Kampus Universitas Majapahit Jakarta, awal semester baru. Riuh mahasiswa baru dan aroma ambisi masih memenuhi udara. Di tengah hiruk-pikuk itu, Bima Aryasatya, Ketua BEM Universitas, dikenal sebagai sosok yang tenang, teguh, dan visioner. Ia bukan sekadar pemimpin, tapi poros di mana banyak hati dan pikiran bertumpu.
Namun, di balik ketegasan langkah dan keteduhan sorot matanya, tersimpan kegelisahan yang tak mudah ia uraikan.
Tiara Syailendra, partner kerja, rekan satu fakultas, sekaligus seseorang yang pelan-pelan menembus pertahanan batinnya. Tiara dengan semangatnya, celetukan lugas, dan sorot mata yang hidup, mengisi ruang-ruang kosong dalam hari-hari Bima.
Suatu malam sepulang dari diskusi panjang di fakultas, mereka duduk berdua di tangga gedung tua kampus.
Tiara: "Kamu sadar nggak sih, kamu tuh kadang kayak menara? Kokoh, penting, tapi susah didekati."
Bima: (tersenyum kecil) "Mungkin aku sedang menunggu orang yang tahu cara naiknya."
Tiara: "Lalu kalau aku naik... kamu biarin? Atau kamu dorong jatuh?"
Bima terdiam. Tapi detak jantungnya menjawab semuanya.
Sementara itu, Dira, yang kini mengajar di kampus swasta di Kota Bandung, mulai  sering diundang sebagai pemateri di seminar-seminar yang diadakan oleh Kampus Universitas Majapahit Jakarta, Dira kembali hadir dalam orbit hidup Bima. Mereka bertemu dalam seminar kolaborasi antar kampus. Dira masih hangat, dewasa, dan penuh perhatian. Dalam percakapan di sela acara:
Dira: "Kamu terlihat lebih dewasa dari waktu itu. Tapi masih menyimpan sesuatu yang belum selesai."
Bima: "Ibu selalu tahu cara melihat yang tak terlihat."