Kebebasan berekspresi, sebagai hak setiap rakyat Indonesia sebagai dasar dan
esensi dari masyarakat yang tinggal di negara demokrasi, secara teorinya
memuat dua hal yang kompleks: ia berfungsi sebagai pemicu bagi kemajuan
sosial dan pengetahuan, tetapi juga berpotensi menjadi ruang penyebaran
disinformasi dan intoleransi. Hal ini menciptakan ketegangan yang
mendalam, di mana interpretasi terhadap hak ini sangat bergantung pada
posisi pihak yang bersangkutan. Pemerintah cenderung menimbang
kebebasan ini dalam kerangka formalitas dan ketertiban umum, sementara
mahasiswa dan aktivis HAM menjadikannya instrumen yang sangat penting
untuk mengkritik kekuasaan dan mendorong perubahan. Di tengah perbedaan
pandangan ini, tugas pengamat adalah menganalisis secara cermat dan
objektif bagaimana keberjalanan regulasi pada kebebasan berekspresi
membentuk lanskap sosial, politik, dan budaya.
Kebebasan berpendapat itu seperti dua sisi mata uang. Di satu sisi, hak ini
punya sisi positif yang sangat penting, terutama bagi pemerintah. Pemerintah
kita sudah punya dasar hukum yang kuat untuk menjamin kebebasan ini,
contohnya Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999. Aturan-
aturan ini dibuat supaya setiap warga negara bisa menyampaikan
pendapatnya tanpa takut. Namun, sering kali muncul pertanyaan: seberapa
jauh aturan ini benar-benar bisa dijalankan di dunia nyata?
Di sisi lain, ada juga sisi negatif yang sering dirasakan oleh masyarakat,
khususnya para mahasiswa. Mereka seringkali bersikap sangat kritis terhadap
kebijakan pemerintah, seperti yang terlihat dalam demo-demo yang
belakangan ini terjadi. Masyarakat merasa sudah menyampaikan aspirasi
mereka, tapi sayangnya, pemerintah kadang terkesan bungkam dan tidak
memberi respons yang jelas. Hal ini membuat banyak orang jadi skeptis dan
ragu pada kredibilitas pemerintah, apalagi jika ada kasus-kasus serius seperti
hilangnya aktivis. Dalam negara yang menganut demokrasi "dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat," batasan berpendapat ini seharusnya bisa jadi bahan
diskusi, bukan malah dianggap sepele.
Di tengah semua itu, kita juga harus mengakui satu hal. Meskipun banyak
suara yang tulus, ada juga sebagian oknum yang memanfaatkan demo atau
momen kritis ini untuk kepentingan pribadi. Ini jadi tantangan besar karenakualitas sumber daya manusia (SDM) di Indonesia masih perlu ditingkatkan,
sehingga mudah disusupi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Dari pembahasan di atas, bisa kita tarik satu benang merah. Kebebasan
berpendapat di Indonesia itu ibarat pisau bermata dua. Secara legal, kita
punya landasan yang kuat seperti UUD 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999 yang
melindungi hak kita. Ini menunjukkan bahwa secara aturan, pemerintah
mendukung kebebasan bersuara. Namun, dalam praktiknya, sering kali kita
melihat ada gap. Ketika masyarakat, terutama mahasiswa, menyampaikan
kritik, respons dari pemerintah kadang terasa lambat atau bahkan tidak ada.
Hal ini yang membuat banyak orang jadi pesimis atau skeptis. Ditambah lagi
dengan kasus-kasus yang sensitif, seperti hilangnya aktivis, yang makin
mengikis kepercayaan.
Di sisi lain, masalah ini bukan hanya salah pemerintah saja. Kita sebagai
masyarakat juga punya PR besar. Ada saja oknum yang memanfaatkan
momen-momen demo untuk tujuan lain, bukan murni untuk kepentingan
rakyat. Ini menunjukkan bahwa kualitas SDM kita masih perlu ditingkatkan
agar tidak mudah disusupi. Jadi, kebebasan berpendapat itu bukan cuma soal
aturan atau pemerintah, tapi juga soal kesadaran dan kualitas kita sebagai
masyarakat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI