"Aku Belum Menjadi Aku"'
Aku belum ingin berlari,
hidup bukan lomba yang harus segera selesai.
Biar aku berjalan pelan,
seperti Hujan Bulan Juni
yang memilih jatuh tanpa suara.
Teman-temanku bicara tentang rencana,
tentang tangga yang harus dinaiki.
Tapi aku masih ingin memeluk keraguan,
menyimpan mimpi dalam amplop tak terkirim,
seperti cinta dalam Sajak Putih
yang dipelihara dalam diam.
Orang bilang, dewasa itu tentang langkah.
Tapi aku masih ingin menjadi bocah
yang bisa berkata, "aku ingin mencintaimu..."
meski belum tahu makna kehilangan.
Aku belum lantang seperti Chairil,
yang berteriak "Aku!" kepada dunia.
Aku lebih suka menjadi sunyi,
seperti bait Joko Pinurbo
yang tak memaksa, tapi terasa dalam jeda.
"Keluargaku yang Cemara"
Kami tak pernah tumbuh di rumah luas,
tapi di bawah langit sederhana yang penuh kasih.
Ayah tak pandai berkata-kata,
namun diamnya penuh bahasa.
Cinta itu tak selalu lantang,
kadang ia hadir dalam tatapan atau peluh diam-diam.
Ibu menjahit pagi dengan sabar,
menanak harapan di balik aroma nasi.
Kadang kulihat ia termenung,
mungkin menggenggam doa yang lupa disampaikan
atau letih yang tertinggal di ubin ruang tamu.
Tak perlu kata-kata untuk mengerti lelahnya.
Kami bukan keluarga istimewa,
pernah limbung saat badai ekonomi datang.
Tapi kami belajar bertahan,
seperti dalam Hujan Bulan Juni,
angin boleh lewat, tapi akar saling menggenggam erat.
Malam jadi ruang ternyaman,
kami duduk bersama tanpa banyak bicara.
Kata orang, rumah adalah tempat pulang,
dan aku percaya:
meski kecil, rumah kami adalah puisi
yang terus ditulis dengan hati setiap hari.
"Sepi yang Tak Pernah Tidur"