UMK Naik, Tapi PHK Meningkat: Industri Kita Sakit?
Ironi ekonomi sedang terjadi.
Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) naik di berbagai daerah. Pemerintah daerah menepati janji: memperjuangkan upah layak bagi buruh. Namun, hampir bersamaan, angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) justru ikut melonjak. Di sektor tekstil, sepatu, hingga elektronik ringan, pabrik-pabrik mengurangi tenaga kerja atau bahkan tutup total.
Pertanyaannya bukan hanya mengapa ini terjadi. Yang lebih penting: apa makna dari gejala ini bagi masa depan industri kita? Apakah kita sedang menyaksikan gejala sakit kronis dari industri nasional?
Sebagai ekonom industri yang sudah mengamati dinamika struktural sejak dekade 1980-an, saya melihat ini bukan sekadar kebetulan siklikal. Kita sedang menghadapi persoalan mendalam yang menuntut evaluasi ulang terhadap cara kita merancang hubungan antara buruh, pengusaha, dan negara.
Kenaikan UMK: Tujuan Mulia, Efek Samping Nyata
Tak ada yang salah dengan kenaikan upah minimum. Dalam banyak hal, ini adalah instrumen penting untuk menjamin daya beli, mengurangi kesenjangan, dan melindungi kelompok rentan. Namun, kenaikan UMK yang tidak diiringi peningkatan produktivitas akan membebani sektor industri padat karya secara langsung.
Sebagai ilustrasi, pada tahun 2025, UMK di sejumlah kawasan industri utama naik antara 7 hingga 11 persen. Namun dalam periode yang sama, indeks produktivitas tenaga kerja di sektor manufaktur hanya naik sekitar 2,5 persen, berdasarkan data Kementerian Perindustrian.
Artinya, beban biaya tenaga kerja naik lebih cepat daripada nilai tambah yang dihasilkan.
Efek Domino bagi Industri Padat Karya
Sektor yang paling terpukul tentu saja adalah industri padat karya seperti tekstil, garmen, sepatu, dan mainan. Industri ini memang banyak menyerap tenaga kerja, tetapi margin keuntungannya sangat tipis dan sangat tergantung pada volume produksi besar dengan efisiensi tinggi.
Kenaikan UMK membuat struktur biaya menjadi lebih berat. Ketika perusahaan tak bisa menyesuaikan harga jual---karena pasar global tak bisa dipaksa mengikuti biaya dalam negeri---maka opsi yang tersisa adalah mengurangi pekerja, memotong shift, atau relokasi.