Mohon tunggu...
Syaira Najlalivia
Syaira Najlalivia Mohon Tunggu... Mahasiswa UPI Bandung

Aku menulis untuk mendengar suara-suara yang tak terdengar. Seorang Mahasiswa yang gemar menuangkan rasa dan logika lewat opini, puisi, dan cerita pendek. Menemukan makna di antara sunyi, dan pertanyaan di balik kemajuan zaman.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dua Cinta dalam Satu Arah

17 Mei 2025   17:46 Diperbarui: 17 Mei 2025   18:28 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

SMA Negeri 30 bandung, sekolah unggulan di jantung Kota Bandung yang makin lama makin dikuasai oleh budaya visual. Di tengah dunia yang menyanjung tampilan, dua siswa laki-laki dari kelas XI  menempati dua kutub yang berbeda.

Arka Pradipta adalah definisi dari "standar emas Gen Z": tampan, gaya kekinian, followers Instagram lima digit, dan selalu jadi pusat perhatian di setiap kegiatan sekolah. Di matanya, dunia adalah panggung.

Bima Aryasatya berdiri di sisi sebaliknya. Ia pintar tapi ia tidak culun, tidak kutu buku seperti orang-orang pintar kebanyakan. Ia tenang, bertubuh tegap, dengan wajah yang menyiratkan kedewasaan jauh dari usianya. Gaya bicaranya membuat orang berpikir dua kali sebelum meremehkannya. Ia tidak populer, tapi dihormati. Terutama oleh kalangan guru dan perempuan yang berpikir lebih dalam.

Ketika sekolah mengadakan pemilihan Ketua OSIS, semua orang berharap Arka yang menang. Ia punya massa. Tapi Bima, dengan segudang prestasi akademik, idealisme, dan ketegasan berpikir, memberikan kejutan.

Saat debat kandidat, Arka memainkan kata-kata populer. Bima menanggapi:

"Kalau pemimpin kita adalah orang yang paling sering tampil di layar, maka kita sedang mempersiapkan generasi penonton, bukan pemimpin."

Meski Arka menang voting siswa, dewan guru memutuskan memilih Bima berdasarkan kualitas substansi. Sekolah gempar. Arka merasa dipermalukan, sebagian siswa kecewa. Tapi pelan-pelan, banyak yang mulai melihat bahwa popularitas tak selalu berarti kapabilitas.

Di penghujung masa SMA, Bima bertemu Dira, guru muda alumni sekolah yang kembali mengabdi. Dira mengagumi kedewasaan dan keteguhan Bima.

"Kamu bukan siswa biasa. Kamu membuatku berpikir seperti sedang berbicara dengan orang yang telah jauh melampaui umurmu."

"Dan Ibu bukan guru biasa. Ibu mengajarkan sesuatu yang tidak ada di kurikulum."

Dira tertawa kecil, tapi matanya menyiratkan kekaguman. Di antara kelas-kelas sore dan diskusi literasi, mereka mulai sering terlibat obrolan ringan yang dalam. Tentang masa depan. Tentang sistem yang pincang. Tentang mimpi yang tak boleh padam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun