Mohon tunggu...
M Syarbani Haira
M Syarbani Haira Mohon Tunggu... Jurnalis - Berkarya untuk Bangsa

Pekerja sosial, pernah nyantri di UGM, peneliti demografi dan lingkungan, ngabdi di Universitas NU Kal-Sel

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Korea dan Perdamaian Dunia

6 Mei 2018   00:07 Diperbarui: 6 Mei 2018   00:14 867
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
AFP/Korea Summit Press Pool

Oleh : M Syarbani Haira

BERITA headline Harian Banjarmasin Post Sabtu, 28 April lalu, menempatkan foto Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un dan Presiden Korea Selatan Moon Jae-in bergandeng tangan dengan mesranya. 

Sehari sebelumnya, melalui layar kaca, semua orang dari seluruh penjuru dunia, begitu terpukau oleh penampilan Kim Jong Un yang gagah berani berjalan kaki, sendirian (sekitar 200 meter), sehingga memasuki babak baru dalam sejarah hubungan kedua negara, di mana untuk yang pertama kalinya pimpinan Korea Utara menginjakkan kaki di kawasan demarkasi Korea Selatan, pasca Perang Korea tahun 1950 -- 1953.

Kantor Berita AFP melaporkan suasana psikologis dalam diri Kim Jong Un saat proses pertemuan pemimpin kedua negara itu bertemu. "Saya berjalan sekitar 200 meter, dibanjiri dengan emosi" ucap Kim. Meski begitu Kim merasa mudah melakukannya. Ia nampak menyesal, kenapa baru sekarang dilakukan. Harusnya menurut Kim, kejadian seperti ini sudah dilakukan sejak 11 tahun yang lalu.

Ya, seperti diketahui, pasca Perang Korea antara tahun 1950 -- 1953 itu, total ada 3 kali pertemuan antara pemimpin kedua negara tersebut. Pertama tahun 2000, kedua tahun 2007, dan yang kemarin (28 April) adalah yang ketiga. Tahun 2007, ayah Kim, Kim Jong Il, sempat melakukan pertemuan di Pyongyang. Sayangnya, pasca pertemuan itu hubungan kedua negara semakin memburuk, khususnya setelah pemerintahan konservatif  Korea Selatan mengumumkan akan memacu program nuklirnya, dan rudal balistiknya, yang kemudian dibalas oleh Korea Utara dengan sikap yang sama.

Sejak itu hubungan kedua negara terus memburuk. Korea Utara belakangan semakin menutup diri, dan kadang memperlihatkan sikap garangnya, persis seperti era sebelumnya. Sejumlah pemimpin dunia pun banyak yang kuatir melihat sikap keras Korea Utara tersebut, baik ketika Korea Utara dipimpin Kim senior, mau pun Kim yunior. Sementara Tiongkok, dan Rusia (penerus Uni Soviet) selalu mendorong Korea Utara untuk terus berulah, agar "musuh" bebuyutan mereka, Amerika Serikat, tak merasa sebagai penguasa dunia, seperti yang selalu diperlihatkannya.


Kejadian kemarin, oleh sejumlah pemimpin dunia, dianggap merupakan moment paling bersejarah, khususnya dalam hal penataan perdamaian dunia. Meski di dalam negeri, Korea Utara dan Korea Selatan, disambut beragam, tetapi optimisme pemimpin dunia muncul dari mana-mana.

Presiden Trump dari AS, yang selama ini galak terhadap Korea Utara, kali ini pun serta merta berbalik, memuja-muji "antek" Republik Rakyat Tiongkok dan "binaan" Rusia itu. Semua negara kawasan, seperti Jepang, Thailand, Filipina, dan tentu saja Indonesia merasa bahagia atas keadaan terakhir ini. Optimisme perdamaian dunia dianggap akan membawa hasil yang semakin membaik.

Perang Berkepanjangan

Kasus Korea adalah ironi sebuah bangsa. Betapa tidak, pada awalnya antara kedua negara tersebut asal-usul dan latar belakangnya sama, ada hubungan keluarga, dan sama-sama menghuni wilayah tersebut, secara aman dan damai. Bangsa Korea atau orang Korea itu adalah suku bangsa yang besar, yang mendiami wilayah Asia Timur. Orang Korea dipercaya sebagai keturunan suku bangsa Altaik, yang memiliki hubungan dengan Bangsa Jepang, Mongol, China, Tungusik dan Turkik. Sebagian dari mereka itu juga berasal dari suku-suku yang ada di kawasan Asia Tengah.  

Ciri-ciri dari bangsa Korea adalah, berpostur tubuh yang tinggi, hidung yang mancung, tulang pipi yang tinggi, dan adanya bintik yang mongol, yakni tanda kebiruan pada bagian bawah tubuh, yang katanya itu merupakan sisa-sisa zaman kanak-kanak. Mereka menggunakan Bahasa Korea, yang memakai abjad Hangul. Diperkirakan, saat ini ada sekitar 70-an juta di dunia ini yang menggunakan Bahasa Korea.

Sejarah Perang Korea ini, lebih banyak karena ambisi besar Mao Zedong, Pemimpin Republik Rakyat China (RRC) -- kadang disebut Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Seperti diketahui, Mao Zedong adalah proklamator pendirian RRT. Pada mulanya, anak petani ini bergabung Partai Komunis saat ada Gerakan 4 Mei 1919. 

Kala itu, Mao ada tugas di Beijing, dan ketemu Chen Duxiu, pendiri Partai Komunis China. Sebagai anak petani, ia meyakini gerakan proletar-lah yang bisa memajukan bangsanya. Ia kemudian menyusup ke Partai Nasional China, atau Partai Kuomintang, yang dipimpin Chiang Kai-shek. Para pejuang Kuomintang inilah yang berjuang mempertahankan Tiongkok, dari invasi Jepang dan sekutunya, sehingga mereka bisa merdeka.

Tetapi, pasca Perang Dunia II, bersamaan dengan kekalahan Jepang, Partai Kuomintang pun mulai mengkonsolidasikan diri. Ternyata, Mao Zedong dengan Komunisme-nya malah menguat. Mao hampir saja menguasai hampir semua daratan Tiongkok. Walau sempat tersudut, belakangan atas bantuan Uni Soviet, Mao akhirnya berhasil merebut negeri Tiongkok. 

Sementara kaum nasionalis Tiongkok semakin tersudut, bahkan akhirnya Chiang Kai-sek harus melarikan diri ke kawasan baru, Taiwan, yang hari ini oleh dunia dikenal dengan nama Republik Tiongkok. Sampai hari ini Republik Tiongkok (tanpa ada istilah Rakyat) atau Taiwan, terus menjalankan pemerintahan sendiri. Awalnya Republik Tiongkok pernah diakui PBB, tetapi atas tekanan RRT kini PBB tak lagi mengakuinya. Di dunia internasional pun hanya 23 negara yang mengakui sebagai negara yang berdiri sendiri. Taiwan lebih dikenal pula dengan istilah China Kepulauan, untuk membedakan dengan China Daratan.

Ambisi Mao adalah ingin jadi pemimpin Komunis kawasan Asia, mengimbangi Josep Stalin yang memimpin Uni Soviet di Eropa Timur. Mao ingin semua kawasan Asia menjadi komunis, termasuk Jepang hingga Australia. Untuk itulah dicari batu loncatannya, ternyata itu ada di Korea. 

Maka itu ia menjadikan seluruh semananjung Korea harus dikuasai. Kebetulan, sejak awal kawasan utara sudah dikuasai Soviet, yang kemudian diteruskan oleh China. Sedang`Selatan dikuasai Barat, khususnya Amerika. Untuk mencapai tujuan tersebut diatur siasat, melakukan invasi ke Selatan, atas koordinasi Mao dan Stalin dengan pemimpin Korea Utara, kala itu dipimpin oleh Kim Il Sung.

Ternyata taktik mereka jitu. Minggu pagi, 25 Juni 1950 itu dengan mudahnya Korea Utara menyerang Korea Selatan. Mereka bahkan dengan mudah mengambil alih ibukota Korea Selatan, Seoul. Kejadian itu membuat Amerika gelabakan. Presiden Truman pun menekan PBB agar pasukan perdamaian masuk ke Korea. 

Untungnya, meski Soviet punya hak veto, itu tak dilakukan oleh Stalin. Ia memilih abstain, dan membiarkan Mao berjuang sendiri di lapangan. Di tengah eforia kemenangan Korea Utara itu, masuklah pasukan PBB dan pasukan AS membantu Korea Selatan. Lasykar komunis Korea ini pun kemudian terdesak, dan harus kembali ke wilayahnya. Tak hanya itu, pasukan PBB pun bahkan mampu masuk ke utara, hingga mendekati Pyongyang. Keadaan ini memaksa Kim Il Sung meminta gencatan senjata, dengan kekalahan yang tak sedikit. Selain wilayah yang berkurang, pasukannya juga banyak yang hilang dan tewas selama perang.

Meski sudah ada perdamaian, Korea Utara selalu bikin ulah. Mereka bisa saja melakukan berbagai serangan dan teror secara mendadak. Utara pun menutup pintu terhadap Selatan, sembari membangun militer dan persenjataan yang dikuatirkan dunia bisa mematikan secara masal. Melihat keadaan waktu itu, sikap Utara` terhadap Selatan, perang sama sekali tak akan pernah berhenti. RRC selalu memberi angin segar, demikian pula dengan Rusia, pasca Uni Soviet bubar. Banyak pihak menduga perang tak akan berakhir, bahkan justru diduga Perang Dunia ke-3 justru bermula dari semenanjung Korea ini, na'uzubillah ... !!!          

Damai Selamanya ... !!!

Banyak pihak berharap, pasca pertemuan dua tokoh yang terus bertikai ini menjadi titik awal menyelesaikan konflik dunia ini. Bagaimana pun, kedua tokoh Korea itu berhasil mensepakati 9 point, yang menjadi Deklarasi Panmunjom, tempat yang menjadi "rumah perdamaian" dua Korea tersebut. 

Beberapa hal urgent (substantif) dari kesepakatan mereka adalah : (1). Sepakat mengakhiri perang, pasca gencatan senjata tahun 1953, (2). Setuju denuklirisasi, (3). Saling mengunjungi antar negara, (4). Menghentikan permusuhan, (5). Menghentikan siaran propaganda di perbatasan, (6). Mendirikan kantor penghubung, (7). Kedua negara menjadi rumah reuni keluarga pasca terpisah selama perang, (8). Menghubungkan kembali kereta api antar Korea, dan (9). Bersama berpartisipasi dalam Asean Games 2018.

Nampaknya kegiatan olahraga menjadi sisi urgent dalam perdamaian kedua Korea ini. Kebetulan, pada persiapan Asian Games 2018 yang ditetapkan di Korea ini, memang sempat mencairkan hubungan kedua negara. Beberapa persiapan yang dilakukan, memungkinkan kedua negara yang bertikai itu kerap harus bersama-sama, untuk melakukan  berbagai latihan seremonial acara, atau untuk event-event lainnya. 

Kondisi dalam` negeri pun memaksa Kim melakukan ijtihad-nya. Mulai dari hasrat rakyatnya agar negerinya setara dengan negeri lain, khususnya dengan tetangganya di Selatan, juga persoalan ekonomi akibat tekanan ekonomi dunia yang memaksa Kim yunior itu untuk menata lagi sistem relasi kebangsaannya. Tentu saja dampak globalisasi, selain hasil karya negosiasi kedua negara yang disupport Rusia, China, Jepang dan AS.

Globalisasi memang dahsyat. Pemikiran sempit membuat orang bisa menjadi terbuka. Manusia semakin bisa membedakan, mana yang baik dan mana yang buruk. Bahwa di dunia ini ada moden Korea, yang berkonflik antara utara dengan selatan, atau ada model zionis Israel yang selalu berkonflik dengan rakyat Palestina, itu naturalis. Itu tak akan selamanya. Karena, kebenaran selalu akan menang. Tak pernah terbayangkan, saat Perang Dingin dulu, Jerman Timur bisa bersatu dengan Jerman Barat. 

Yaman Utara dengan Yaman Selatan, Vietnam Utara dengan Selatan. Semuanya karena konflik ideologis, antara kapitalis dan komunis. Bahwa ada perpecahan dalam sebuah negara, seperti kasus Sudan Selatan dari Sudan, atau Timor Leste dari Indonesia, sejumlah negara pecahan Uni Soviet, Yugoslavia, dan sejumlah negara lainnya, itu bukan konflik ideologi masa lalu, melainkan karena ada dinamika lain yang memungkinkan mereka harus berpisah.

Karenanya respon dunia atas kejadian di Korea ini sangat optimistik. Paus Fransiskus, pemimpin utama Vatikan bahkan berdoa secara khusus agar kedamaian di muka bumi ini bisa terlaksana secara merata. Jokowi pun tak lupa menawarkan Indonesia menjadi wadah pertemuan lanjutan, khususnya antara Kim dengan Donald Trump dari AS. Tinggal konsistensi dari tokoh-tokoh dunia, agar apa yang sudah terjadi di semenanjung Korea itu menjadi model di semua negara. 

Warga Palestina pun kita harapkan nantinya memiliki ruang yang sama, dan AS khususnya Trump mau menggunakan otaknya. Tokoh-tokoh negeri ini pun serta merta juga bercermin dari kejadian di dunia luar, bukan bikin gaduh konflik antar sesama anak bangsa. Insya Allah, pada saatnya, seperti pernah dikumandangkan almarhum Ayatollah Khomeini, pemimpin spiritual Iran, "kebenaran tak akan terbendung" ... Insya Allah ... !!!  

*HM. Syarbani Haira, dosen pada Universitas NU Kalsel

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun