Mohon tunggu...
Syifa Ann
Syifa Ann Mohon Tunggu... Penulis - Write read sleep

Alumni Sosiologi, Penyuka Puisi | Pecinta Buku Nonfiksi & Kisah Inspirasi. | Pengagum B.J Habibie. | Pengguna K'- Mobilian. | Addicted With Joe Sacco's Books. | Risk Taker. ¦ A Warrior Princess on Your Ground. | Feel The Fear, and Do It Anyway :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Supreet Kaur dan Cermin Besar untuk Layar Kaca Kita

12 April 2017   09:35 Diperbarui: 10 November 2017   12:54 1055
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Supreet Kaur,Dok Fauzan Hilmi, Bbc Indonesia

Supreet Kaur seorang pembaca berita di Paradesh India menuai pujian netizen dan menjadi viral setelah membacakan berita kecelakaan mobil yang ternyata suaminya menjadi salah satu korban kecelakaan maut tersebut, menyadari bahwa suaminya menjadi korban, tangis Kaur tidak pecah di depan kamera, dia melanjutkan siarannya dengan tenang sampai akhir, karena sikap profesional dan ketegarannya, aksi Kaur tersebut banyak menuai pujian.

Meski kejadian tragis itu tejadi di India yang selama ini dikenal sebagai negeri drama yang mengharu-biru, nyatanya publik India serta dunia jurnalistiknya tak berlebihan mengekspose kejadian yang nyata-nyata sangat tragis seperti itu, apa lagi kejadian itu menimpa Supreet Kaur seorang pembaca berita, reporter senior yang cukup tersohor di negerinya. Di mana kabar duka yang menimpanya tersebut bisa punya nilai dramatis yang sangat tinggi di segala sisi.

Tapi nampaknya bagi publik dan media India, cerita duka Kaur cukup sampai di situ, penulis memantau sekilas melalui Tv kabel, terlihat bahwa dari pihak India IBC24 channel, stasiun TV tempat Kaur bekerja, maupun publik India tak ada ekspose berlebihan terhadap momen dramatis tersebut. Mereka sepertinya ingin membiarkan dunia tahu dan memuji ketegaran Kaur secara alami, tanpa harus menampilkan banyak drama atas momen yang sebenarnya sangat dramatis tersebut. Tanpa ekspose berlebihan, para kolega Kaur memberikan Kaur ruang untuk berduka secara pribadi, ruang untuk menata perasaan jauh dari sorot kamera.

Coba bayangkan jika kejadian serupa terjadi di Indonesia, seperti kebiasaan media kita, ketika ada kejadian dramatis atau heroik yang mengharu-biru, terlebih jika itu nyata, kebanyakan media di Indonesia pasti akan langsung berebut meminta waktu dengan orang-orang yang terlibat dalam kejadian tersebut. Jika saja Supreet Kaur tinggal di Indonesia dan mengalami kejadian dramatis tersebut di lingkungan permediaan di Indonesia, saya berani taruhan, Kaur pasti sudah kebanjiran job dan tawaran wawancara bahkan mungkin akan mendapat tawaran main sinetron, bahkan tawaran kontrak untuk acara sebelum pemakaman! Terlepas dari Kaur mau menerima tawaran tersebut atau tidak. 

Terlebih Kaur seorang pekerja media televisi. Industri media televisi khususnya di Indonesia, terkenal suka pada momen-momen drama, sekalipun dalam berita. Di Indonesia, kematian dan pemakaman orang terkenal dan keluarganya kerap kali menjadi 'kematian yang hidup'-- Kematian yang menghidupi dan memberi nafas segar dan umpan rating bagi Industri televisi. Untuk hal ini, Syukurlah Sapreet kaur tidak tinggal dan hidup di Indonesia!

Supreet Kaur dan dua Insiden Media di Indonesia

Menengok ke negeri kita, dari Indonesia rekan seprofesi Kaur yang juga pernah mengalami kejadian tragis ketika bertugas adalah Meutya Hafidz ex reporter Metro TV dan Najwa Shihab yang sampai saat ini masih menjadi jurnalis Metro TV, tahun 2004, ketika bencana gempa dan Tsunami melanda Aceh tahun 2004 silam, Najwa Shihab melakukan salah satu liputan paling emosional terkait bencana saat itu. Di depan kamera, Najwa tak kuasa membendung air matanya menyaksikan kedashyatan dampak gelombang Tsunami.

Ia melakukan reportase sambil menangis-- Tangisan yang berhasil mengetuk simpati banyak orang saat itu, dan kemudian menjadi salah satu insiden jurnalitik paling dikenang setidaknya di dalam buku-buku kuliah komunikasi. Juga setiap ada peringatan mengenang Tsunami Aceh yang disiarkan Metro TV, pasti video liputan air mata Najwa Shihab tersebut tak luput ditayangkan oleh Metro TV. Ya publik memang kagum dengan kecakapan jurnalistik dan empati Najwa Shihab saat itu, tapi kiranya mengulang-ulang konten berisi kedukaan meskipun ada momennya merupakan sesuatu yang kurang etis.

Najwa Shihab menangis emosional saat meliput bencana Tsunami Aceh 26 Desember 2004 Dok Metro Tv / Arsip KPI Pusat
Najwa Shihab menangis emosional saat meliput bencana Tsunami Aceh 26 Desember 2004 Dok Metro Tv / Arsip KPI Pusat
**
Kembali jurnalis dan Insiden, tanggal 15 Febuari tahun 2005 silam, kejadian nahas menimpa Meutya Hafidz dan Budianto yang saat itu berstatus sebagai reporter dan kameramen Metro TV. Mereka ditugaskan ke Irak untuk meliput pemilu di sana saat itu, lalu kemudian diculik dan disandra kelompok Mujahidin Irak selama 168 jam atau sekitar 8 hari. Setelah mereka dibebaskan, kliping berita tentang penyandraan mereka diramu menjadi sebuah program khusus oleh Metro TV bertajuk 168 jam dalam Sandera, yang kemudian kisah tersebut juga dibukukan dengan judul serupa di tahun 2007 silam.

**
Supreet Kaur dan Cermin Jurnalisme dari India

Di Indonesia kabar duka lekat dengan sensasi dan dramatisasi. Pasti ada sisi drama yang bisa digali bagi nafas industri televisi sekalipun dalam berita! Sepertinya pada titik ini, dunia media Indonesia perlu berkaca dan belajar jurnalisme serta empati dari India. Bahwa negeri yang penuh drama sekalipun masih mengerti batas dan tahu caranya memanusiakan orang yang sedang berduka, setidaknya dengan mencukupkan kisah Kaur cukup sebatas berita, bukan duka kamera yang berbalut drama untuk konsumsi pemirsa.

Salam Tv Sehat!

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun