Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Melanjutkan Kuliah S2 untuk Menunda Masa Pengangguran

3 Oktober 2018   00:25 Diperbarui: 3 Oktober 2018   11:10 3951
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Membaca tulisannya Fitri Nurbaidah yang berjudul "Lanjut  Kuliah S2  atau kerja Dulu?" di Kompasiana, menarik untuk disimak dan sekaligus direspon. Paling tidak, ketika membaca judulnya saja, penulis menemukan dua hal. 

Pertama adalah ide untuk menulis yang kemudian dituangkan dalam tulisan ini. Kedua mengingatkan penulis pada realitas para lulusan Perguruan Tinggi kita, yang setelah sarjana langsung melanjutkan pendidikan ke jenjang S2.

Selain itu, yang menarik dari tulisan tersebut adalah ketika membaca  judulnya yang seakan menawarkan pilihan yang sangat tepat. Pilihan pertama adalah melanjutkan ke jenjang S2 dan tawaran atau pilihan kedua memilih bekerja.  Jadi, tidak ada tawaran atau pilihan ke tiga, yakni menganggur. 

Dua pilihan itu seakan setiap sarjana baru, yang baru diwisuda oleh Universitas Negeri atau Swasta, sudah bisa langsung diterima di dunia kerja.

Padahal, secara faktual, saat ini banyak sekali sarjana yang menganggur karena tidak terserap oleh dunia kerja atau karena tidak diterima bekerja. Ini adalah akibat dari rendahnya kualitas sarjana yang disandang.

Jadi, masalahnya, bukan saja karena persoalan sempitnya lapangan kerja. Namun karena kualitas para sarjana yang ditolak oleh dunia kerja. 

Akibatnya jumlah pengangguran, termasuk pengangguran intelektual terus meningkat setiap tahunnya. Sejalan dengan semakin banyaknya lulusan PT yang diwisuda sepanjang tahun di setiap tahunnya.

Berdasarkan laporan BEM KM FT UGM pada 17 Februari 2017, menyebutkan bahwa Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2016 lalu, mencatat jumlah pengangguran di Republik Indonesia mencapai angka 7,02 Juta Jiwa (5,81 persen dari jumlah penduduk). Jumlah ini 6,22 % dari jumlah tersebut (sekitar 436 ribu jiwa) merupakan sarjana, atau minimal lulusan strata 1. 

Idealnya, angka pengangguran sebuah negara berada di angka 3% untuk menemukan supply dan demand dari jumlah pencari kerja dan jumlah kebutuhan tenaga kerja. Namun faktanya tidak demikian, terbukti angka pengangguran kita jauh di atas angka 3 persen, yakni 6.22 persen.

Nah, tingginya jumlah pengangguran yang berpendidikan S1 di tanah air saat ini, walau sedang posisi diuntungkan oleh bonus demografi.

Ternyata bonus itu bukan menjadi bonus yang membawa untung besar, tetapi menjadi bonus yang rugi besar, karena sebagai bonus yang menguntungkan usia produktif seperti ini harus menjadi penganggur, karena banyak sarjana yang disebut sarjana kosong alias stupid. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun