Mohon tunggu...
Syamsul Alam
Syamsul Alam Mohon Tunggu... Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Pena

Selanjutnya

Tutup

Makassar

Lahan Subur Bagi Rokok Ilegal

13 September 2025   09:05 Diperbarui: 13 September 2025   09:05 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maraknya Rokok Ilegal

Harga rokok di Indonesia yang kian melambung membuat rakyat kecil semakin terhimpit. Kondisi ini melahirkan fenomena baru: maraknya peredaran rokok ilegal. Rokok jenis ini menjadi "jalan pintas" bagi perokok yang ingin tetap mengisap tanpa harus menguras isi dompet.

Rokok ilegal pada dasarnya diproduksi tanpa mengikuti standar yang berlaku dalam industri resmi. Tidak ada pengawasan dari lembaga berwenang, baik terkait proses pengolahan, kualitas tembakau, maupun bahan tambahan yang digunakan. Akibatnya, konsumen sama sekali tidak tahu apa yang sebenarnya mereka isap. Jika rokok legal saja sudah terbukti berisiko tinggi bagi kesehatan meski diawasi secara ketat, maka rokok ilegal yang kandungan nikotin, tar, dan bahan kimianya tidak terkontrol jelas berpotensi menimbulkan bahaya yang lebih besar.

Dalam banyak kasus, rokok ilegal bisa saja menggunakan campuran tembakau kualitas rendah atau bahan tambahan murahan yang menambah risiko kanker, penyakit jantung, hingga gangguan pernapasan. Dengan kata lain, meskipun harganya jauh lebih murah, konsekuensi kesehatannya bisa jauh lebih mahal dan berbahaya bagi perokok maupun orang-orang di sekitarnya.

Selain itu, produsen rokok ilegal pun lihai membaca pasar. Mereka membuat produk dengan rasa yang hampir sama dengan rokok legal ternama. Misalnya, Malboro Putih kini dijual seharga Rp53.000 per bungkus. Hadirlah tiruannya, Smith, yang diklaim memiliki sensasi serupa tapi hanya dibanderol Rp17.000. Dengan selisih harga sebesar itu, wajar saja banyak perokok tergoda untuk beralih.

Itu sebab, peredaran rokok ilegal di warung-warung kecil jelas merugikan negara. Pajak dan cukai yang seharusnya masuk ke kas negara justru hilang, sementara industri rokok legal yang menyerap banyak tenaga kerja bisa ikut goyah karena konsumen lebih memilih produk murah tak bercukai.

Bagi rakyat kecil, rokok bukanlah sekadar benda yang dibakar lalu diisap, melainkan sudah menjadi bagian dari ritme hidup sehari-hari. Di sawah misalnya, rokok jadi "teman kerja" yang menemani petani beristirahat sejenak. Di bengkel atau pelabuhan, sebatang rokok kerap jadi pelengkap obrolan antarpekerja. Bahkan dalam beberapa komunitas, rokok juga melekat pada tradisi sosial, seperti suguhan saat berkumpul atau simbol penghormatan bagi tamu. Maka ketika harga rokok resmi melonjak, masyarakat tetap akan merokok, hanya saja mereka menurunkan standar dengan beralih ke merek lebih murah, atau memilih "jalan pintas" berupa rokok ilegal yang rasanya mirip tapi jauh lebih terjangkau.

Solusi

Pertama, pengawasan ketat terhadap peredaran rokok ilegal; Aparat seharusnya tidak hanya "hadir" di atas kertas, tetapi benar-benar turun tangan memperketat pengawasan jalur rokok ilegal. Dari hulu ke hilir, mulai dari dapur produksi rumahan yang kerap tersembunyi, jalur penyelundupan di perbatasan yang masih bocor, hingga warung-warung kecil di kampung yang jadi etalase terakhir. Jika semua titik ini dibiarkan longgar, maka rokok ilegal akan terus mengalir deras, merugikan negara miliaran rupiah sekaligus menghadirkan ancaman kesehatan yang tak kalah serius. Penindakan tegas bukan hanya soal menutup pabrik gelap atau menyita barang, tetapi juga menciptakan efek jera agar pasar gelap tidak lagi tumbuh subur di atas penderitaan rakyat kecil dan hilangnya pendapatan Negara.

Kedua, penyederhanaan dan penyesuaian tarif cukai; Salah satu jalan keluar dari peliknya persoalan harga rokok adalah dengan membenahi struktur cukai yang selama ini terlalu rumit. Banyaknya golongan dengan selisih tarif yang kelewat jauh justru membuat pasar jadi tidak sehat. Produsen bisa saja menurunkan kelas produknya hanya untuk mengejar tarif yang lebih rendah, sementara konsumen dihadapkan pada harga yang melonjak tanpa pola yang jelas. Penyederhanaan tarif dengan selisih yang lebih wajar akan membuat pasar lebih transparan dan tidak gampang dimanipulasi.

Pola kenaikan cukai sebaiknya tidak dilakukan dengan lompatan besar yang mengejutkan, seperti pada 2020 ketika tarif naik hingga 23% sekaligus. Kenaikan yang bertahap dan terukur akan lebih rasional. Industri punya waktu untuk menyesuaikan, masyarakat pun tidak merasa dihantam tiba-tiba, sementara tujuan pemerintah untuk menekan konsumsi tetap bisa berjalan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Makassar Selengkapnya
Lihat Makassar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun