Oleh M. Tamhier Tamrin: Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Khairun.
Mahasiswa sering digambarkan sebagai agent of change sekaligus moral force. Julukan ini bukan sekadar retorika, melainkan refleksi dari peran historis yang berkali-kali terbukti dalam perjalanan bangsa. Dari Sumpah Pemuda 1928, gelombang aksi 1966, hingga reformasi 1998, mahasiswa selalu tampil sebagai garda moral ketika publik dicekik oleh kebisuan. Pertanyaan penting hari ini adalah: apakah mahasiswa generasi kini masih sanggup memikul tanggung jawab itu, ataukah mereka justru larut dalam rutinitas akademik yang steril dari keberanian?
Untuk menjawabnya, peran mahasiswa perlu dilihat secara menyeluruh. Mereka tidak hanya hadir sebagai pelajar, tetapi juga sebagai aktor sosial yang menempati posisi strategis antara dunia akademik dan masyarakat. Tugas utama itu dapat dipahami dalam beberapa dimensi berikut.
1. Peran Mahasiswa di Ranah Akademik
Kampus adalah arena intelektual tempat mahasiswa diuji, bukan hanya untuk memahami teori, tetapi juga untuk mempertanyakan realitas. Ketika birokrasi kampus berjalan tertutup, mahasiswa punya kewajiban moral untuk mendorong transparansi. Saat kualitas pengajaran menurun atau fasilitas tidak merata, mahasiswa wajib menjadi corong evaluasi. Advokasi akademik bisa diwujudkan melalui forum senat, seminar, tulisan ilmiah, maupun opini publik. Dengan begitu, mahasiswa menjaga agar perguruan tinggi tetap menjadi rumah ilmu pengetahuan yang hidup, bukan sekadar pabrik gelar.
*2. Peran Mahasiswa dalam Advokasi Sosial*
Tanggung jawab mahasiswa tidak berhenti di dalam pagar kampus. Realitas sosial menanti keberanian mereka. Ketidakadilan ekonomi, kerusakan lingkungan, diskriminasi, hingga kemiskinan struktural adalah problem yang tidak bisa hanya diserahkan kepada birokrat. Mahasiswa dengan daya kritis dan akses pada ilmu memiliki posisi strategis sebagai penyambung aspirasi rakyat. Dari ruang diskusi hingga media massa, dari penelitian hingga aksi sosial, mahasiswa dapat mengubah keresahan menjadi gagasan, lalu gagasan menjadi gerakan nyata.
3. HMI sebagai Ruang Pembentukan Nilai
Dalam menjalankan peran itu, mahasiswa membutuhkan wadah yang dapat membentuk karakter, memperdalam nilai, serta melatih keberanian. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) hadir sebagai ruang pembelajaran tersebut. Sejak berdirinya, HMI menekankan keseimbangan antara iman, ilmu, dan amal sebagai fondasi perjuangan. Ia bukan sekadar organisasi, melainkan kawah candradimuka tempat mahasiswa ditempa menjadi insan akademis yang kritis, berintegritas, dan berpihak pada masyarakat. Dari forum perkaderan hingga diskusi publik, HMI membuktikan dirinya sebagai ruang yang melahirkan intelektual organik yang berakar di tengah rakyat.
4. Mahasiswa sebagai Penjaga Ruang Publik
Suara mahasiswa tidak hanya relevan di ruang kuliah, tetapi juga di ruang publik yang lebih luas. Media, seminar, forum diskusi, hingga aksi sosial adalah kanal tempat mahasiswa mengartikulasikan kritik. Ketika isu lingkungan diabaikan, kesenjangan sosial melebar, atau kebijakan publik timpang, suara mahasiswa berfungsi sebagai alarm moral. Advokasi dalam bentuk tulisan, dialog publik, maupun aksi nyata adalah konsekuensi logis dari identitas mahasiswa itu sendiri.
Kesimpulan