus terdakwa bersalah melalui putusan Nomor 19/Pid.B/2021/PN Kdi dengan pidana penjara 5 bulan 15 hari. Artinya bahwa Terdakwa oknum Dokter tersebut terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan yang didakwakan JPU berdasarkan Pasal 289 KUHP mutatis-mutandis juga memenuhi bewijs minimum dalam pembuktian didalam Pasal 184 KUHAP. Sehingga pendapat JPU tidak dapat diterima secara keseluruhan.

KEENAM, terhadap Pasal 289 KUHP unsur yang paling esensial adalah terhadap unsur kekerasan atau ancaman kekerasan dan adanya paksaan. In casu, terhadap koban apakah terdapat unsur esensial tersebut? Maka hal ini memerlukan hasil pemeriksaan visum et repertum oleh Dokter. Berdasarkan data berita online bahwa hasil visum menunjukkan luka disebagian tubuh maka kiranya unsur kekerasan dengan jalan memaksa dianggap terpenuhi. Hal ini relevan dengan putusan hakim yang menyatakan Terdakwa oknum Dokter bersalah melakukan perbuatan Pasal 289 KUHP artinya memang keseluruhan unsur didalam Pasal 289 KUHP dianggap terpenuhi begitupun bewijs minimum dalam pembuktian.

KETUJUH, terkait dengan pemberatan pidana. Bahwa didalam unsur-unsur perbuatan pidana selain unsur perbuatan yang terdiri dari kelakuan dan akibat, hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan, unsur melawan hukum yang objektif dan unsur melawan hukum yang subjektif juga terdapat keadaan tambahan yang memberatkan pidana (Moejatno, 2015:69). Didalam KUHP sendiri terkait dengan keadaan tambahan yang memberatkan pidana dibagi menjadi pemberatan pidana secara khusus dan umum. Pemberatan secara khusus misal dapat dilihat didalam Pasal 351 KUHP dimana pada ayat (3) dalam pasal a quo merupakan pemberatan pidana. Sedangkan secara umum prinsip pemberatan pidana diatur didalam Bab Ketentuan Umum didalam KUHP yakni : Pertama, didalam Pasal 52 KUHP berkaitan dengan kedudukan sebagai pejabat. Kedua, berkaitan dengan perbarengan perbuatan pidana yang terdiri dari concursus idealis didalam Pasal 63 KUHP, concursus realis didalam Pasal 65 KUHP dan voorgezette handeling atau perbuatan berlanjut didalam Pasal 64 KUHP. Ketiga, ketentuan Residivis yakni orang yang telah dihukum karena melakukan perbuatan pidana, kemudian diadili kembali karena melakukan perbuatan pidana hal ini diatur didalam Pasal 486 KUHP.

KEDEPALAN, terhadap point ketujuh di atas, terhadap kasus pelecehan seksual ini Penulis berpandangan masuk pada model pemberatan pidana secara umum yang diatur didalam Pasal 52 KUHP. Adapun Pasal 52 KUHP berbunyi "bilamana seorang pejabat karena melakukan perbuatan pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiga".

Dasar pemberatan pidana didalam Pasal 52 KUHP terletak pada keadaan jabatan dari kualitas si pelaku tindak pidana yakni pejabat atau pegawai negeri mengenai 4 hal, yaitu dalam melakukan tindak pidana dengan : Pertama, melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya. Kedua, memakai kekuasaan jabatannya. Ketiga, menggunakan kesempatan karena jabatannya. Keempat, menggunakan sarana yang diberikan karena jabatannya (Chazami, 2002:73 lihat juga R.Soesilo, 1995:67). 4 hal tersebut bersifat alternatif artinya cukup memenuhi salah satu syarat saja sehingga pemberatan pidana dapat dikenakan kepadanya.

KESEMBILAN, terhadap point kedelapan di atas bila dihubungkan dengan kasus pelecehan seksual yang terjadi seharusnya Terdakwa memenuhi kualifikasi didalam Pasal 52 KUHP oleh karena Terdakwa diketahui berprofesi sebagai seorang Dosen juga sebagai seorang angota Polri dimana kualitas dari si pelaku dianggap terpenuhi baik dari segi unsur pejabat ataupun pegawai negeri. Berkatian defenisi pegawai negeri merujuk pada Pasal 1 angka 2 huruf c Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) bahwa pegawai negeri termasuk orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah. Berangkat dari defenisi a quo maka mutatis-mutandis jika status Terdakwa sebagai seorang anggota Polri dimana sumber penerimaan gaji dari keaungan negara maka dipersamakan dengan pegawai negeri menurut UU PTPK. Sehingga memenuhi unsur keadaan tambahan yang memberatkan pidana.

KESEPULUH, terkait dengan tambahan pidana sepertiga didalam Pasal 52 KUHP Penulis menjelaskan sebagai berikut : Pasal 289 KUHP memiliki ancaman pidana maksimal adalah 9 tahun pidana penjara sehingga jika seorang pejabat atau pegawai negeri melakukan tindak pidana menurut Pasal 289 KUHP berdasarkan Pasal 52 KUHP dengan tambahan pidana sepertiga maka maksimum ancaman pidana didalam Pasal 289 KUHP bukan lagi 9 tahun melainkan 12 tahun pidana penjara. In casu, jika tuntutan JPU terhadap Terdakwa oknum Dokter itu 7 bulan pidana penjara sudah termasuk sebagai pemberatan pidana yang ditambah sepertiga maka sesungguhnya jika dihitung diluar dari pemberatan pidana artinya JPU menuntut Terdakwa hanya 2 bulan 10 hari. Cilakanya menurut Penulis jika sebaliknya yang terjadi bahwa tuntutan 7 bulan pidana terhadap Terdakwa ternyata diluar dari tambahan sepertiga pidana maka dapat dipastikan JPU tidak memperhatikan keberadaan prinsip didalam Pasal 52 KUHP.

KESEBELAS, terhadap point kesepuluh di atas pun belaku kepada hakim. Sayangnya Putusan Nomor 19/Pid.B/2021/PN Kdi tidak dapat diketahui secara utuh. Meski begitu, syarat sebelum hakim menjatuhkan putusan, maka ia harus terlebih dahulu mempertimbangkan terkait dengan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan. Didalam putusan hal ini mesti tertuang dikenal dengan istilah ratio decidendi. Dalam hal-hal yang meringankan biasanya tertuang adalah terdakwa mengakui kesalahan, terdakwa bersikap sopan selama persidangan atau terdakwa belum pernah dihukum. Namun, sebaliknya yang menjadi telaah kritisnya adalah pada alasan yang memberatkan. Akan menjadi cilaka menurut Penulis jika didalam pertimbangan hal yang memberatkan hakim tidak melihat akibat yang ditimbulkan dari perbuatan pelecehan seksual oleh Terdakwa oknum Dokter dimana korban merasa trauma, sulit tidur dan bahkan mengalami gangguan psikis. Cilakanya lagi jika hakim tidak mempertimbangkan status Terdakwa sebagai seorang Dosen sekaligus sebagai anggota Polri dimana memenuhi syarat didalam Pasal 52 KUHP sebagai unsur keadaan tambahan yang memberatkan pidana.

KEDUABELAS, Penulis berasumsi jika sebelum kasus ini diputus oleh hakim Pengadilan Negeri Kendari tanggal 11 Februari 2021 yang lalu, kasus ini pun telah mendapat perhatian khusus dari pihak instansi Terdakwa bekerja baik dari pihak kampus maupun dari institusi polri dalam hal melakukan sidang pelanggaran kode etik yang dilakukan Terdakwa. Namun demikian, akan menjadi cilaka jika kedua instansi tempat bekerja Terdakwa tidak memberikan perhatian langsung terhadap kasus ini.

KETIGABELAS, jika melihat masa penahana yang dilakukan sejak bulan Agustus 2020 berdasarkan data berita online maka dengan vonis hakim 5 bulan 15 hari oleh hakim PN Kendari setelah dikurangi dengan masa tahanan maka seharusnya Terpidana oknum Dokter saat ini sudah bebas.

KEEMPATBELAS, terhadap putusan hakim a quo maka berdasarkan prinsip hukum res judicata proveritate habetur yang berarti setiap putusan hakim dianggap benar dan harus dihormati. Landasan filsafati prinsip hukum tersebut adalah demi menjaga muruah lembaga peradilan. Maka sesungguhnya putusan a quo mesti dihormati demi menjaga muruah pengadilan. Namun, sejatinya perlu pula diingat bahwa hakim dalam memutus perkara memiliki dua tanggungjawab. Pertama pertanggungjawaban langsung dirinya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini tertuang didalam irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" yang dibacakan oleh hakim. Kedua, tanggungjawab hakim kepada masyarakat dalam hal memberikan nilai keadilan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun