Mohon tunggu...
Muhammad Fadlan
Muhammad Fadlan Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Hukum

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pembatasan kebebasan berekspresi harus didukung demi menjaga ketertiban dan keberlangsungan demokrasi.

5 Agustus 2025   22:13 Diperbarui: 5 Agustus 2025   22:13 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kebebasan berekspresi, sebagai hak setiap rakyat Indonesia sebagai dasar dan

esensi dari masyarakat yang tinggal di negara demokrasi, secara teorinya

memuat dua hal yang kompleks: ia berfungsi sebagai pemicu bagi kemajuan

sosial dan pengetahuan, tetapi juga berpotensi menjadi ruang penyebaran

disinformasi dan intoleransi. Hal ini menciptakan ketegangan yang

mendalam, di mana interpretasi terhadap hak ini sangat bergantung pada

posisi pihak yang bersangkutan. Pemerintah cenderung menimbang

kebebasan ini dalam kerangka formalitas dan ketertiban umum, sementara

mahasiswa dan aktivis HAM menjadikannya instrumen yang sangat penting

untuk mengkritik kekuasaan dan mendorong perubahan. Di tengah perbedaan

pandangan ini, tugas pengamat adalah menganalisis secara cermat dan

objektif bagaimana keberjalanan regulasi pada kebebasan berekspresi

membentuk lanskap sosial, politik, dan budaya.

Kebebasan berpendapat itu seperti dua sisi mata uang. Di satu sisi, hak ini

punya sisi positif yang sangat penting, terutama bagi pemerintah. Pemerintah

kita sudah punya dasar hukum yang kuat untuk menjamin kebebasan ini,

contohnya Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999. Aturan-

aturan ini dibuat supaya setiap warga negara bisa menyampaikan

pendapatnya tanpa takut. Namun, sering kali muncul pertanyaan: seberapa

jauh aturan ini benar-benar bisa dijalankan di dunia nyata?

Di sisi lain, ada juga sisi negatif yang sering dirasakan oleh masyarakat,

khususnya para mahasiswa. Mereka seringkali bersikap sangat kritis terhadap

kebijakan pemerintah, seperti yang terlihat dalam demo-demo yang

belakangan ini terjadi. Masyarakat merasa sudah menyampaikan aspirasi

mereka, tapi sayangnya, pemerintah kadang terkesan bungkam dan tidak

memberi respons yang jelas. Hal ini membuat banyak orang jadi skeptis dan

ragu pada kredibilitas pemerintah, apalagi jika ada kasus-kasus serius seperti

hilangnya aktivis. Dalam negara yang menganut demokrasi "dari rakyat, oleh

rakyat, dan untuk rakyat," batasan berpendapat ini seharusnya bisa jadi bahan

diskusi, bukan malah dianggap sepele.

Di tengah semua itu, kita juga harus mengakui satu hal. Meskipun banyak

suara yang tulus, ada juga sebagian oknum yang memanfaatkan demo atau

momen kritis ini untuk kepentingan pribadi. Ini jadi tantangan besar karenakualitas sumber daya manusia (SDM) di Indonesia masih perlu ditingkatkan,

sehingga mudah disusupi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Dari pembahasan di atas, bisa kita tarik satu benang merah. Kebebasan

berpendapat di Indonesia itu ibarat pisau bermata dua. Secara legal, kita

punya landasan yang kuat seperti UUD 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999 yang

melindungi hak kita. Ini menunjukkan bahwa secara aturan, pemerintah

mendukung kebebasan bersuara. Namun, dalam praktiknya, sering kali kita

melihat ada gap. Ketika masyarakat, terutama mahasiswa, menyampaikan

kritik, respons dari pemerintah kadang terasa lambat atau bahkan tidak ada.

Hal ini yang membuat banyak orang jadi pesimis atau skeptis. Ditambah lagi

dengan kasus-kasus yang sensitif, seperti hilangnya aktivis, yang makin

mengikis kepercayaan.

Di sisi lain, masalah ini bukan hanya salah pemerintah saja. Kita sebagai

masyarakat juga punya PR besar. Ada saja oknum yang memanfaatkan

momen-momen demo untuk tujuan lain, bukan murni untuk kepentingan

rakyat. Ini menunjukkan bahwa kualitas SDM kita masih perlu ditingkatkan

agar tidak mudah disusupi. Jadi, kebebasan berpendapat itu bukan cuma soal

aturan atau pemerintah, tapi juga soal kesadaran dan kualitas kita sebagai

masyarakat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun