Wacana penunjukan gubernur oleh presiden tentu akan menghadapi kritik dari kalangan democracy advocacy groups. Mereka berpotensi menilai kebijakan ini sebagai bentuk democratic backsliding atau kemunduran demokrasi. Namun, perlu dicatat bahwa demokrasi bukanlah semata soal pemilu, melainkan tentang efisiensi pemerintahan dan pelayanan publik.
Jika proses pemilihan langsung justru menghasilkan fragmentasi politik, biaya sosial-ekonomi yang tinggi, serta konflik horizontal yang merugikan, maka sudah seharusnya negara mencari alternatif lain yang lebih fungsional. Prinsip pragmatic democracy mengajarkan bahwa demokrasi harus mampu beradaptasi dengan realitas dan kebutuhan masyarakat.
Sudah saatnya bangsa ini melakukan reengineering terhadap sistem pemerintahan daerah. Demokrasi prosedural harus diimbangi dengan democratic efficiency agar pemerintahan berjalan efektif dan berpihak pada kepentingan publik. Demokrasi yang terlalu prosedural tanpa mempertimbangkan kapasitas masyarakat dalam informed decision making justru berpotensi menciptakan paradoks demokrasi.
Penunjukan gubernur oleh presiden bukanlah kemunduran demokrasi, melainkan adaptasi terhadap kebutuhan pemerintahan yang lebih rasional dan terkoordinasi. Pemerintah daerah, khususnya di tingkat provinsi, membutuhkan figur yang mampu menjembatani kepentingan nasional dengan realitas lokal tanpa tersandera oleh kepentingan politik elektoral yang sempit.
Jika prioritas utama adalah kesejahteraan rakyat, stabilitas politik, efisiensi anggaran, dan pembangunan yang berkesinambungan, maka wacana penunjukan gubernur oleh presiden layak untuk dipertimbangkan secara serius sebagai alternatif sistem yang lebih adaptif dan pragmatis.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI