Mohon tunggu...
Syarifatul Fitriyah
Syarifatul Fitriyah Mohon Tunggu... Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Saya adalah mahasiswa UINSA jurusan Ilmu Ekonomi yang ingin mendalami dunia kepenulisan dan bidang ekonomi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kenapa Kota Tak Bisa Dihindari? Jawabannya Mengejutkan!

20 Agustus 2025   21:57 Diperbarui: 20 Agustus 2025   21:53 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Jika Anda ditanya, apa yang muncul dalam benak Anda saat mendengar istilah kota? Mungkin sebagian dari Anda langsung berpikir tentang gedung-gedung pencakar langit, kemacetan di jalan, atau mal yang megah. Namun, apakah Anda sadar bahwa ada alasan fundamental mengapa manusia tampaknya tidak bisa lepas dari kehidupan kota? Jawabannya sebenarnya cukup mengejutkan, bahkan lebih kompleks daripada sekadar keramaian yang kita amati setiap hari. Kota bukan sekadar kumpulan fisik berupa gedung-gedung tinggi, jalanan, dan keramaian. Kota merupakan hasil dari interaksi yang panjang antara sejarah, ekonomi, teknologi, dan budaya.

Sebuah video dari Wendover Productions yang berjudul "Mengapa Kota Ada" berusaha menjelaskan hal ini. Kota ada karena efisiensi. Ketika orang-orang berkumpul di satu tempat, interaksi menjadi lebih mudah, biaya berkurang, dan produktivitas meningkat. Namun, apakah itu sesederhana yang terlihat? Bagaimana jika alasan kemunculan kota juga berkaitan dengan ketidaksetaraan, migrasi yang tidak diinginkan, serta kebijakan yang mendorong orang untuk "berkumpul" di lokasi tertentu?

Artikel ini akan merangkum isi dari video tersebut serta menghubungkannya dengan kenyataan kota di Indonesia, terutama Surabaya, sebagai salah satu kota terbesar yang mencerminkan dinamika urbanisasi di negara ini.

Kota dan Hukum Zipf

Salah satu konsep penting yang dikemukakan oleh Wendover adalah Hukum Zipf. Hukum ini menyatakan bahwa ukuran kota dalam suatu negara biasanya mengikuti pola tertentu: populasi kota kedua kerap kali separuh dari kota pertama, kota ketiga satu per tiga, dan seterusnya. Pola ini tidak hanya berlaku di Amerika atau Eropa, tetapi juga di Indonesia.

Jakarta adalah kota terbesar dengan lebih dari 10 juta penduduk, diikuti oleh Surabaya yang memiliki 3 juta jiwa di pusat kota, bahkan mencapai 8 juta jika termasuk metropolitan Gerbangkertosusila. Ada juga Bandung, Medan, Semarang, dan sejumlah kota lainnya. Secara alami, struktur ini menunjukkan bahwa perkembangan kota tidak terjadi secara acak, melainkan berdasarkan pola hierarkis yang telah teruji secara statistik.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena manusia secara alami mencari efisiensi. Tinggal dekat dengan pusat kegiatan ekonomi, pelabuhan, atau pasar membuat biaya transportasi dan komunikasi lebih rendah. Semakin banyak orang berkumpul, semakin besar peluang terciptanya lapangan kerja, perdagangan, dan inovasi. Kota menjadi daya tarik yang sulit dihindari.

Surabaya: Daya Tarik Efisiensi

Melihat Surabaya, kita dapat menemukan bukti nyata dari teori tersebut. Sebagai kota terbesar kedua di Indonesia, Surabaya berkembang menjadi pusat perdagangan, jasa, dan industri. Pelabuhan Tanjung Perak menghubungkan bagian timur dan barat Indonesia, menjadikannya salah satu titik distribusi barang paling penting di Nusantara.

Kota ini juga dikelilingi oleh kawasan industri besar di Gresik, Sidoarjo, dan Pasuruan. Infrastruktur seperti jalan tol, jalur kereta api, dan Bandara Juanda semakin memperkuat Surabaya sebagai pusat logistik dan bisnis. Tidak mengherankan jika banyak orang dari berbagai daerah di Jawa Timur memilih Surabaya sebagai tempat merantau. Mereka meyakini bahwa kota ini menawarkan peluang lebih besar ketimbang tinggal di desa.

Namun, di balik efisiensi ini, Surabaya juga menghadapi berbagai tantangan besar: kemacetan, polusi, kawasan padat penduduk, dan ketimpangan sosial. Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun efisiensi ekonomi menjadikan kota tak terhindarkan, biaya yang harus dibayarkan juga cukup tinggi.

Migrasi: Antara Pilihan dan Keterpaksaan

Wendover menyatakan bahwa manusia berimigrasi ke kota karena alasan efisiensi. Namun, dalam konteks sejarah dan realitas Indonesia, alasan migrasi sering kali lebih rumit. Banyak orang yang berpindah bukan hanya karena kesempatan di kota lebih luas, tetapi juga karena kesulitan bertahan hidup di desa mereka.

Menurunnya kualitas lahan pertanian, kurangnya kesempatan kerja, serta akses pendidikan yang terbatas membuat banyak orang berusaha mencari peluang baru di perkotaan. Surabaya, sebagai contoh, menerima banyak migran dari Madura, Malang, Lamongan, dan wilayah lain. Kebanyakan dari mereka berprofesi di sektor informal seperti pedagang kaki lima, pekerja konstruksi, sopir angkot, atau pembantu rumah tangga.

Ini menunjukkan bahwa kota memang menawarkan potensi, tetapi tidak selalu dalam bentuk yang ideal. Banyak pendatang yang harus berusaha keras untuk dapat bertahan di tengah persaingan yang ketat. Inilah kenyataan sisi lain dari kota yang tidak sering terungkap dalam narasi "efisiensi" yang terlalu sederhana.

Hirarki Kota dan Tantangan Perencanaan

Jika kita merujuk pada Hukum Zipf, dapat kita lihat bahwa perkotaan memiliki struktur hierarkis yang sulit untuk diubah. Jakarta dan Surabaya akan tetap menjadi pusat utama, sementara kota-kota kecil berfungsi sebagai pendukung.

Terkait dengan Surabaya, konsep Gerbangkertosusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan) sebenarnya dibuat untuk mendistribusikan beban kota. Tujuannya adalah agar kegiatan ekonomi tidak hanya terpusat di Surabaya, melainkan juga merata di area sekitarnya. Akan tetapi, faktanya Surabaya tetap menjadi pusat utama, sedangkan kota-kota satelit hanya berfungsi sebagai kawasan industri atau tempat tinggal tanpa adanya daya tarik budaya dan ekonomi yang mandiri.

Situasi ini menghadirkan tantangan besar dalam perencanaan kota: bagaimana menciptakan keseimbangan antarwilayah agar pertumbuhan tidak terakumulasi di satu tempat? Tanpa langkah tersebut, kota bisa terlalu padat, sementara daerah lain justru tertinggal.

Kota sebagai Mesin Kekayaan dan Ketimpangan

Kota memang memiliki efisiensi dalam menciptakan kekayaan. Infrastruktur, teknologi, dan sumber daya manusia berfokus di satu area, yang mempercepat pertumbuhan ekonomi. Namun, muncul pertanyaan penting: siapa yang benar-benar menikmati hasil dari kekayaan tersebut?

Di Surabaya, kita bisa melihat kontras yang jelas. Di satu sisi, terdapat pusat bisnis yang megah seperti Tunjungan Plaza, gedung tinggi, dan hotel berbintang. Di sisi lain, banyak perkampungan padat dengan rumah sempit dan pekerja informal yang berjuang keras untuk bertahan. Fenomena ini menunjukkan bahwa kota bukan hanya tempat yang efisien, tetapi juga menjadi arena ketimpangan.

Jika kota dibiarkan menjadi mesin pertumbuhan ekonomi tanpa mempertimbangkan aspek keadilan sosial, maka akan berakibat pada jarak antara orang kaya dan orang miskin. Kota bisa menjadi "ladang emas" bagi sebagian orang, sementara bagi yang lain justru menjadi "jebakan kemiskinan. "

Penutup: Kota, Efisiensi, dan Masa Depan

Mengapa keberadaan kota tidak bisa dihindari? Karena kota terbukti efisien, produktif, dan menjadi pusat inovasi. Sejarah mencatat bahwa manusia cenderung mencari tempat yang memudahkan kehidupannya. Surabaya merupakan contoh nyata bagaimana efisiensi telah mendorong pertumbuhan kota dan menarik jutaan orang.

Namun, kota bukanlah solusi yang sempurna. Di balik keindahannya, kota juga menghadapi tantangan seperti kepadatan, polusi, ketimpangan sosial, dan ketidakadilan. Oleh karena itu, memahami alasan keberadaan kota bukanlah akhir dari pembicaraan. Sebaliknya, dengan pemahaman tersebut, kita dapat membangun kota yang lebih manusiawi---bukan hanya efisien dari segi ekonomi, tetapi juga adil dan berkelanjutan.

Dengan demikian, jawaban yang mengejutkan adalah bahwa kota tidak bisa dihindari. Namun, cara kota dikelola adalah faktor penentu apakah ia menjadi tempat yang layak huni bagi semua orang, atau hanya untuk sekelompok kecil.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun