Migrasi: Antara Pilihan dan Keterpaksaan
Wendover menyatakan bahwa manusia berimigrasi ke kota karena alasan efisiensi. Namun, dalam konteks sejarah dan realitas Indonesia, alasan migrasi sering kali lebih rumit. Banyak orang yang berpindah bukan hanya karena kesempatan di kota lebih luas, tetapi juga karena kesulitan bertahan hidup di desa mereka.
Menurunnya kualitas lahan pertanian, kurangnya kesempatan kerja, serta akses pendidikan yang terbatas membuat banyak orang berusaha mencari peluang baru di perkotaan. Surabaya, sebagai contoh, menerima banyak migran dari Madura, Malang, Lamongan, dan wilayah lain. Kebanyakan dari mereka berprofesi di sektor informal seperti pedagang kaki lima, pekerja konstruksi, sopir angkot, atau pembantu rumah tangga.
Ini menunjukkan bahwa kota memang menawarkan potensi, tetapi tidak selalu dalam bentuk yang ideal. Banyak pendatang yang harus berusaha keras untuk dapat bertahan di tengah persaingan yang ketat. Inilah kenyataan sisi lain dari kota yang tidak sering terungkap dalam narasi "efisiensi" yang terlalu sederhana.
Hirarki Kota dan Tantangan Perencanaan
Jika kita merujuk pada Hukum Zipf, dapat kita lihat bahwa perkotaan memiliki struktur hierarkis yang sulit untuk diubah. Jakarta dan Surabaya akan tetap menjadi pusat utama, sementara kota-kota kecil berfungsi sebagai pendukung.
Terkait dengan Surabaya, konsep Gerbangkertosusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan) sebenarnya dibuat untuk mendistribusikan beban kota. Tujuannya adalah agar kegiatan ekonomi tidak hanya terpusat di Surabaya, melainkan juga merata di area sekitarnya. Akan tetapi, faktanya Surabaya tetap menjadi pusat utama, sedangkan kota-kota satelit hanya berfungsi sebagai kawasan industri atau tempat tinggal tanpa adanya daya tarik budaya dan ekonomi yang mandiri.
Situasi ini menghadirkan tantangan besar dalam perencanaan kota: bagaimana menciptakan keseimbangan antarwilayah agar pertumbuhan tidak terakumulasi di satu tempat? Tanpa langkah tersebut, kota bisa terlalu padat, sementara daerah lain justru tertinggal.
Kota sebagai Mesin Kekayaan dan Ketimpangan
Kota memang memiliki efisiensi dalam menciptakan kekayaan. Infrastruktur, teknologi, dan sumber daya manusia berfokus di satu area, yang mempercepat pertumbuhan ekonomi. Namun, muncul pertanyaan penting: siapa yang benar-benar menikmati hasil dari kekayaan tersebut?
Di Surabaya, kita bisa melihat kontras yang jelas. Di satu sisi, terdapat pusat bisnis yang megah seperti Tunjungan Plaza, gedung tinggi, dan hotel berbintang. Di sisi lain, banyak perkampungan padat dengan rumah sempit dan pekerja informal yang berjuang keras untuk bertahan. Fenomena ini menunjukkan bahwa kota bukan hanya tempat yang efisien, tetapi juga menjadi arena ketimpangan.