Mohon tunggu...
Syukur Umar
Syukur Umar Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, peneliti/penulis, dan penikmat musik dan perjalanan wisata

Menulis adalah kepastian hidup......

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Setelah 36 Tahun Berlalu (Episode 1: Pertama Kali ke Toraja)

31 Desember 2021   06:25 Diperbarui: 31 Desember 2021   11:53 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di luar gua, semuanya tersenyum. Bangga dapat memasuki gua. Edo dengan senyum merasakan kebahagiaan. Sekalipun ia gagal melewati celah sempit. Edo sebenarnya memendam kekecewaan karena tidak mampu melanjutkan rayapannya tadi.

" Ahh, kan udah merasakan celah itu," ungkapnya, lirih dalam hati.

"Hai kawanku Edo, mengapa tidak melanjutkan keluar gua melalui celah sempit. Badan saya lebih besar namun bisa keluar gua melalui celah itu." Frans berucap seraya tersenyum ke arah Edo. Edo balas tersenyum sambil membersihkan telapak tangan dan celana jeans yang ia kenakan.

Mereka mengasoh di bawah pohon rindang, tidak jauh dari mulut gua. Edo mengeluarkan beberapa permen karet dan membaginya ke teman- teman. Mereka membahas apa yang mereka lihat di dalam gua. Anto beranggapan bahwa tulang belulang di dalam gua agak berserakan, seharusnya dirapikan. Sementara Amir berpendapat lain. Ia beranggapan bahwa tulang belulang itu sudah cukup tersusun rapi.

"Mir, yang rapi itu pakaian yang dijual di Ramayana contohnya. Atau buku- buku di perpus. Eeh... ingat lo, untuk mengembalikan buku yang kamu pinjam. Terlambat mengembalikan, dapat denda dari perpus. Jangan disimpan lama- lama di kamar kos." Anto mencoba memberi contoh tentang kerapian seraya tersenyum.

Amir adalah mahasiswa yang paling rapi di antara teman- temanya. Bajunya selalu diselipkan ke dalam celana. Ikat pinggang yang selalu ia gunakan menambah kerapiannya. Kepalanya yang agak botak juga menjadikan ia terlihat semakin rapi.

"Rasanya cukup waktu rehat kita. Oh iya, Beni mengatakan ada pesta adat kematian yang sementara berlangsung. Yuk, kita ke sana," ajak Frans.

Mereka lantas beranjak dari duduk. Dengan sepeda motor, para mahasiswa itu melanjutkan perjalanan. Sejak berangkat dari Makasar, masing- masing menggunakan motor dengan tidak berboncengan. Lebih ringan untuk perjalanan jauh. Apalagi melewati jalan berbatu seperti yang mereka rasakan dari gua ke lokasi pesta adat kematian. Untunglah pemandangan di sepanjang jalan tidak membosankan.

Entah berapa menit berkendara, mereka tiba di lokasi pelaksanaan adat penguburan Toraja. Suasana ramai oleh manusia yang sebagian besar berbaju hitam di tempat itu. Ada yang duduk seraya bercakap-cakap di dalam rumah adat Tongkonan. Ada pula yang sibuk di sekitar tongkonan, mengurusi berbagai hal, termasuk mengurusi kerbau dan babi yang entah berapa banyak jumlahnya.

"Seperti ini lah pesta Rambu Solo. Semua keluarga datang. Bukan saja keluarga yang bermukim di Toraja, tetapi juga dari luar Toraja. Bahkan keluarga yang telah bermukim di luar negeri pun datang," ungkap Beni.

Rupanya pesta kematian adat Toraja bernama Rambu Solo. Adat ini memiliki kedudukan yang sangat penting bagi masyarakat Toraja. Masyarakat Toraja percaya bahwa bila kerabat mereka meninggal, lalu tidak diikuti tradisi Rambu Solo maka arwah orang yang meninggal akan memberikan kesialan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun