Mohon tunggu...
Syukur Umar
Syukur Umar Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, peneliti/penulis, dan penikmat musik dan perjalanan wisata

Menulis adalah kepastian hidup......

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Setelah 36 Tahun Berlalu (Episode 1: Pertama Kali ke Toraja)

31 Desember 2021   06:25 Diperbarui: 31 Desember 2021   11:53 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dengan keramahannya, orang itu mengantarkan kami ke hunian keluarga Batu Rante. Hunian itu sejenis rumah adat Toraja atau Tongkonan. Tongkonan berasal dari kata "tongkon" yang berarti "tempat duduk". Ya, duduk seraya menikmati kopi toraja di pegunungan yang dingin kala itu merupakan sesuatu yang cukup dapat mengurangi kepenatan setelah perjalanan jauh dari Makasar, Palopo lalu Toraja. Itung-itung, lumayan untuk mengumpulkan energi sebelum melanjutkan perjalanan balik ke Makasar melalui Enrekang dan Sidrap.

Tontonan yang paling mengasyikan dalam acara Rambu Solo ketika itu adalah adu kerbau. Masyarakat Toraja menyebut adu kerbau sebagai "mapasilaga tedong". Kerbau yang diadu saling seruduk, saling dorong dengan mengandalkan bobot badan, kekuatan leher dan tanduk. Bukan sekedar menghibur penonton, terutama para keluarga yang tengah berduka atas kematian. Adu kerbau juga merupakan tradisi menghantar arwah ke surga.

Setelah diadu, kerbau-kerbau itu disembelih dalam acara ritual "ma'tinggoro tedong". Prosesi penyembelihan kerbau ala Toraja tersebut dilakukan dengan sekali tebasan parang yang sangat tajam ke leher kerbau. Ma'tinggoro tedong berasal dari tradisi agama moyang "aluk todolo".

"Seperti itulah adu kerbau, nak," jelas salah satu tetua keluarga Baturante.

"Daging kerbau itu nantinya akan dibagi-bagi ke keluarga lainnya," tambahnya.

Edo terdiam mendengar penjelasan totua itu. "Saya pernah menikmati dendeng kerbau," lirihnya dalam hati.

Ketika itu, umur Edo masih belasan tahun. Ia sering diajak oleh Ayahnya ke Duri, kampung kakek dan nenek Edo di wilayah Enrekang. Ia ingat betul disuguhi dendeng kerbau oleh tantenya di kampung yang terletak di kaki gunung Latimojong. Bukan cuma dendeng, Edo paling senang menikmati sarapan pagi di kampung dengan menikmati nasi hangat berlauk "dangke".

"Edo, coba dangke yang ini," ujar ayahnya suatu pagi ketika berkunjung ke kampung.

Dangke adalah keju tradisional masyarakat Duri yang dibuat dari susu kerbau melalui proses pemadatan, lalu dibentuk dengan cetakan batok kelapa. Rasanya lezat sedikit pahit karena proses pemadatannya menggunakan getah pepaya yang banyak tumbuh di kebun sekitar kampung. Bagi Edo, dangke adalah makanan khas yang semakin terbiasa dengan mulutnya.

Selain masalah kerbau, Edo juga mencoba mengingat kembali cerita ibunya tentang Aluk Todolo. Rupanya kepercayaan masyarakat Toraja dan masyarakat Duri sama, aluk todolo. Ibu Edo bercerita bahwa nenek moyang mereka mengenal aliran kepercayaan itu, namun sudah lama ditinggalkan seiring masuknya agama Islam ke masyarakat Duri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun