Beberapa bulan lalu, seorang teman saya lulus dari kuliah (S1) dan siap untuk "terjun" di dunia kerja. Dia sangat senang karena berhasil mendapatkan kesempatan bekerja di salah satu perusahaan yang berada di Malaysia, berkat bantuan kerabatnya yang sudah lama bekerja di sana.
Namun, kegembiraannya berubah menjadi kecemasan saat dia mengetahui adanya aturan dress code perusahaan tersebut yaitu Perusahaan melarang penggunaan hijab selama jam kerja. Hal ini membuatnya merasa terkejut dan sedikit kecewa. Ucapnya, menggunakan hijab bukan hanya sebagai penutup kepala, tapi juga bagian penting dari identitas dan keyakinannya sebagai seorang Muslim yang taat.
Dilema tersebut terlihat pada raut wajahnya. Di satu sisi, dia sangat menginginkan pekerjaan ini karena peluangnya yang baik dan hubungan keluarganya yang sudah ada di sana. di sisi lain dia harus mengorbankan identitas agamanya dan itu merupakan sesuatu yang tidak bisa dia terima begitu saja. Kisah ini merupakan suara keterwakilan perempuan dari sekian banyak perempuan muslim yang mengalaminya.
Sebenarnya, Beberapa perusahaan di Indonesia dan luar negeri pernah menghadapi masalah karena melarang perempuan memakai hijab saat bekerja. Contohnya, pada tahun 2023, Isu terkait pelarangan berhijab bagi pramugari sempat menjadi pembicaraan hangat di Indonesia, dan di Amerika Serikat, Kasus Abercrombie & Fitch yang menolak merekrut seorang wanita Muslim yang mengenakan hijab terjadi pada tahun 2008. Pada saat itu, Dewan Hakim Amerika Serikat untuk Sirkuit Pengadilan Banding ke-10 memutuskan bahwa Abercrombie & Fitch telah melakukan diskriminasi agama terhadap seorang calon pekerja Muslim yang mengenakan hijab, yang bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Agama di Tempat Kerja (Title VII of the Civil Rights Act of 1964).Â
Hijab Bukan Sekedar Penutup Kepala
Menggunakan hijab bagi seorang Muslim bukan hanya sekadar menutup kepala, tetapi juga merupakan ekspresi dari identitas dan keyakinan agama. Bagi perempuan Muslim yang taat, dalam pandangan umum hijab merupakan simbol dari komitmen mereka terhadap agama dan cara mereka menunjukkan penghormatan kepada Allah SWT. Lebih jauh lagi, hijab menjadi bagian integral dari identitas perempuan muslim, yang mempengaruhi cara mereka berinteraksi dengan dunia di sekitar mereka.
Untuk perempuan Muslim, mengenakan hijab merupakan pilihan spiritual yang dipenuhi dengan makna dan signifikansi yang mendalam. Itu sebab, ketika perusahaan menolak atau menghambat kemajuan karier perempuan Muslim yang memakai hijab, mereka tidak hanya menolak pakaian, tetapi juga mengabaikan pilihan hidup, identitas, dan keyakinan agama dari individu tersebut. Dalam konteks ini, penting bagi perusahaan untuk mengakui dan menghormati pentingnya hijab bagi perempuan Muslim sebagai bagian yang tak terpisahkan dari identitas dan keyakinan mereka, serta memastikan bahwa kebijakan dan praktik rekrutmen mereka tidak menimbulkan diskriminasi terhadap individu berdasarkan keyakinan agama mereka.
Diskriminasi Agama terhadap Karier Perempuan Muslim
Diskriminasi agama terhadap karier perempuan Muslim merupakan fenomena yang masih terjadi di berbagai bagian dunia, terutama di tempat-tempat di mana agama Islam bukan mayoritas. Perempuan Muslim kerap kali menghadapi tantangan dalam mencari pekerjaan atau memajukan karier mereka karena prasangka atau stereotip negatif yang terkait dengan agama dan budaya mereka. Bisa saja mereka mengalami diskriminasi langsung, seperti dipekerjakan pada posisi yang kurang berkembang atau diabaikan dalam proses promosi, semata-mata karena keyakinan agama. Selain itu, perempuan Muslim juga menghadapi diskriminasi tidak langsung, ketika perusahaan menerapkan aturan atau praktik rekrutmen tidak memperhitungkan kebutuhan atau tuntutan agama mereka, seperti adanya larangan menggunakan penutup kepala seperti hijab. Diskriminasi semacam ini tidak hanya merugikan perempuan Muslim secara individual, tetapi juga merugikan masyarakat secara keseluruhan dengan menghalangi akses mereka ke kesempatan yang adil dan menyebabkan ketidaksetaraan dalam dunia kerja.
Fenomena pelarangan berhijab oleh perusahaan telah menjadi sorotan utama dalam perdebatan sosial, memunculkan berbagai masalah yang mempengaruhi kehidupan profesional dan pribadi perempuan Muslim yang bekerja. Ketika perusahaan mengambil keputusan untuk melarang karyawan perempuan mengenakan hijab, hal tersebut mencerminkan kurangnya penghargaan terhadap hak asasi manusia dasar, serta menciptakan lingkungan kerja yang tidak inklusif. Bagi saya, dampaknya bukan hanya berhenti pada tingkat psikologis dan emosional, di mana karyawan yang terkena dampak merasa diabaikan dan tidak dihargai, tetapi juga pada kesempatan karier dan kemajuan profesional mereka. Perempuan Muslim yang mengenakan hijab bisa saja mengalami hambatan dalam mencari atau mempertahankan pekerjaan, serta merasa terbatas dalam kemajuan karier mereka karena penampilan mereka tidak diakui atau dihargai. Lebih jauh lagi, perusahaan yang terlibat dalam pelarangan berhijab juga berisiko mengalami dampak negatif pada reputasi mereka. Tindakan tersebut dapat dipandang sebagai tidak toleran atau tidak menghargai keberagaman, yang dapat mengancam citra perusahaan dan kinerja bisnis mereka secara keseluruhan.