Limbah makanan atau sampah makanan adalah makanan yang tidak dikonsumsi dan dibuang. Makanan tersebut dibuang atau tidak dimanfaatkan lagi karena sudah tak layak konsumsi, atau masih layak namun terbuang sia-sia. Limbah makanan dapat berasal dari berbagai tahap, mulai dari tahap produksi hingga ke tahap konsumsi.
Limbah makanan ini dibagi menjadi dua kategori, yaitu food loss dan food waste. Food loss adalah terbuangnya makanan yang terjadi pada tahap produksi, pengolahan, hingga distribusi makanan, seperti makanan yang mengalami kerusakan selama penyimpanan, produk makanan yang tidak memenuhi standar kualitas, dan lain sebagainya. Sedangkan food waste adalah terbuangnya makanan yang terjadi di tahap konsumsi, di mana makanan yang sudah siap konsumsi dibuang oleh konsumen atau pelaku bisnis.
Ada beberapa penyebab terjadinya limbah makanan, di antaranya karena inefisiensi dalam rantai pasokan, penyimpanan yang tidak tepat, kesadaran yang rendah terhadap dampak dari limbah makanan, pembelian yang berlebihan, porsi makanan yang terlalu besar, standar tampilan makanan yang terlalu tinggi, hingga perubahan gaya hidup dan pola makan yang tidak terencana yang dapat menyebabkan makanan tidak termakan dan akhirnya terbuang.
Entah hal ini disadari atau tidak, namun yang pasti limbah makanan tersebut menimbulkan kerugian dan memberikan dampak negatif yang signifikan, baik terhadap lingkungan, ekonomi, dan juga sosial. Bagi lingkungan, limbah makanan dapat mencemari tanah dan air, serta dapat menghasilkan gas rumah kaca yang berkontribusi pada perubahan iklim. Secara ekonomi, limbah makanan merupakan pemborosan makanan yang mengakibatkan kerugian finansial langsung, hilangnya potensi pendapatan, serta peningkatan biaya produksi dan pengelolaan. Â
Sementara dari segi sosial, limbah makanan telah menciptakan beban sosial, seperti meningkatnya biaya pengolahan sampah dan pembuangan limbah, menimbulkan masalah etika dan moral terkait nilai makanan dan tanggung jawab sosial terhadap akses pangan yang adil, serta memperburuk ketimpangan akses pangan, di mana di satu sisi terdapat jutaan ton makanan yang terbuang, namun di sisi lain masih banyak orang di seluruh dunia yang menderita kelaparan dan kekurangan gizi.
Menurut data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), secara global terdapat sekitar 1,3 miliar ton makanan yang terbuang setiap tahunnya. Angka ini setara dengan sepertiga dari produksi pangan dunia. Mirisnya, Indonesia menjadi negara penyumbang limbah makanan terbanyak di Asia Tenggara, bahkan yang terbesar kedua di dunia. Berdasarkan laporan Food Waste Index Report 2024, Indonesia menghasilkan 20,93 juta ton sampah makanan setiap tahunnya. Sementara menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, total limbah makanan yang dihasilkan masyarakat Indonesia mencapai 41,4% jauh lebih tinggi dibandingkan sampah plastik yang sebesar 18,6%.
Dengan kondisi tersebut, tentunya masalah limbah makanan ini menjadi isu yang serius bagi Indonesia. Beberapa pihak mulai bergerak untuk mengatasi masalah ini, seperti PBB melalui Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Environment Programme/ UNEP) dan organisasi mitra WRAP, serta pemerintah Indonesia dengan gerakan "Selamatkan Pangan", pengembangan teknologi pengolahan sampah, dan kebijakan yang mendukung pengurangan sampah makanan di seluruh rantai pasokan.
IGC: Kurangi Limbah Makanan Demi Gastronomi Berkelanjutan
Salah satu pihak yang ikut tergerak untuk mengatasi masalah limbah makanan ini adalah Indonesian Gastronomy Community (IGC). Sebagai komunitas pelestari makanan dan minuman Indonesia beserta budayanya, di tahun 2024 IGC telah menyuarakan 3 ajakan penting melalui kampanye Call for Actions, yaitu hargai pangan lokal, makan secukupnya, dan kurangi limbah makanan. Â
Memperingati Hari Gastronomi Berkelanjutan 2025, yang rutin diperingati setiap tanggal 18 Juni setelah ditetapkan oleh PBB di tahun 2016, IGC bersama dengan Badan Pangan Nasional menggelar acara penandatanganan Komitmen Bersama Pengurangan Limbah Makanan, yang dilaksanakan pada hari Rabu (18/6) di Anigre Restaurant, Hotel Sheraton Gandaria, Jakarta. Hadir pada acara tersebut Nita Yulianis, SP, M.Si selaku Direktur Kewaspadaan Pangan dari Badan Pangan Nasional, Ria Musiawan selaku Ketua Umum IGC, Ninuk Pambudy selaku Pembina IGC dan Pemerhati Kemasyarakatan, Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK, FRSPH selaku Sekjen IGC, para pelaku industri kuliner, seperti restoran, chef, hotel, UMKM, hingga food blogger.
Menurut Nita, pemerintah terus berupaya melakukan penyelamatan pangan di Indonesia, dengan target RPJMN 2025-2029 mampu mencapai 3-5% pangan yang terselamatkan. Pemerintah melakukan pendekatan ekonomi sirkular, dengan menyusun hirarki upaya penyelamatan pangan berupa langkah pencegahan sebagai prioritas utama, dengan mengurangi atau mencegah timbulnya sisa pangan sejak awal. Jika ada kelebihan pangan yang tak dapat dicegah, maka makanan dapat disalurkan atau didonasikan kepada orang yang membutuhkan, sedangkan pangan yang sudah tidak layak dimakan manusia, namun masih aman, dapat dijadikan sebagai pakan ternak.
Selanjutnya jika pangan yang tidak dapat dikonsumsi oleh manusia dan hewan, maka dapat diolah kembali menjadi produk lain, seperti kompos dan bahan baku industri. Di ujung hirarki barulah dibuang ke tempat pembuangan akhir. Langkah ini tentunya menjadi langkah terakhir yang sebisa mungkin harus dihindari karena dapat menimbulkan masalah lingkungan.
Sementara Dr. Ray yang juga merupakan Pendiri Health Collaborative Center (HCC) menyampaikan bahwa di Hari Gastronomi Berkelanjutan 2025 ini, fokus kampanye IGC adalah seruan (Call for Action) untuk "Kurangi Limbah Makanan (Reduce Food Waste)" kepada seluruh masyarakat Indonesia, mengingat bagaimana limbah makanan ini telah menjadi masalah global yang mendesak. Untuk itulah IGC sebagai komunitas memulai suatu gerakan agar dapat memberikan edukasi dan mengontrol pengurangan sisa makanan mulai dari tingkat rumah tangga, serta mempertemukan para praktisi waste management dengan industri gastronomi dalam jejaring IGC.
"Makanan bukan hanya untuk dinikmati, tapi juga dihargai. Kontrol limbah makanan bukan soal mengurangi rasa, tapi menambah makna. Dari dapur ke piring, gastronomi bertanggung jawab adalah kunci bumi yang lestari. Jadilah bagian dari perubahan. Ubah cara kita makan, demi masa depan yang berkelanjutan," ujar Dr. Ray.
Untuk itu, IGC bersama dengan Badan Pangan Nasional dan seluruh mitra pelaku gastronomi mengajak seluruh masyarakat berkomitmen bersama untuk mengurangi limbah makanan demi gastronomi berkelanjutan. Ria Musiawan kemudian dengan tegas menyerukan 3 Ajakan Aksi Nyata (Call to Action)Â kepada masyarakat dan pelaku industri, yaitu:
- Mulai dari piring sendiri, dengan mengambil makanan secukupnya, habiskan sepenuhnya.
- Dukung restoran dan pelaku gastronomi yang menerapkan prinsip zero food waste.
- Edukasi dan ubah pola makan menuju makan yang sehat dan berkelanjutan.
Sebagai Pembina IGC, Ninuk menyebut bahwa gerakan ini dapat memperkuat komitmen pemerintah dalam Asta Cita, khususnya dalam upaya ketahanan pangan, pengurangan food loss dan food waste, serta promosi berkelanjutan sebagai bagian pembangunan peradaban Indonesia modern.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI