Ketika kita mendengar kata adab, pikiran kita biasanya langsung tertuju pada sopan santun, etika, dan moralitas. Namun, dalam khazanah Arab klasik, kata ini ternyata menyimpan perjalanan sejarah yang panjang dan kaya makna. Sejak masa pra-Islam hingga periode kejayaan Islam, kata al-adab tidak pernah berhenti berkembang, bertransformasi dari sekadar istilah sederhana menjadi konsep yang mewakili peradaban. Inilah yang menjadikan al-adab menarik untuk dikaji: ia bukan sekadar istilah bahasa, melainkan potret dinamika intelektual bangsa Arab.
Pada masa sebelum Islam, kata adab memiliki arti yang berbeda dengan yang kita kenal sekarang. Orang Arab kala itu menggunakan istilah ini untuk menunjuk pada "ajakan kepada sesuatu," seperti dalam ungkapan adaba ar-rajul ya'dibu adban, yakni seseorang mengundang orang lain kepada suatu perbuatan. Dalam konteks lain, adab juga bisa bermakna "kekaguman" atau "keindahan" yang menimbulkan rasa takjub. Bahkan, ia juga disematkan pada budi pekerti dan keutamaan moral. Tidak heran, hadis Nabi Muhammad yang terkenal berbunyi, "Addabanii Rabbi fa ahsana ta'dibii" (Tuhanku telah mendidikku dengan sebaik-baik pendidikan), menguatkan pemahaman bahwa adab memang berakar pada pembentukan kepribadian yang luhur.
Namun, memasuki era Islam, makna kata adab mengalami perluasan. Ia tidak lagi hanya identik dengan moral, tetapi juga mencakup himpunan ilmu pengetahuan yang membentuk khazanah Arab, seperti syair, sejarah, silsilah, dan tata bahasa. Orang yang menguasai bidang ini disebut adb, sementara yang mengajarkannya disebut mu'addib. Pergeseran ini menunjukkan bahwa adab bukan lagi semata-mata soal budi pekerti, melainkan juga identitas intelektual.
Para ulama bahasa seperti Abu Mansur al-Jawaliqi menegaskan bahwa perkembangan ini adalah hasil dari lahirnya ilmu-ilmu baru dalam Islam. Beliau menjelaskan bahwa kata adab bisa berasal dari "al-'ajab" (kekaguman) maupun dari "adaba" (mengundang). Jika ia berasal dari "kekaguman," maka adab berarti sesuatu yang indah sehingga orang terpikat padanya. Namun jika ia dari "ajakan," maka adab bermakna ajakan kepada kebaikan dan penolakan terhadap kebodohan. Dengan kata lain, kata adab mengandung perpaduan antara daya tarik estetis sekaligus dorongan etis.
Transformasi ini membuat adab memiliki dua wajah yang saling melengkapi: adab an-nafs (etika jiwa) dan adab ad-dars (etika keilmuan). Keduanya berjalan seiring, saling memperkuat. Seseorang yang memiliki adab an-nafs akan terdorong untuk menuntut ilmu, sementara penguasaan adab ad-dars akan memperhalus kepribadian seseorang. Inilah yang menjadikan konsep adab sangat khas dalam tradisi Arab-Islam, karena ia tidak pernah memisahkan antara moralitas dan pengetahuan.
Ketika umat Islam memasuki era peradaban yang lebih maju, konsep adab semakin meluas. Ia mulai mencakup keterampilan praktis, seni pergaulan, hingga seni musik dan lagu. Tokoh seperti Abdullah bin Thahir bahkan menulis buku berjudul al-db ar-Raf'ah yang membahas seni jamuan. Demikian pula dengan sastrawan terkenal, Kushjim, yang menulis Adab an-Nadm, sebuah karya yang merangkum berbagai bentuk kesenian. Semua ini memperlihatkan bahwa adab telah menjelma menjadi payung besar bagi segala sesuatu yang bernilai indah, berfaedah, dan memuliakan manusia.
Puncaknya, Ibn Khaldn mendefinisikan adab sebagai "menghafal syair-syair Arab, pengetahuan tentang sejarah mereka, serta mengambil bagian dari setiap cabang ilmu." Definisi ini menegaskan bahwa seorang adb sejati bukan hanya penguasa bahasa, tetapi juga seorang intelektual yang berwawasan luas. Tidak heran jika dalam tradisi Arab, seorang sastrawan tidak cukup hanya piawai menulis indah, tetapi juga harus menguasai cabang ilmu lain agar tidak terjebak dalam kekeliruan.
Dengan demikian, al-adab telah menempuh jalan panjang: dari akhlak ke ilmu, dari moral ke intelektualitas, dari pribadi ke peradaban. Membicarakan adab berarti membicarakan inti dari kebudayaan Arab-Islam itu sendiri. Di sinilah letak keunikan sekaligus relevansi konsep ini untuk zaman sekarang: ia mengajarkan kita bahwa ilmu pengetahuan tanpa moral adalah kering, sementara moral tanpa ilmu adalah rapuh.
Ilmu-Ilmu Adab: Pilar Utama dalam Membentuk Kepribadian dan Keilmuan Seorang Adb
Perjalanan makna kata adab dalam khazanah Arab telah melewati perkembangan yang panjang. Dari sekadar bermakna sopan santun dan etika, ia kemudian meluas hingga mencakup bidang keilmuan yang membentuk tradisi keilmuan Islam klasik. Pada titik ini, adab tidak hanya menjadi ukuran kemuliaan akhlak, melainkan juga menyatukan dimensi intelektual dan estetika. Dengan demikian, 'Ulum al-Adab atau "ilmu-ilmu adab" dipandang sebagai kumpulan pengetahuan yang berfungsi untuk memperhalus budi, memperindah bahasa, serta menajamkan daya pikir.
Menurut para ulama, seseorang tidak layak disebut adb jika tidak menguasai sejumlah cabang ilmu yang menjadi fondasi kesusastraan Arab. Inilah yang kemudian melahirkan perdebatan panjang tentang cabang-cabang ilmu apa saja yang termasuk ke dalam 'Ulum al-Adab. Perbedaan itu wajar terjadi, sebab tradisi keilmuan Arab-Islam terbentuk dalam lintasan ruang dan waktu yang sangat luas, dari Baghdad hingga Andalusia. Namun, ada satu hal yang disepakati: bahwa inti dari 'Ulm al-Adab adalah ilmu-ilmu yang terkait dengan bahasa dan ekspresi lisan maupun tulisan.