Mohon tunggu...
Lupin TheThird
Lupin TheThird Mohon Tunggu... Seniman - ヘタレエンジニア

A Masterless Samurai -- The origin of Amakusa Shiro (https://www.kompasiana.com/dancingsushi)

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Hokkaido Saat Musim Dingin

11 Maret 2023   11:56 Diperbarui: 11 Maret 2023   17:00 1490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Namara shibareru!"

Saya teringat kalimat itu ketika turun dari pesawat JAL, setelah perjalanan satu setengah jam, dimulai saat lepas landas dari Bandara Haneda.

Burung besi tumpangan mendarat sedikit oleng di landas pacu yang berselimut salju di Bandara Shin-Chitose, Hokkaido.

Kalimat tersebut adalah dialek. Terjemahan dalam bahasa Indonesianya, dingin sekali.

Entah kenapa kalimat itu muncul secara tiba-tiba. Mungkin lantaran teman yang notabene dosanko, sebutan bagi orang kelahiran Hokkaido, sering mengucapkannya.

Bandara Shin-Chitose (dokpri)
Bandara Shin-Chitose (dokpri)

Memang suhu udara saat saya berkunjung bulan Februari lalu, terasa dingin menusuk tulang. Salju pasti turun setiap hari pada akhir musim salju yaitu bulan Januari dan Februari, walaupun hanya beberapa jam saja.

Baca juga: Samurai in Spring

Pilihan Bandara Shin-Chitose semata-mata karena letaknya dekat dari Sapporo. 

Mobilitas menggunakan transportasi umum mudah ditemukan di Sapporo. Sehingga saya memesan penginapan disini, meskipun berencana pergi ke beberapa tempat lain seperti Hakodate, Asahikawa dan Otaru.

Lokasi dan fakta sebagai kota paling besar di Hokkaido, menjadikan Sapporo sebagai tempat paling praktis untuk mobilisasi.


Transportasi umum contohnya bus baik trayek reguler maupun trayek wisata, lalu kereta api dengan tujuan ke semua lokasi wisata dan kota-kota utama, mudah ditemukan.

Sebagai informasi tambahan, ada sepuluh bandara beroperasi di Hokkaido. Diantaranya Abashiri, Obihiro, Kushiro, Hakodate dan Memanbetsu. Anda bisa memilih salah satu kalau ingin berkunjung suatu saat nanti.

Penerbangan dalam sehari lumayan banyak, lebih dari sepuluh kali. Maskapai penerbangan pun bermacam-macam, yaitu ANA, JAL, Peach dan Air-Do. Meskipun ketersediaan maskapai penerbangan terbatas, dalam arti hanya ada satu maskapai setiap jam keberangkatan.

Sebelum menulis lebih jauh tentang perjalanan, saya ingin kilas balik sedikit sejarahnya.

Pulau kedua terbesar di Jepang ini sebenarnya pulau termuda (berdasarkan terbentuknya daerah secara administratif) diantara pulau besar lain di Jepang semacam Honshu, Shikoku dan Kyushu.

Asal mulanya, pulau Hokkaido bernama Ezochi. Nama tersebut diambil dari bahasa Ainu, suku asli yang telah tinggal di pulau sejak abad 13.

Pada era Meiji tahun 1869, nama Hokkaido resmi digunakan menggantikan Ezochi. Akan tetapi, sebutan bagi beberapa hewan yang hanya bisa ditemukan disana, masih memakai awalan Ezo.

Contohnya, Ezo-shika (rusa Hokkaido), Ezo-higuma (beruang Hokkaido), Ezo-ookami (serigala Hokkaido) dan lainnya.

Tahun 1874, pemerintah Meiji mengirim tondenhei, yaitu tentara yang selain bertugas untuk menjaga keamanan, juga bertugas mengembangkan pertanian.

Sebagai daerah administratif relatif "baru", jika memperbandingkan Hokkaido dengan pulau lain maka tidak ada bangunan yang berumur dua ratusan tahun lebih, apalagi ribuan.

Pemandangan kota Sapporo saat musim dingin (dokpri)
Pemandangan kota Sapporo saat musim dingin (dokpri)

Salah satu bangunan tertua sekaligus objek wisata adalah bekas kantor gubernur di Sapporo. Bangunan ini dalam bahasa Jepang bernama Hokkaido kyu-honchosya atau lebih dikenal dengan nama akarenga-chosya, didirikan tahun 1888.

Bekas kegubernuran terlihat mencolok diantara gedung lainnya, sebab dibangun menggunakan bata merah. Mungkin agak diluar dugaan jika saya informasikan, bahwa bangunan menggunakan bata merah relatif mudah ditemukan di Jepang.

Jika pernah mengunjungi Edo Castle, pasti tahu gedung stasiun Tokyo sebagai salah satu stasiun terdekat. Anda bisa menikmati bangunan bata merah stasiun Tokyo, yang terlihat lebih mencolok sekarang karena baru saja selesai renovasi.

Demikian juga kebanyakan bekas gudang di daerah pelabuhan seperti Otaru, Aomori, Yokohama, Kobe, Nagasaki, dibangun menggunakan bata merah.

Kita kembali lagi ke cerita perjalanan.

Untuk kali ini, merupakan perjalanan ketiga saya berkeliling Hokkaido. Kunjungan pertama saat musim panas beberapa tahun lalu. Bersama 5 orang teman, kami menyewa mobil dan berkeliling selama seminggu.

Kemudian perjalanan kedua ketika musim gugur. Waktu itu kami bertiga, naik gunung Akadake di tengah Hokkaido, kemudian berkeliling di Danau Akan di sebelah timur.

Lantaran sudah pengalaman menjelajah ketika musim panas dan gugur, maka untuk melengkapinya saya datang kembali pada musim dingin.

Februari merupakan bulan pas untuk menikmati suasana gin-sekai. Ini istilah bahasa Jepang yang sering digunakan sebagai penggambaran dimana sejauh mata memandang, hanya tampak hamparan salju putih tak berujung.

Alasan lain pergi ke sana waktu musim dingin adalah, mulai tanggal 4 sampai 11 Februari diadakan acara Festival Salju di Sapporo dan beberapa tempat lain. Acara ini sudah terhenti selama 3 tahun karena pandemi. 

Menikmati festival ini merupakan keinginan yang sudah lama terpendam dalam hati.

Salju di Hokkaido terkenal di dunia, terutama bagi penggemar olah raga salju. Melaju di atas salju ringan yang terkenal dengan sebutan powder snow, merupakan impian bagi penghobi ski maupun snowboard.

Style selfie favorit saat musim dingin di Hokkaido (dokpri)
Style selfie favorit saat musim dingin di Hokkaido (dokpri)

Ada dua kegiatan yang cocok dilakukan saat musim dingin di Hokkaido.

Pertama, serupa dengan tulisan sebelumnya, menyaksikan keindahan alam gin-sekai.

Jika hanya suasana salju saja, Anda dapat rasakan juga di daerah seperti Aomori, Akita, Miyagi, dan daerah di sekitar Laut Jepang. 

Satu hal yang tidak mudah Anda temukan di daerah lain kecuali di Hokkaido, yaitu suasana salju di hamparan luas tak berujung, beserta pemandangan danau beku.

Kedua, menikmati kuliner.

Tentu saja kuliner di Hokkaido bebas Anda nikmati kapan saja tanpa memandang musim. Akan tetapi, cerita tentang dua makanan di tulisan ini, terasa lebih nikmat jika dimakan saat musim dingin.

Makanan pertama adalah ramen. 

Sekali lagi, Anda bisa menikmati ramen tanpa harus datang ke Hokkaido. Alasannya, kita tahu bahwa ramen sangat mudah ditemukan di seantero Jepang.

Akan tetapi, hanya di Hokkaido Anda bisa menikmati mi agak tebal dan keriting (dalam bahasa Jepang disebut chijiri-men) yang merupakan khas ramen dan berasal dari sana.

Ada beberapa jenis ramen di Hokkaido, dan saya akan bercerita tentang tiga diantaranya. 

Pertama, Sapporo miso ramen. Keistimewaannya, menggunakan miso, yaitu hasil fermentasi kacang kedelai menggunakan ragi dari beras, tahu maupun gandum. Pilihan jenis ragi menjadi hal penting, karena menentukan cita rasa miso.

Miso ada beberapa jenis, diantaranya yang rasanya manis (ama-kuchi) dan agak asin (kara-kuchi). Warna pun beragam, mulai dari colkat muda, coklat tua, ada juga warna merah.

Yamaoka-ke menjadi warung ramen pilihan di Sapporo. Lokasinya di distrik Susukino. Saya mendapat informasi warung dari supir taksi.

Yamaoka-ke Miso Ramen (dokpri)
Yamaoka-ke Miso Ramen (dokpri)

Oh ya, jika Anda menggunakan taksi saat berkelana di Jepang, dan bingung mau kemana, cobalah bertanya pada supir. Sudah menjadi rahasia umum di Jepang bahwa supir taksi hafal lokasi spot wisata (termasuk lokasi wisata bagus, namun belum banyak dipublikasi), dan tempat makan enak.

Banyak orang mengular di pintu masuk, karena memang warung ini terkenal. Setelah rela mengantre selama 30 menit, akhirnya bisa duduk dan menikmati ramen.

Hal pertama saya lakukan ketika donburi (wadah ramen) ditaruh tepat di depan adalah menikmati aroma miso.

Sesudah memecah sumpit kayu dan mengaduknya, dengan satu seruputan pertama saya merasakan rasa manis dan sedikit asin bercampur.

Saya meniupkan angin dari mulut karena sup coklat muda yang masih mengeluarkan asap di renge (sendok untuk makan ramen), masih terasa membakar lidah.

Komposisi ramen sangat simpel, dan tidak berbeda jauh dengan ramen daerah lain. Selain mi, ada irisan daun bawang, menma (rebung) dan chashu (daging babi bakar diiris tipis).

Rasa rumput laut, bercampur daun bawang, berpadu dengan chashu,  kemudian dibungkus menjadi satu kesatuan dengan kuah rasa miso, yang rasanya membekas di lidah setelah melewati kerongkongan.

Kehangatan setelah beberapa suap ramen pelan-pelan masuk ke dalam pencernaan, menjalar di sekujur tubuh sampai ujung kepala, jari tangan dan kaki. Ini bahkan masih bisa dirasakan, ketika berjalan sesudah keluar dari warung.

Sebagai pria kelahiran daerah tropis, berjalan di daerah bersalju namun badan terasa hangat, merupakan hal yang menggembirakan.

Sekali lagi, sensasi kontras badan hangat dan dinginnya suhu luar, hanya bisa dirasakan saat makan ramen di Hokkaido pada musim dingin!

Ramen kedua yang saya nikmati adalah Asahikawa. Berbeda dengan ramen Sapporo yang menggunakan miso, ramen Asahikawa menggunakan kecap asin (shoyu) sebagai bahan dasar.

Tambahan minyak lard yang bisa dilihat dengan jelas di donburi, menjadi salah satu ciri khas ramen Asahikawa.

Terakhir saya mencicipi ramen Hakodate. Daerah ini merupakan teluk, sehingga sebagian besar dikelilingi oleh pantai. Hasil laut adalah salah satu ciri khas Hakodate.

Oleh karena itu, ramen Hakodate menggunakan hasil laut seperti udang, kerang dan kepiting. Warna sup yang bening, menjadikannya berbeda dari ramen Sapporo dan Asahikawa.

Kita lanjutkan degan kuliner kedua yang cocok dinikmati ketika musim dingin, yaitu Genghis Khan.

Jingis-kan (dokpri)
Jingis-kan (dokpri)

Mungkin Anda bingung dan bertanya dalam hati. Mengapa nama pada cerita sejarah dan sepintas tidak ada hubungannya dengan makanan, namun diceritakan sebagai cerita kuliner?

Ya, Anda tidak salah kalau bingung. Saya pun pertama kali bingung.

Ternyata makanan jingis-kan (begitu cara orang Jepang melafalkannya) adalah daging kambing yang dimasak dengan kuah kecap encer manis, dicampur sayuran taoge, paprika dan bawang bombai.

Daging umumnya digunakan dari kambing muda. Perbedaan yang bisa dirasakan dibandingkan saat menyantap satai kambing di kampung halaman, saya tidak mencium bau khas kambing. 

Saya tidak tahu persis alasannya, mengapa daging kambingnya tidak berbau.

Tentu tidak perlu diceritakan lagi bagaimana enaknya daging kambing. Sebagai orang Indonesia, besar kemungkinan Anda pernah merasakannya.

Kalau mau menuliskan, mungkin satu saja perbedaannya. Ada sensasi berbeda ketika makan daging kambing dicampur saus encer coklat manis dan dimakan langsung dari teppan (alas penggorengan besi).

Suara daging kambing, bercampur dengan sayuran dan saus mendidih di atas teppan, bak orkestrasi di balik panggung yang mengiringi kita menyantapnya.

Alasan tentang bagaimana suhu badan bisa naik sesudah makan daging kambing, mungkin tidak perlu ditulis karena sekali lagi, Anda pasti pernah mengalaminya.

Momen badan terasa panas, ditambah sensasi perbedaan suhu badan dan suhu sekitar, hanya bisa dirasakan dengan makan jingis-kan di musim dingin!

Bahkan saya harus mencopot jaket luar saat meneruskan perjalanan setelah menikmati jingis-kan, karena badan terasa amat panas dan berkeringat.

Stasiun kereta api di Hokkado saat musim dingin (dokpri)
Stasiun kereta api di Hokkado saat musim dingin (dokpri)

Sebagai catatan, selama di Hokkaido saya mengenakan pakaian 4 lapis, termasuk jaket luar. Di dalam jaket saya memakai parka (dalam bahasa Inggris disebut hooded jacket atau hoodie), kemudian ada kaos biasa dan heattech Uniqlo melekat di badan.

Jika tidak sesudah makan ramen maupun jingis-kan, baju empat lapis bagi saya belum terasa cukup untuk menangkal dinginnya suhu Hokkaido.

Mungkin saya tergolong sebagai samugari, julukan bagi orang yang tidak tahan dingin. Sehingga tidak tahan berlama-lama di daerah dingin. Istilah ini ada bahasa Jepangnya, sebab memang tidak semua orang Jepang tahan suhu dingin.

Itu dua makanan yang patut dicoba, terutama waktu musim dingin. Mudah-mudahan saya tidak membuat Anda berliur ketika membaca tulisan.

Saya ingin menutup cerita musim dingin di Hokkaido dengan satu lagu dari Matsuyama Chiharu. Dia adalah penyanyi dosanko, alias kelahiran Hokkaido.

Judul lagunya "malam panjang". Memang pada musim dingin, matahari terbenam lebih cepat, dan terbit lebih lambat dibanding musim lain. Sehingga suasana gelap malam menjadi lebih panjang.

"Ku ingin keluar dari malam panjang
 Dan menyampaikan sumpah cinta hanya kepadamu
 Namun rayuan taburan bintang dilangit
 Membuat sepasang kekasih bimbang"

Selamat berakhir pekan.


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun