Mohon tunggu...
M Syarbani Haira
M Syarbani Haira Mohon Tunggu... Jurnalis - Berkarya untuk Bangsa

Pekerja sosial, pernah nyantri di UGM, peneliti demografi dan lingkungan, ngabdi di Universitas NU Kal-Sel

Selanjutnya

Tutup

Nature

Kebakaran Hutan, Ayo Salahkan Jokowi

11 September 2019   09:41 Diperbarui: 11 September 2019   09:47 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Kabut Asap Karhutla di Riau Makin Parah" demikian judul berita Kompas.Com, Senin, 09 September. Sedikitnya ada 289 titik panas, berita Kompas.Com. Mengutip Data Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Pekanbaru, keadaan ini menyebabkan kabut  asap kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) semakin parah menyelimuti sejumlah wilayah. 

Secara keseluruhan wilayah Sumatera, sedikitnya ada 1.278 titik panas terdeteksi. Prakirawan BMKG Stasiun Pekanbaru Gita Dewi Siregar menyebutkan, titik hotspot terbanyak ada di Jambi (504 titik), Sumsel 332 titik, dan Riau ada 289 titik.

Untuk kawasan Riau ada 4 titik wilayah yang dilanda kabut asap, yakni Kota Pekanbaru, dengan jarak pandang 2 kilometer. Kota Pelalawan, Kota Dumai dan Indragiri Hulu (Inhu), masing-masing dengan jarak pandang 3 kilometer. 

Berdasar pantauan Kompas.Com, kabut asap sangat pekat menyelimuti Kota Pekanbaru. Kabut ini sangat mengganggu pernafasan, dikarenakan oleh udara yang tak sehat.

Banyak dampak lain akibat kabut ini, seperti terganggungnya dunia penerbangan, sekolah, perkantoran, ekonomi bisnis, dan ln sebagainya. Melihat keadaan tersebut, kembali muncul kritik tentang kegagalan pemerintah dalam menganggulangi kebakaran hutan dan lahan.  Tak hanya itu, kritik yang berkembang langsung ke titik sentral, Presiden RI Joko Widodo. 

Seperti yang terjadi tahun lalu misalnya, yang kebetulan negeri ini sedang ramai-ramainya kampanya Pilpres, tokoh adat Melayu Riau, Letjen TNI Purn Syarwan Hamid, bersuara lantang mengkritik Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau yang dinilainya sudah menyimpang dari tradisi adat Melayu yang menjunjung tinggi musyawarah dalam memutuskan sesuatu. 

Tak hanya itu, ia pun datang ke markaz LAM Riau, hanya sekadar untuk mengembalikan Gelar Datuk yang sudah diberikan kepadanya. Langkah ini dilakukan Jenderal berbintang tiga tersebut, karena LAM Riau dinilainya telah keliru memberikan gelar adat kepada Jokowi. 

Menurut Dokument BeritaSatu TV 04 Desember2018, pemberian gelar Datuk oleh LAM Riau kepada Jokowi, antaranya karena presiden asal Solo itu sukses membebaskan Riau dari asap. Kini, bersamaan dengan meningkatnya kabut asap di kawasan Riau dan sekitarnya, kembali Jokowi yang disalahkan. Jokowi ternyata tak mampu mengatasi Karhutla, hingga asap Riau kini semakin parah.

Masalah Sudut Pandang 

Sesungguhnya sah-sah saja jika ada orang yang punya kesimpulan, bila melihat seorang anak terjerambab narkoba, maka yang disalahkan adalah orang tuanya, khususnya bapaknya. Atau jika ada murid SD terpapar game android, lantas gurunya, atau kepala sekolahnya yang disalahkan. Begitu juga jika ada mahasiswa yang DO, maka dosen pembimbing, Dekan, atau Rektor yang salah. Atau jika ada jamaah pengajian masih berbuat munkar, maka ustadznya yang disalahkan. Tetapi tentu akan ada protes, jika ada ummat Islam korupsi, lantas Nabi Muhammad SAW yang disalahkan. Atau jika ada jemaat Kristiani yang murtad, lantas Tuhan Yesus yang salah. 

Dalam kaitan ini, rekan-rekan akademisi yang mengkaji studi kebijakan publik barangkali bisa sumbang saran, menurut teori dan telaahan mereka masing-masing. Rumus Ilmu Logika (Ilmu Mantiq) yang dulu pernah diajarkan saat studi akademik, agaknya masih relevan. Jika ada rumus berbunyi : "Si A itu Koruptor / Koruptor itu Manusia / Maka semua koruptor itu Manusi" akan berbanding terbalik dengan rumus serupa : "Manusia ituvhamba Tuhan / Manusia itu jujur / Maka Semua Hamba Tuhan itu Jujur". 

Taruhlah tahun 2018 (dalam hitungan subyektif) menjelang pilpres, Jokowi berhasil mengatasi kabut asap. Kini 2019, setelah Jokowi terpilih kembali menjadi Presiden RI masa bhakti 2019 -- 2024, karhutla malah semakin parah. Lantas, haruskah Jokowi ramai-ramai dipersalahkan? Boleh-boleh  saja sudut pandang ini dilontarkan, dituduhkan, dialamatkan, bahkan disimpulkan. 

Karena itu masih ukuran subyektif, yang sebagian di antaranya, didasari oleh faktor ketidak-sukaan. Mirip-mirip seorang dosen, yang memilih mengorbankan mahasiswanya, hanya karena adanya persaingan dalam memikat hati seorang mahasiswi. Mirip-mirip juga dengan Galileo, yang pada zamannya harus menerima hukuman, karena berbeda sudut pandang tentang bentuk bumi dengan kaum ilmuan agamawan.     

Kebakaran di Amazon, Brazil dan AS

Khusus terkait dengan kebakaran hutan dan lahan ini, ada baiknya kita belajar jernih, dengan mengamati fenomena kebakaran di kawasan Amazon. Data menunjukkan, kebakaran hutan Amazon tahun ini lebih parah ketimbang tahun sebelumnya. Padahal hutan hujan Amazon ini, yang melingkupi 9 negara di kawasan Amerika Latin. Kawasan ini dijuluki sebagai paru-paru dunia, karena dari kawasan ini cadangan oksigen yang dihirup manusia, tak kurang dari 20 % sumbangannya bagi dunia.

Kebakaran hutan Amazon berdampak buruk bagi perubahan iklim dunia. Maka itu, kaum yang care dengan kawasan ini ramai-ramai mengkampanyekan tanda pagar (tagar) #SaveAmazon. 

Tagar ini kini masuk dalam daftar trend topik tertinggi di berbagai platform media sosial, yang bisa disimpulkan bahwa hari ini kebakaran hutan Amazom sudah menjuruh ke arah krisis dunia global. Tak heran, jika Presiden Prancis, Emmanuel Macron, dalam pertemuan Forum G-7 menyatakan, agar dunia tak boleh tinggal diam atas kebakaran yang sedang melanda Amazon. 

Menurut catatan Institut Nasional untuk Penelitian Luar Angkasa (INPE), kebakaran hutan Amazon tahun ini terparah sejak 2013. Kerusakannya meningkat hingga 80 persen. 

Hingga minggu ke-3 Agustus lalu, tak kurang dari 72.843 kebakaran terjadi di Brazil tahun ini.  Akibat kejadian ini , banyak spekulasi yang berkembang. Salah satunya tudingan buruk kepada Bolsonaro, Presiden Brazil. Kebakaran Amazon menutup kabut sebagian negara tetangga, seperti Peru, Bolivia dan Paraguay. 

Kasus kebakaran hutan seperti ini juga terjadi di kawasan hutan Amerika Serikat, khususnya California. Menurut catatan, kejadian tahun lalu merupakan kebakaran hutan yang terparah. Akibat kebakaran ini ada puluhan warga AS meninggal dan ratusan orang dinyatakan hilang. Tentu tak bisa dihitung kerugian ekonomi, moril dan material.    

Fenomena ini, kembali pada sistem kajian Kebijakan Publik. Secara subyektif bisa saja Presiden Brazil Jair Bolsonaro, Presiden AS Donald Trump, atau Presiden Jokowi dipersalahkan ramai-ramai.

 Tetapi menjadi ironis jika semua kejadian, bencana, langsung top leader-nya yang dituding. Bahwa ada manajemen yang keliru, salah kaprah, dalam berbagai uji coba pembangunan, memang iya. Tetapi faktor publik dan alam pun menjadi urgent untuk dikaji. 

Tradisi warga yang (kadang) buruk dalam memelihara lingkungan menjadi salah satu penyebab, termasuk tradisi membakar lahan sebagai upaya untuk menyuburkan, atau karena ambisi manusia untuk memanfaatkan alam lingkungan secara ekstra berlebih-lebihan. Eksploitasi sumber daya alam, nyatanya menjadi diterminant dalam kaitan kerusakan bumi ini.

 Akhirnya kembali pada kita semua, dan sudut pandang kita, untuk membangun karakter bangsa, mampu berpikir obyektif rasional. Menilai apa yang telah terjadi, dan apa yang sudah kita lakukan sebagai anak bangsa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun