Mohon tunggu...
Lupin TheThird
Lupin TheThird Mohon Tunggu... Seniman - ヘタレエンジニア

A Masterless Samurai -- The origin of Amakusa Shiro (https://www.kompasiana.com/dancingsushi)

Selanjutnya

Tutup

Gadget Artikel Utama

Buka Wawasan dari Kasus #BoikotBukaLapak

16 Februari 2019   08:57 Diperbarui: 17 Februari 2019   00:53 1543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seperti mesin motor Honda yang "bandel" (alias bisa ngebut pol) kalau panas, saat tahun politik yang sudah mulai "panas" ini tentunya semuanya bisa jadi "bandel" (alias ramai).

Terakhir dengan peristiwa gerakan #BoikotBukaLapak, karena bosnya mencuit anggaran R&D Indonesia yang rendah dan menyangkutpautkan itu dengan Revolusi Industri 4.0 (selanjutnya saya akan sebut Industri 4.0 saja).

Saya tidak akan membahas tentang data yang tidak akurat, atau bosnya yang tidak tahu terimakasih, bahkan tentang perilakunya yang mengindikasikan pendukung capres tertentu. Saya ingin membahas hal-hal lain yang (mungkin) belum sempat dibahas secara detail.

Lagipula, saya termasuk orang yang jarang melakukan transaksi pembelian secara online. Saya masih suka belanja langsung di toko, karena selain ingin lihat langsung sesuatu yang ingin saya beli, saya sangat menikmati interaksi dengan penjual atau pelayan toko. Apalagi kalau pelayannya oneesan (mbak) yang beppin (cantik).

Sebetulnya, tidak banyak yang ingin saya komentari dari kegaduhan cuitan itu. Hanya ada beberapa hal yang menarik untuk dikomentari.

Misalnya harapan untuk presiden baru (yang nanti akan terpilih) menaikkan budget (akan saya tafsirkan sebagai anggaran) R&D.

Yang namanya anggaran negara, pasti melalui APBN. Dan setahu saya, APBN itu bukan asal semau gue-nya presiden. APBN tentu harus disetujui oleh DPR. Jadi, saya bingung sendiri (walaupun sudah pegang kursi erat-erat), bagaimana caranya presiden (yang terpilih nanti) menaikkan anggaran R&D (melalui APBN). Apakah itu anjuran agar presiden kongkalikong dengan DPR supaya anggaran R&D dinaikkan? Mungkin presiden bisa meminta untuk menaikkan anggaran R&D. Tapi kan, keputusan terakhirnya ada di DPR.

Lagipula, setahu saya dana R&D dari data yang disampaikan itu, nominalnya bukan cuma dari pemerintah saja. Pihak swasta (perusahaan dan badan usaha selain milik pemerintah) serta perguruan tinggi juga punya andil disana. Bahkan, dana R&D dari pihak swasta jumlahnya berlipat-lipat dari dana R&D pemerintah. Dana R&D dari perguruan tinggi (higher education), juga lebih tinggi dari dana pemerintah, misalnya di Jepang dan Perancis.

Kenapa dana R&D di perguruan tinggi bisa lebih tinggi? 

Saya ambil contoh di Jepang. Universitas negeri di Jepang sekarang bentuknya adalah badan usaha (houjin). Dengan begitu universitas bebas untuk menentukan, bagaimana mereka ingin "mencari dana" bagi kepentingan R&D. Salah satu cara yang ditempuh adalah kerja sama dengan swasta dan juga dengan bantuan pemerintah (untuk regulasinya), yang biasa dinamakan dengan san-kan-gaku dalam Bahasa Jepang.

Swasta (umumnya perusahaan) tidak bakal sayang keluar duit banyak untuk membiayai penelitian, karena mereka bisa memanfaatkan hasilnya. Salah satunya karena bisa, misalnya sharing patent. Perusahaan juga bisa memperoleh hak untuk membuat produk dari hasil penelitian yang dilakukan oleh universitas, untuk dijual ke pasaran.

Saya yakin perguruan tinggi di Indonesia pun sudah melakukan hal yang sama dengan melakukan kerjasama dengan pihak swasta dan dibantu oleh pemerintah untuk membiayai dan bersama-sama melalukan riset. Hal seperti ini mungkin bisa lebih digiatkan di tahun-tahun kedepan. 

Pemerintah bisa membantu dengan mendorong swasta untuk ikut berperan aktif, dengan memberikan kompensasi misalnya dana yang diinvestasikan untuk penelitian itu bisa bebas pajak, dan sebagainya.

Beberapa start up yang berhasil pun juga harus mau menggandeng start up lain yang prospektif, dan membantu (dalam hal ini mendanai)
agar start up tersebut bisa sama-sama sukses mengembangkan usaha bisnisnya. Bukalapak sebagai start up unicorn di Indonesia, tentunya bisa berperan untuk membantu start up lain, dan kalau bisa mendanai juga biaya R&D. 

Saya belum menemukan berita bukalapak turut mendanai start up lain atau memberi bantuan dana R&D (mungkin keyword yang saya gunakan tidak pas saat googling sehingga tidak ketemu beritanya). Sebenarnya, seperti sudah saya tulis sebelumnya, ada banyak keuntungan dengan memberikan pendanaan itu, misalnya hasilnya bisa dipakai untuk kepentingan diri sendiri juga nanti.

Mengenai besarnya nominal R&D yang menjadi perhatian itu, menurut saya juga tidak ada masalah. Kalau boleh cerita sedikit, walaupun dengan dana R&D yang minim, namun belum tentu hasilnya "minim" juga. 

Contohnya, tentunya pembaca sering melihat berita bahwa banyak ilmuwan Jepang meraih hadiah Nobel dalam bidang iptek. Keberhasilan mereka itu, berkat usaha atau penelitian yang dilakukan beberapa tahun, bahkan puluhan tahun yang lalu. 

Anggaran R&D Jepang pada saat itu tentunya juga terbatas dan tidak banyak seperti sekarang. Karenanya, beberapa dari penerima Nobel itu kemudian pindah ke perusahaan (atau perguruan tinggi) di Amerika, mengharapkan dana R&D yang lebih besar lagi.

 Akan tetapi, mengapa dengan dana yang terbatas itu, mereka bisa menemukan terobosan baru dan bahkan bisa meraih hadiah Nobel?

Kuncinya adalah, disamping kemampuan SDM, kemauan dan keuletan sangat menentukan. Jadi, tidak ada alasan misalnya karena dana yang sedikit maka tidak bisa berkembang. Walaupun dana memang diperlukan, tetapi tidak perlu berlebihan.

Lalu, saya juga kurang paham bagaimana hubungan dana R&D dengan Industri 4.0. Setahu saya, R&D itu tidak melulu tentang ICT (Information and Communication Technology) yang erat hubungannya dengan Industri 4.0.

Ada juga R&D untuk industri manufaktur, otomotif, ilmu-ilmu dasar seperti Kimia, Fisika, Matematika, lalu kedokteran, bahkan ada juga R&D untuk ilmu-ilmu sosial. Tentu porsi dari masing-masing berbeda berdasarkan kebutuhan. 

Jadi menurut bos bukalapak itu, dia maunya menaikkan dana R&D yang mana? Kalau maksud dia, maunya menaikkan anggaran R&D untuk ICT saja, nanti (bidang) yang lain bagaimana? Tentu harus ada keseimbangan, tidak boleh egois dengan mendahulukan bidang yang satu dan menelantarkan yang lain.

Yang terakhir, tentang Industri 4.0 itu sendiri. Sedikit kilas balik, Industri 4.0 pertamakali digaungkan oleh Jerman pada tahun 2011. Sebagai negara industri, mereka ingin membangun pabrik yang efektif dan efisien, mulai dari penyediaan energi, bahan baku sampai dengan distribusi hasil industri ke pengguna barang. Tentunya, mereka juga ingin menggunakan SDM (tenaga kerja) seefektif mungkin, terutama dalam hal penggunaan jam kerja.

 Singkatnya, pencanangan Industri 4.0 itu tujuan utamanya adalah, mereka ingin membangun smart factory.

Bagaimana mewujudkan itu semua? Caranya dengan memanfaatkan teknologi terkini, seperti yang sudah banyak kita tahu misalnya AI, Big Data, IoT, Deep Learning, Machine Learning, dan lainnya.

Jadi, yang ingin kita capai saya pikir bukan Industri 4.0 nya, karena butuh biaya yang tidak sedikit. Selain itu butuh waktu yang cukup untuk tahapan serta proses kesana. Saya juga heran kenapa istilah "Industri 4.0" yang digembar-gemborkan di Indonesia. 

Walaupun saya juga berharap agar kita bisa mencapai Industri 4.0 (alias membuat smart factory), tapi mungkin lebih baik kalau langsung saja istilah teknogi penunjangnya seperti "AI", "IoT" dan lainnya yang digunakan atau dipopulerkan (terutama oleh media). 

Saat ini, tiap negara (dalam hal ini negara industri) ikutan arus Industri 4.0 ini dengan mencanangkan program dengan tujuan yang sama, namun dengan nama yang berbeda. Misalnya, Amerika dengan Industrial Internet, Tiongkok dengan Made in China 2025, Jepang dengan Connected Industries, dan Indonesia dengan Making Indonesia 4.0.

Khusus untuk Indonesia, saya sudah baca penjelasannya disini. Tapi, hal-hal yang ditulis disana masih bersifat umum, dan kelihatannya seperti cuma "terjemahan" dari beberapa sumber yang banyak tersedia di Internet.

Sekali lagi, Industri 4.0 adalah suatu proses, dimulai dari Industri 1.0, 2.0, lalu 3.0 dan sekarang 4.0. Atau untuk lebih jelasnya, faktor penentu dari masing-masing Revolusi Industri itu (dari 1.0 ke 4.0) kalau diurutkan adalah, Mesin Uap->Listrik->Internet (CAE:Computer Aided Engineering)-> AI/IoT.

Kalau bos bukalapak bilang "Omong kosong Industri 4.0 kalau budget R&D negara kita kaya gini", tanggapan saya adalah, memang iya Indonesia kan bukan negara industri (walaupun, saya berharap suatu hari nanti kita bisa menjadi negara industri).

Sejak dahulu pabrik di Indonesia (dimana pabrik adalah subjek pokok dari Industri 1.0 sampai 4.0) memang banyak yang belum "beres". Sekarang saja masih sering para pekerja pabrik mogok kerja (demo), karena misalnya sengketa masalah gaji dan jam kerja.

Namun, karena sekarang jaringan listrik sudah tersedia sampai ke daerah, paling tidak pabrik sudah bisa beroperasi normal karena pasokan listrik ke pabrik sudah tidak menjadi masalah lagi. 

Bahkan sekarang, beberapa pabrik juga mungkin sudah mempunyai pembangkit listrik sendiri, karena infrastruktur jalan yang sudah memadai sehingga kebutuhan untuk membangun dan mengoperasikan pembangkit listrik itu (misalnya distribusi bahan bakar yang murah) mudah diperoleh.

Jadi, menurut jenjang proses yang saya tulis sebelumnya, seharusnya untuk tahapan Industri 2.0, kita sudah lewat. Namun, untuk urusan CAE yang jadi inti dari Industri 3.0, apakah sudah bisa dipenuhi oleh semua pabrik yang ada sekarang?

Industri 4.0 tidak akan berhasil kalau tidak melalui proses dan tahapan-tahapan itu, dan tentunya kita harus banyak bebenah dulu sebelum bisa melangkah kesana. Sehingga, memang banyak PR yang harus kita selesaikan.

Sebagai bagian dari proses itu, kita sekarang sedang giat membangun infrastruktur fisik dasar (jalan, pelabuhan, lapangan terbang) di seluruh Indonesia. Saya berharap pemerintah nantinya memberi perhatian juga untuk pembangunan infrastruktur bidang telekomunikasi, terutama untuk teknologi 5G. Karena, sistem ini adalah salah satu penunjang terlaksananya Industri 4.0. (catatan: mengenai 5G, saya pernah menulis disini)

Bagi Indonesia, memang jalan masih panjang dan terjal untuk menuju kepada smart factory. Namun, sebelum mencapai itu, kita punya kemampuan dan bisa mempersiapkan diri untuk terlebih dahulu menjadi smart citizen (warga negara yang bijak). 

Keadaan saat ini mulai memanas, karena pelaksanaan pilpres dan pilkada tinggal dua bulan lagi. Jika "mesin motor" anda sudah mulai panas (apalagi anda naik motor Honda), maka mulailah pakai helm yang baik dan benar (tentunya helm juga jangan yang abal-abal). Agar anda bisa melaju dengan tenang dan selamat sampai di "tujuan".

Selamat berakhir pekan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun