Mohon tunggu...
Nusantara
Nusantara Mohon Tunggu... Wiraswasta - INFORMASI

PEMUDA

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Anotasi Hukum Putusan Hakim Atas Kasus Pelecehan Seksual Mahasiswi Fakultas Kedokteran UHO Kendari

22 Februari 2021   00:56 Diperbarui: 22 Februari 2021   01:25 963
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Muhammad Takdir Al Mubaraq, S. H

Pembuktian Pidana

Terdapat prinsip paling fundamental didalam hukum pidana dalam konteks pembutian, kiranya prinsip hukum itu yang berbunyi "in criminalibus, probantiones bedent esse luce clariores" yang artinya dalam perkara pidana, bukti-bukti harus lebih terang dari pada cahaya. Landasan filsafati dari asas ini adalah karena pidana merupakan instrumen hukum yang paling berat oleh karena merupakan suatu penderitaan yang sengaja diberikan kepada orang yang melakukan perbuatan pidana dan memenuhi syarat tertentu. Olehnya itu diperlukan bukti yang kuat sehingga mencegah terjadinya kesalahan menghukumi seseorang (error in persona).

Dalam teori hukum pembuktian, kiranya terdapat 4 sistem pembuktian yang digunakan sebagai dasar pembuktian oleh hakim dipengadilan (bewijstheorie). Pertama, positief wittelijk bewijstheorie atau pembuktian dalam arti yang positif adalah sistem pembuktian dimana hakim terikat secara positif kepada alat bukti menurut undang-undang. Kedua, conviction in time yaitu sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim semata dan tidak terikat oleh suatu peraturan. Ketiga, conviction raisonee yaitu sistem pembuktian dengan menurut keyakinan hakim yang dibatasi dengan harus didukung oleh alasan-asalan yang jelas dan rasional. Keempat, negatife wettelijk bewijstheorie atau sistem pembuktian dalam arti yang negatif yaitu pembuktian yang didasarkan bahwa hakim hanya boleh menjatuhkan pidana terhadap terdakwa apabila alat bukti tersebut secara limitatif ditentukan oleh undang-undang dan didukung pula oleh adanya keyakinan hakim terhadap eksistensinya alat-alat bukti tersebut (Hiariej, 2012:15-17, lihat juga Mulyadi, 2012:193-197).

Di Indonesia sendiri terhadap teori hukum pembuktian sebagaimana disebutkan di atas, menganut sistem pembuktian negatife wettelijk bewijstheorie atau sistem pembuktian dalam arti yang negatif. Hal ini ditegaskan didalam Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi "hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya". Tegasnya, menurut Pasal 183 KUHAP dalam konteks pembuktian hakim mesti memiliki keyakinan dan terdapat 2 alat bukti yang sah. Terhadap alat-alat bukti yang digunakan untuk membuktikan telah terjadinya suatu peristiwa hukum (bewijsmiddelen) merujuk pada Pasal 184 KUHAP bahwa alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.

Apabila dihubungkan antara Pasal 183 KUHAP dan Pasal 184 KUHAP bahwa agar hakim dapat memutus suatu peristiwa hukum dalam hukum acara pidana maka ia mesti memiliki keyakinan dan 2 alat bukti yang sah. Alat bukti itu apakah itu berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk ataukah keterangan terdakwa setidaknya harus memiliki bewijs minimmum atau bukti minimum yang diperlukan dalam pembuktian untuk mengikat kebebasan hakim.

Argumentasi


Kasus pelecehan seksual yang dialami oleh mahasiswi Fakultas Kedokteran UHO telah di putuskan oleh Pengadilan Negeri Kendari dengan Nomor 19/Pid.B/2021/PN Kdi. Putusan a quo diperoleh melalui Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Kendari. Sayangnya, putusan a quo belum terdapat di Direktori Putusan Mahkamah Agung sehingga berkaitan dengan fakta persidangan tidak diketahui secara menyeluruh ditambah lagi dalam SIPP PN Kendari berkenaan dengan agenda pemeriksaan saksi tidak dapat diakses sehingga argumentasi Penulis berdasarkan perkiraan yang mungkin terjadi dengan melihat dari beberapa informasi yang diperoleh dari SIPP PN Kendari dan berita online. Untuk itu, pendapat Penulis mencermati kasus ini adalah sebagai berikut :

PERTAMA, bahwa ancaman pidana terhadap seseorang yang melanggar Pasal 289 KUHP adalah paling lama 9 tahun. Oleh karena sistem KUHP masih menggunakan indefinite sentence yang membatasi maksimum khususnya, maka memberikan kebebasan kepada hakim untuk memutus pidana penjara dari waktu 1 hari sampai dengan 9 tahun. Demikian pula Jaksa selaku Penuntut Umum yang dapat memberikan tuntutannya dari waktu 1 hari sampai dengan 9 tahun.

KEDUA, terkait dengan tuntutan JPU yang menuntut Terdakwa dengan tuntutan 7 bulan penjara. Hemat Penulis hal itu merupakan kebebasan Jaksa selaku Penuntut Umum dan dibenarkan oleh hukum karena sistem sanksi pidana dalam KUHP masih menggunakan sistem indefinite sentence sehingga tidak membatasi minimum khususnya sanksi pidana melainkan membatasinya pada maksimum khususnya pemidanaan. Hal ini berbeda jika melihat sanksi pidana didalam undang-undang pidana khusus yang tidak menggunakan sistem indefinite sentence melainkan sistem indeterminite sentence yakni sistem yang membatasi minimum khususnya pemidanaan dan membatasi maksimumnya pemidanaan. Misal Pasal 2 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang membatasi penjatuhan pemidanaan dari minimum 4 tahun sampai dengan 20 tahun pidana penjara.

KETIGA, terkait dengan pernyataan JPU yang menuntut Terdakwa dengan tuntutan 7 bulan penjara karena alasan kekurangan bukti dan juga saksi. Dalil JPU tersebut kemungkikan didasari oleh 3 faktor utama menurut asumsi Penulis yakni : Pertama, kemungkinan barang bukti berupa CCTV hotel yang diperoleh oleh JPU tidak memperlihatkan proses terjadinya tindak pidana pelecehan seksual secara langsung. Kedua, kemungkinan saksi yang diperoleh oleh JPU kurang karena hanya memiliki satu saksi saja yakni saksi korban pelecehan seksual. Perlu diketahui bahwa saksi dalam hukum acara pidana membatasi hanya kepada mereka yang ia dengar, lihat dan alami sendiri (lihat Pasal 1 angka 26 KUHAP) olehnya itu saksi yang dimiliki JPU hanya terdapat 1 orang yakni saksi korban, maka JPU kemungkinan berpendapat berdasarkan prinsip unus testis nullus testis yang berarti satu saksi bukanlah saksi. Ketiga, kemungkinan JPU memiliki saksi lain akan tetapi keterangan yang dimiliki lemah atau tidak memiliki kekuatan pembuktian yang kuat oleh karena keterangan yang diberikan oleh saksi lain tersebut berdasarkan keterangan saksi yang diperoleh dari saksi korban. Tegasnya, saksi lain tersebut adalah pihak keluarga korban yang mendengar cerita dari saksi korban pelecehan seksual. Maka jika demikian benar adanya, maka JPU kemungkinan berpendapat berdasarkan prinsip testimoni de auditu atau hearsay yang artinya kesaksian yang didengar dari orang lain tidak dapat digunakan sebagai alat bukti.

KEEMPAT, terhadap point ketiga di atas jika benar demikian adanya maka Penulis berpandangan berbeda dari JPU. Kiranya ada dua hal yang mendasari argumentasi Penulis. Pertama, bekaitan dengan prinsip unus testis nulus testis yang berarti satu saksi bukanlah saksi. Kalau pun demikian adanya bahwa JPU hanya memiliki satu saksi yakni si korban maka Penulis berpandangan tidak menjadi persoalan meskipun hanya terdapat satu saksi, kendati demikian kesaksian si korban tersebut harus ada persesuaian dengan alat bukti lainnya berupa keterangan ahli, surat, petunjuk atau keterangan terdakwa. In casu, persesuaian keterangan saksi korban bisa dilihat relevansinya dengan hasil visum et repertum sebagai alat bukti surat. Kedua, berkaitan dengan prinsip testimoni de auditu yang berarti kesaksian yang didengar dari orang lain tidak dapat digunakan sebagai alat bukti. Penulis berpendapat meskipun testimoni de auditu bukan merupakan keterangan saksi, tetapi jika testimoni de auditu itu berhubungan dan selaras dengan kenyataan yang didapat dari alat bukti lainnya, maka testimoni de auditu perlu dipertimbangkan dalam rangka menambah keyakinan hakim. Olehnya itu Penulis tidak sependapat dengan pernyataan JPU sepenuhnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun