Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Ingin Melantunkan Kisah yang Merdu dari Aceh?

5 Juni 2018   02:09 Diperbarui: 5 Juni 2018   02:21 791
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh Tabrani Yunis

Menanti Lantunan Kisah Yang Merdu dari Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Itulah judul tema yang diangkat  oleh editor Kompasiana dalam " Selayang Pandang Dari Aceh Sumut dan Sumbar kepada Kompasianer. 

Tawaran yang bukan saja bagi Kompasianer yang berdomisili di tiga Provinsi ini, tetapi juga untuk semua Kompasianer yang pernah datang berkunjung maupun bekerja serta menetap untuk sekian lama di Aceh dan dua Provinsi ini. Sangat menarik tawaran dan kesempatan untuk melantunkan kisah merdu ini. 

Namun, ketika mendengar kata melantunkan, pemahaman penulis menjadi agak berbeda. Ya, ketika menyebutkan kata lantunan, maka konotasi dan pemahaman penulis ini adalah ajakan untuk menyanyikan atau menyampaikan lewat lagu. 

Apalagi ditambah dengan kata merdu. Kata merdu itu, biasanya digunakan untuk suara yang indah. Sementara eksistensi Kompasiana sebagai rumah bagi Kompasiner yang berprofesi " penulis" ini, maka judul itu terasa menggelitik rasa yang ada di relung hati.

Padahal, bila melihat tradisi warga rumah  Kompasiana adalah tradisi menulis. Kalau pun bercerita, bukan bercerita dengan cara bertutur atawa lisan, tetapi menulis atau memaparkan dalam Bahasa tulisan. Jadi, kalau mengajak kompasianer melantunkan kisah yang merdu, tentu saja para Kompasianer banyak yang tidak memiliki suara merdu untuk dilantunkan, namun kalau untuk ditulis, maka warga Kompasianer adalah para ahli yang selama ini menjadi warga produktif dalam merangkai kata, kalimat dan paragraph, hingga terbangun sebuah tulisan yang menarik dan mengisahkan banyak cerita, suka dan duka.  

Terlepas dari soal pemahaman terhadap judul, tema yang diangkat, terus terang penulis sangat bahagia dengan dijadikan Aceh, Sumut dan Sumbar sebagai sumber cerita kali ini. Bagi penulis yang berdomisili di Aceh dan sudah pernah berkunjung di Sumatera Utara dan Sumatera barat, tentu ada hal yang bisa diceritakan dari provinsi di Sumatera ini.

Jadi, ini adalah sebuah tawaran, kesempatan menulis, bercerita atau berkisah yang sangat menarik. Mendapat peluang menulis apa saja sebagai ekspresi terhadap  ke tiga daerah ini. Penulis sangat tertantang dan termotivasi untuk menulis. Penulis seperti sedang menyambut datangnya kekasih. 

Ya, bak merindukan seorang kekasih, atau bagai seorang yang sedang kesepian dan membutuhkan teman untuk bercerita. Ingin menumpahkan segala suka duka, suka cita dan segala isi hati. Sehingga, hati merasa tidak sabar untuk bisa segera menumpahkan semua kata yang ada di pikiran atau di kepala dan hati.

Namun sayang, karena terlalu banyak yang ingin ditumpahkan, terlalu bersemangat dan bernafsu, sejuta kata dan cerita itu pun seperti hanya melayang-layang di ingatan, terbang ke sana ke mari, menjadi bola liar. Jadi, bayangkan saja ya, bagaimana seseorang menangkap bola yang liar. Sulit bukan? Tentu saja sulit, apalagi bagi orang yang belum terbiasa menangkap bola. Bola liar pula lagi. Heboh bukan?

Ya, pasti heboh. Begitu juga dengan kehebohan penulis menyambut tawaran Kompasiana hari ini. Benar lho, hati penulis terasa sangat haru biru, bukan hijau kuning. Tampaknya, agar bisa terarah, penulis harus mampu mengatur rasa suka, mengelola emosi dan gelora menulis dengan penuh kesabaran. 

Selain itu, sebagai modal untuk menulis, tentu harus ada ide. Ya, ada gagasan yang akan ditulis, bukan judul, tetapi ada bahan atau hal-hal yang menarik, perlu atau penting untuk diceritakan.

Jadi, modal awal adalah memiliki ide atau gagasan untuk ditulis. Semua tahu bahwa, kalau ide atau gagasan tidak ada, maka akan tidak ada satu tulisan pun yang bisa ditulis. Benar bukan? Kalau ada yang mengatakan itu tidak benar, maka ini saatnya untuk mencoba. Silakan coba menulis sebuah cerita atau kisah dengan tanpa ada ide atau gagasan. Silakan buktikan.

Kalau ide atau gagasan atau masalah yang akan ditulis, maka ide atau gagasan tersebut akan bisa dikembangkan menjadi sebuah tulisan yang menarik bagi si penulis, juga idealnya menjadi sangat menarik bagi para pembaca. Pertanyaan berikutnya, bagaimana bisa mendapatkan ide atau gagasa, maupun masalah tersebut?

Biasanya, seorang penulis itu akan mencari ide atau gagasan itu denga cara-cara yang kreatif. Banyak cara yang bisa digunakan. Misalnya, dengan berjalan-jalan keliling kota atau kemana sajalah, lalu dalam perjalanan tersebut akan banyak melihat sesuatu, ya akan banyak hal yang dilihat. Bisa yang indah, bisa pula yang tidak indah, bisa yang bersih, bisa pula yang kotor dan jorok. 

Apa yang kita lihat itu akan menjadi hal yang mungkin mengganggu pikiran, maka di situ ada masalah yang akan menjelma menjadi ide untuk ditulis. Cara, lain, bisa dengan cara membaca tulisan-tulisan orang lain. Dari tulisan tersebut ada hal yang kita tidak setuju atau kontradiktif, maka di situ sudah ada ide dan gagasan untuk ditulis. Jadi mudah bukan?

Memang mudah, tetapi menyikapi ajakan menulis tentang Aceh, Sumut dan Sumbar ini, di dalam pikiran penulis banyak sekali tasanya yang akan ditulis, disampaikan dalam untaian kata di laman Kompasiana ini. Sebaiknya, penulis bisa lebih sabar, membuat langkah-langkah yang tepat untuk menulis soal ini. Ya, seperti ditulis di atas, penulis harus menjaring atau membuat dahulu daftar ide atau gagasan, bahkan mungkin masalah-masalah yang selama ini banyak dilihat, dirasa dan sebagainya. 

Kalau ide dan gagasan serta masalah sudah teridentifukasi, maka akan banyak bahan yang akan ditulis kelak, selama masa yang diberikan cukup panjang. Semoga saja, semakin panjang waktu yang diberikan, akan semakin banyak cerita atau kisah yang ditulis.

Pokoknya, ketika membaca ajakan Kompasiana itu, terus terang aku merasa sangat banyak hal yang ingin ditulis. Sangat banyak cerita dan kisah yang ingin ditumpah dalam lembaran-lembaran kertas atau di halaman-halaman Kompasiana ini. 

Namun, terkadang tidak seperti apa yang banyak terlintas di kepala, tidak seperti rasa rindu yang menggebu ketika ingin menorehnya di halaman atau space menulis. Ada banyak hambatan atau bahkan terjadi apa yang disebut dengan writing block.

Terbukti, beberapa kali, kalimat yang sudah ditulis atau dirangkai, kemudian dihapus atawa deleted, karena terasa tidak cocok atau tidak sesuai atau apalah lagi yang tidak pas, tidak nyambung dan sebagainya. Akibatnya, ingin menulis A, malah tertulis B atau yang lain. Sementara cerita tentang pengalaman hidup atau berada di tiga wilayah itu pun seperti kembali terbang, tidak membumi. 

Padahal, ketika bercerita soal Aceh saja, akan ada 1001 cerita atau kisah dalam berbagai rangkaian perasaan. Bahkan bukan hanya 1001 kisah, bisa jadi setjuta cerita kisah dari Tanah Rencong akan bisa diceritakan. Kuncinya, ya, memang semua hal sudah teridentifikasi, semua hal sudah terkumpul. Bukan hanya mendapatkan ide atau gagasan, tetapi juga sejumlah masalah yang menjadi bahan tulisan. 

Bukan hanya semua masalah yang terkumpul, tetapi juga sejumlah fakta dan data yang mendukung tulisan atau cerita tertulis itu. Sehingga  ketika semua itu sudah tersedia, maka yang diperlukan adalah merumuskan masalah dengan baik, menganalisisnya, bisa pula melakukan justifikasi, dan memberikan tawaran solusi dalam tulisan tersebut.

Tentu sangat tergantung pada genre, atau pilihan jenis tulisan apa yang penulis bisa sajikan. Karena tidak ada larangan untuk menulis fiksi, tidak ada ancaman karena tidak menulis dalam bentuk opini. Yang jelas semua kisah bisa ditunagkan dalam tulisan. Sayangnya, kali ini penulis belum menulis. Ya, belum menulis dan menceritakan tentang kisah-kisah di tiga provinsi di Sumatera ini. 

Semoga saja, besok sudah ada tulisan baru tentang ini. Mohon doakan ya. Siapa tahu nanti bisa menceritakan tentang pengalaman hidup di daerah konflik, bisa pula pengalaman hidu di daerah yang pernah dilanda banana tsunami dan juga Indahnya hidup di masa damai.  Masih banyak yang bisa kita tulis. Semoga bisa. Selamat berpuasa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun