Hal inilah yang terjadi di Karawang, Majalengka, dan sebagian wilayah Jawa Tengah. Menurut data Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), lebih dari 47.000 pekerja terdampak PHK hanya dalam dua kuartal pertama tahun 2025.
Relokasi dan Deindustrialisasi Sunyi
Situasi ini mendorong gelombang relokasi diam-diam. Beberapa perusahaan tekstil dan alas kaki mulai memindahkan produksinya ke Vietnam, Kamboja, dan Bangladesh---negara yang menawarkan upah lebih murah, insentif fiskal lebih kompetitif, dan regulasi yang relatif lebih stabil.
Fenomena ini bukan hanya soal kehilangan investasi, tapi juga gejala deindustrialisasi sunyi---di mana pabrik-pabrik pergi tanpa banyak pemberitaan, dan Indonesia semakin bergantung pada sektor informal, jasa rendah produktivitas, dan ekspor bahan mentah.
Pertanyaan Besar: Apakah Model Industri Kita Masih Relevan?
Dalam perspektif ekonomi industri, kita perlu jujur bertanya:
Apakah struktur industri kita saat ini masih cocok dengan tantangan zaman?
Kita masih terlalu bergantung pada industri padat karya berorientasi ekspor yang sangat sensitif terhadap fluktuasi upah dan nilai tukar. Padahal, ekonomi global kini bergerak ke arah industri berbasis inovasi, efisiensi energi, dan nilai tambah tinggi.
Sayangnya, investasi pada riset dan pengembangan masih minim. Pendidikan vokasi belum nyambung dengan kebutuhan industri baru. Dan insentif pemerintah masih cenderung menyamaratakan, tanpa membedakan sektor yang produktif dan yang stagnan.
Solusi: Keseimbangan Baru antara Upah dan Produktivitas
Bukan berarti UMK tak boleh naik. Tapi kenaikan upah harus sejalan dengan strategi peningkatan produktivitas dan efisiensi industri. Pemerintah harus mengarahkan investasi pada sektor dengan potensi naik kelas, bukan hanya mempertahankan sektor lama yang sudah kewalahan.