Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mahasiswa, Membacalah!

7 Maret 2020   13:56 Diperbarui: 7 Maret 2020   14:57 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh Tabrani Yunis 

Musim kuliah semester genap 2019 kini sudah dimulai. Perkuliahan sudah berlangsung sejak minggu lalu. Para mahasiswa yang berasal dari luar kota pun kini sudah kembali ke kampus untuk menjalani proses perkuliahan.

Penulis sendiri, yang sejak beberapa tahun ini ikut menjadi dosen luar biasa di sebuah Universitas Negeri, sudah memulai kuliah perdana pada hari Jumat, 21 Februari 2020 yang lalu.

Pada kuliah perdana tersebut, penulis menggali persoalan yang ada pada mahasiswa yang mengikuti mata kuliah yang diasuh. Hal yang menjadi kebiasaan penulis adalah bertanya tentang aktivitas membaca para mahasiswa dalam setiap kali masuk kuliah, apakah itu pada kualiah perdana, atau pada pertemuan-pertemuan selanjutnya.

Pertanyaan pertama, " Siapakah di antara anda yang ada membaca hari ini?"

Bila ada, maka pertanyaan kedua adalah apa yang anda baca? Apa jawaban mereka?  Ternyata, semua terdiam dan menggelengkan kepala. Artinya, tidak ada yang membaca. Kalau pun ada membaca, ternyata hanya membaca Whatsapp alias WA atau media social lainnya. Mengejutkan? 

Tidak. Ini bukan hal yang mengejutkan. Dikatakan demikian, karena  kondisi atau fakta yang demikian sudah penulis temukan pada lebih kurang 500 mahasiswa dari berbagai letting atau tingkat.

Itulah realitas  membaca yang tengah terjadi di kalangan mahasiswa yang merupakan kelompok generasi milenial. Sebagaimana kita ketahui, mereka  datang ke kampus untuk kuliah. Sayangnya rutinitas kuliah yang mereka lakukan, tidak dimengerti oleh mereka, sehingga kuliah hanyalah rutinitas datang, duduk, dengar, diam, absen, lalu pulang.

Esoknya, diulang lagi dengan rutinitas itu. Belum habis bulan, minta dikirimkan uang oleh orang tua. Sedihnya, ketika kita tanyakan kepada mereka apakah anda sedang kuliah?  Ya, jawab Mereka. Lalu, apakah kuliah itu?  Mereka pun tidak bisa menjelaskan.

Lalu, untuk apa anda datang ke kampus ini? Banyak yang hanya terdiam. Satu dua menjawab untuk mencari ilmu. Lalu, bagaimana anda mencari dan menggali ilmu, bila tidak membaca? Cukupkah dengan aksi datang, duduk, dengar, diam dan pulang? Jawabannya, hanya senyum. 

Aduh! Ini benar-benar kacau. Mengapa demikian? Sudah dapat ditebak bahwa ketika dosen mengajukan pertanyaan-pertanyaan, termasuk pertanyaan umum, pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak bisa mereka jawab.

Jangankan menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai pengetahuan umum, pertanyaan yang mengarah kepada basis alasan mereka memilih jurusan saja, sulit dijelaskan.

Ternyata banyak yang bukan jurusan pilihan berbasis kesadaran dan penilaian yang matang serta berorientasi ke masa depan, tetapi pilihan kedua yang tidak diketahui ke mana arahnya. Sekali lagi begitu kacau bukan?

Ya, memang kacau. Kacau karena banyak di antara mereka yang merupakan mahasiswa yang tersesat di belantara kampus. Mereka seharusnya belajar, melakukan aktivitas membaca untuk pengayaan pengetahuan atau ilmu.

Tetapi pada kenyataannya sangat banyak mahasiswa yang hanya datang, duduk, dengar, diam dan pulang yang akhirnya minta segera dikirimkan uang belanja. Kondisinya sudah semakin parah, karena  sudah sesat, tidak pula mau membaca. Jadi, mau kemanakah mereka melangkahkan kaki? 

Coba bayangkan. Dari jauh, dari pelosok kampung datang ke kampus untuk kuliah, tetapi banyak yang tidak tahu arah dan tujuan. Wajar saja, kalau selesai kuliah, banyak yang kemudian masuk dalam daftar panjang sarjana pengangguran.

Kondisi ini tentu sangat berbahaya bagi masa depan mereka. Idealnya, di era yang serba digital, dimana sumber-sumber bacaan, sumber pengetahuan semakin banyak  tersedia, mudah diakses dan murah hingga mengalami banjir informasi.

Sayangnya melimpahnya sumber pengetahuan, ketersediaan bahan yang melimpah dan tersedianya media belajar yang sangat mudah dan semakin murah itu, tidak diikuti oleh meningkatnya minat membaca.

Tetapi sebaliknya banyak yang terpapar menjadi korban kemajuan zaman. Zaman semakin maju, namun kemampuan atau daya baca ( kemampuan literasi) mahasiswa semakin lemah. Inikah yang dikatakan sebagai penyakit kaum milenial? 

Ya, mahasiswa dari kalangan milenial saat ini ternyata menjadi korban kemajuan teknologi  komunikasi dan informasi di millennium ini. Kelihatannya memang demikian. Realitas ini, mengingatkan penulis prolog Yuswohadi, dalam bukunya "Millennials Kill Everything".

Yuswohadi menulis begini, Millenials adalah pembunuh berdarah dingin. Mereka membunuh apa pun. Kemudian ia bertanya mengapa milenials menjadi generasi paling brutal dalam sejarah manusia?

Ternyata jawabannya adalah karena mereka yang begitu intens terekspos teknologi dan media digital ( yup, yang dalam neuroscience disebut dengan brainplasticity), menjadikan perilaku dan preferensi mereka berubah secara ekstrim dan sama sekali berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya. 

Apa yang dikemukakan oleh Yuswohadi di atas, fakta-fakta nyata bisa kita temukan saat ini di kalangan kaum milenial yang masih berada dan belajar di lembaga- lembaga pendidikan di berbagai tingkat atau level.

Kaum milenial yang tengah berada di Universitas, sudah memperlihatkan fenomena dan realitas ekstrim dalam budaya belajar. Mereka kuliah, tetapi tidak membaca.

Bagaimana bisa dikatakan mereka belajar, apabila aktivitas membaca tidak dilakukan? Bila begini tarah papan, maka ke barat juga akan condong, kalau begini perilaku mahasiswa sekarang, menganggur jugalah akan dialami. 

Agaknya, melihat fenomena dan  realitas rendahnya minat,  kemampuan atau daya membaca mahasiswa masa kini, tidak boleh dibiarkan terus menurun. Harus ada upaya-upaya serius dari semua pihak, orang tua dan dunia pendidikan di semua  jenjang pendidikan.

Upaya-upaya tersebut, harus dilaksanakan dengan hati-hati, mengingat perbedaan generasi, membutuhkan strategi yang berbeda, sejalan dengan perubahan perilaku generasi milenial saat ini.

Para orang tua, guru, dosen dan praktisi pendidikan harus memahami cara belajar kaum milenial, lalu menyesuaikan strategi dan metodologi pembelajaran dengan perilaku milenial yang sedang dilanda pengaruh gadget yang mengurangi atau bahkan mematikan minat dan kemampuan membaca. 

Upaya membangun kesadaran mahasiswa milenial dapat dilakukan dengan mengajak mereka menidentifikasi masalah-masalah kebiasaan belajar, cara belajar dan tujuan atau bahkan visi mereka di masa depan yang penuh dengan aksi disrupsi ini.

Pihak universitas tidak boleh lalai dan mengabaikan fenomena atau realitas ini. Universitas harus lebih giat merancang stategi baru yang dapat menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan literasi para mahasiswa di kampus masing-masing.

Bahkan melakukan penelitian atau survey minat baca di masing-masing universitas yang hasilnya diumumkan ke publik, agar setiap orang tahu kondisi ril kemampuan literasi mahasiswa tersebut.

Haidar Bagir, dalam bukunya " Memulihkan Sekolah, Memulihkan Manusia" mengingatkan bahwa dalam pendidikan kita, pendidikan bahasa bersifat krusial khususnya sebagai sarana untuk pengembangan minat baca yang mendukung upaya perluasan horizon dan peningkatan kemampuan literer (sastrawi).

Tentu pihak universitas lebih ahli dalam hal ini. Kita tunggu hasil kajian setiap universitas, baik di Aceh, maupun di luar Aceh. Kepada mahasiswa kita  berpesan " membacalah".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun